16. Kepercayaan

1219 Kata
Seperti biasa, tiga kali dalam seminggu, Seina akan membuang sampahnya. Dengan langkah gontai, Seina berjalan ke tempat sampah, ia memisahkan sampah organik dan non organik. Tak lama terdengar suara trio gosip yang membicarakan Darel. Seina memicingkan telinganya mencoba mendengarkan percakapan mereka. “Aku dengar kakinya bengkak dan tidak bisa berjalan,” ucap Lili. “Benarkah, apa dia terjatuh?” sahut Sarah yang penasaran. “Aku dengar sih seseorang tak sengaja memukul kakinya hingga ia enggak bisa jalan,” tukas Lili. Seina menelan salivanya dengan kasar, ia tahu jika pelaku pemukulan yang mereka bicarakan adalah dirinya sendiri. Seina bergegas kembali ke apartemennya, melewati Sarah dan kedua temannya begitu saja. Di dalam apartemen, ia mencoba berpikir mencari alasan untuk datang ke apartemen Darel. Perlahan Seina membuka pintu apartemennya bersamaan terbukanya pintu lift. Mata Seina, Darel serta Dino saling bertatapan, arah pandangan Seina turun ke bawah melihat kaki Darel yang di perban. “Kenapa dengan kakimu?” tanya Seina. “Enggak apa-apa, ucap Darel berjalan dengan tertatih di bantu Dino. “Kamu enggak lihat dia kesusahan berjalan, kalau aku bisa menemukan wanita gila yang memukul kakinya, akanku hajar wajahnya,” celoteh Dino yang membuat Darel tidak enak hati. Darel kemudian membuka pintunya, di bantu Dino memapahnya masuk ke dalam. Seina kemudian berinisiatif untuk membantu memapahnya. Jantung Darel berdetak dengan kencang, saat kepala Seina menempel di lengannya, membantunya masuk ke dalam apartemen. “Lelahnya,” keluh Dino. “Oya Rel, Sei mau minum apa?” “Apa saja,” ucap Seina. Sepeninggal Dino Seina mulai mendekati Dar. “Sakit banget, ya?” tanya Seina dengan wajah yang terlihat merasa bersalah. “Hm ...tapi sekarang sudah enggak sakit lagi karena melihat wajahmu.” Seina mencebik bibirnya mendengar rayuan Darel. “Maaf sudah membuatmu seperti ini,” desisnya yang masih terdengar oleh Darel. “Enggaj apa-apa, ini bukan salahmu. Ini semua karena salahku yang selalu membuatmu kesal,” jelas Darel. Dino menyajikan dua botol air minum dingin. "Silahkan diminum. Enggak ada apa-apa di lemari pendingin, jadi aku hanya memberikan kalian air putih saja.” *** Seina mengeluarkan bahan masakan dari lemari pendingin, tangannya dengan cepat memotong sayuran serta mencuci daging ayam sebelum di masak. Seperti seorang chef, Seina memasak dengan cepat, memasukan bumbu penyedap agar masakannya enak. Tiga puluh menit berkutat di dapur, akhirnya Seina berhasil memasak tumis sayur campur, ayam saos asam manis, tempe kering serta telur gulung. "Akhirnya, selesai juga," ucap Seina. Ia memasukkan masakannya ke dalam kotak makan, setelah selesai Seina pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Lima belas menit berlalu, Seina sudah berdiri di depan pintu apartemen Darel. Dengan ragu ia memencet bel apartemen pria yang ia suka. Namun, belum juga memencet bel, pintunya tiba-tiba saja terbuka. “Kamu sedang apa, dari tadi aku lihat kau hanya berdiri di depan pintu apartemen Darel,” hardik Dino. Seina hanya menyunggingkan senyum, mengalihkan kegugupannya. “Kamu mau ke mana?” tanya Seina mengalihkan pembicaraan. “Aku harus kembali bekerja, tolong jaga Darel dengan baik. Bye, Seina.” Seina masuk ke dalam apartemen Darel, terlihat tidak ada Darel di sana. “Apa mungkin dia ada di kamar,” desis Seina. “Darel, apa kau di dalam. Aku memasak makanan untukmu, aku simpan di meja ya. Aku pergi dulu." Langkah Seina terhenti saat pintu kamar Darel terbuka. “Bisakah kau membantuku, aku kesusahan berjalan ke sana.” Mau tidak mau Seina membantu Darel berjalan ke meja makan kemudian menyiapkan makanan untuknya. Semua itu Seina lakukan karena ia merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan kepada Darel. “Aku haus, tolong ambilkan minum untukku.” Tanpa banyak bicara, Seina ke dapur mengambilkan minum untuknya. Darel menyeringai ketika Seina mengikuti semua yang ia katakan, bahkan ia tidak marah atau membentak Darel. Setelah selesai makan, Seina membersihkan bekas makanan mereka. Darel menatap punggung Seina, seketika ia menundukan wajahnya saat bayangan Diana melintas di pikirannya. “Apa kamu mau pergi ke kamar?” tanya Seina. Darel mengangguk, Seina membantu membopong tubuh Darel ke kamarnya. Untuk pertama kalinya Seina masuk ke kamar pria, bahkan dia sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar Arya. “Bisa tolong ambilkan n****+ itu,” titah Darel. Seina mengambil n****+ yang di minta Darel yang ternyata n****+ karyanya. Ia tersenyum bahagia karena Darel membaca novelnya, kemudian memberikan kepada Darel. “Kamu pulanglah ini sudah malam,” ucap Darel. “Enggak, aku akan menemanimu di sini, aku takut kamu membutuhkan sesuatu.” Darel menyunggingkan senyum sambil menatap Seina. “Kamu jangan berpikir yang bukan-bukan, aku melakukan ini karena merasa bersalah atas apa yang aku lakukan samamu,” jelas Seina. “Hm ... terima kasih banyak,” ujar Darel. Hening seketika, Seina sibuk dengan ponselnya sedangkan Darel sibuk dengan n****+ yang ia baca. Sesekali Seina menatap Darel yang sedang membaca, ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan kepada Darel. “Ada apa?” tanya Darel, seperti tahu apa yang ada di pikiran Seina. “Bolehkah aku bertanya sesuatu?” “Katakan,” jawab Darel. “Apa saat kamu sekolah dulu ada wanita yang bisa membuat hatimu bergetar?” Pertanyaan Seina berhasil membuat Darel kesusahan menelan salivanya, bagaimana mungkin dia memberitahu Seina jika dulu hatinya pernah bergetar melihatnya. “Enggak ada,” ungkap Darel. “Ah ... Rani, apa kau pernah menyukainya?” "Yang benar saja, dia bukan tipeku. Aku enggak suka wanita yang terlalu menempel pada setiap pria.” Seina membuka catatannya di ponsel, kemudian menulis semua yang di lontarkan oleh Darel, merangkai kata-kata yang pas untuk n****+ barunya. Ponsel Seina bergetar terlihat nama Arya di sana, ia bergegas keluar dari kamar Darel untuk mengangkat panggilan Arya. "Halo, Sayang. Apa kamu lagi istirahat?" tanya Seina. "Aku sedang menatap langit-langit di kamarku. Aku merindukanmu Sayang, baru dua hari berpisah denganmu hidupku terasa hampa." Seina tertawa. "Kamu belajar merayu dari mana, jangan-jangan kamu sudah mempersiapkan untuk merayu wanita di sana!" "Aku hanya ingin merayumu, aku takut kamu mencari perhatian dari pria lain." "Kamu hanya cukup percaya kepadaku saja, aku tidak akan menghancurkan janji kita. Kalau begitu aku mau beli makanan dulu, kau jangan lupa makan. Bye, Sayang." "Baiklah, kamu hati-hati di jalan. Bye, Sayang, hubungi aku jika kamu sudah sampai di rumah. Love you, Sayang." "Love you too." Seina berbohong kepada Arya, padahal dia ingin melihat Darel karena terdengar suara benda jatuh dari kamar Darel. Seina melihat ke sekeliling, ia melihat Darel berjalan tertatih-tatih ke kamar mandi. "Biar aku bantu." Seina mengalungkan tangan kanan Darel ke lehernya, ia membawa masuk Darel ke kamar mandi. Seina menunggu Darel di dalam kamar mandi hingga Darel kesusahan melancarkan hajatnya. "Ehm ... Apa kamu akan tetap berdiri di sana?" tanya Darel, membelakangi Seina. "Oh my God ... sorry." Seina menutup kembali pintu kamar mandi, jantungnya berpacu dengan cepat, merasakan sesuatu di salah di sana. Ia kembali memapah Darel, berbaring di ranjangnya. "Kamu pulanglah, aku bisa sendiri," ujar Darel. "Aku takut kamu membutuhkan sesuatu nanti malam," elak Seina. "Aku bisa sendiri meski harus tertatih. Lebih baik kamu pulang, enggak enak dua orang yang tak memiliki status yang jelas berada di satu ruangan dan perlu kamu tahu aku masih normal." "Ck, meski sedang sakit otak mesummu berjalan dengan baik," ejek Seina. "Baiklah aku pergi dulu, kalau kamu membutuhkan sesuatu hubungi aku." "Hm ...," gumam Darel, melihat punggung Seina yang semakin lama menghilang di balik pintu. "Jika kamu di sini aku bisa mati berdiri karena menahan gejolak di hatiku," desis Darel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN