17. Keraguan Diana

1072 Kata
Aroma masakan menyeruak di dapur, Seina dengan telaten membuat nasi goreng untuk sarapan Darel. Tak lupa ia membuat dadar telur dan juga kopi untuk tetangganya itu. Ia menata semua masakannya dalam wadah, kemudian membawanya ke apartemen Darel. Dengan santainya Seina menekan password yang di berikan oleh Darel lalu masuk ke dalam apartemen. Seina mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling, ia lalu menyimpan makanannya di meja kemudian mengetuk pintu kamar sang pemilik rumah. "Darel, apa kamu di dalam? Rel ...," ucap Seina mengetuk pintu. Seina mendekatkan telinganya ke daun pintu, tak terdengar suara dari dalam kamar. Akhirnya, Seina kembali mengetuk pintu, untuk memastikan keadaan Darel. "Rel, kamu di dalam?" teriaknya. "Apa terjadi sesuatu dengan dia!" gumam Seina. Seina bergegas membuka pintu kamar Darel ketika mendengar suara benda jatuh. Ia begitu panik ketika tidak melihat Darel di sana. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar mandi, sesaat dia diam tapi akhirnya ia membuka pintu. “Ah,” teriak Darel dan Seina bersamaan, sebelum akhirnya Seina sadar dan menutup kembali pintu kamar mandi. “Oops ... sorry, aku enggak lihat kok,” ucap Seina kemudian berlari ke balkon kamar Darel. Tak lama Darel keluar dari kamar mandi dengan melilitkan handuk di tubuhnya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling sebelum akhirnya menemukan Seina sedang berdiri di balkon. “Seina, boleh aku minta tolong,” mohonnya. Seina lalu berjalan mendekati Darel dengan menundukkan wajahnya. “Ada apa?” tanya Seina. “Lihat mataku, kalau kamu melihat ke bawah aku curiga kamu sedang memandangi adik kesayanganku.” Seina mengangkat wajahnya menatap Darel sambil mencebikkan bibirnya. “Ada apa, kamu membutuhkan apa?” Darel menyeringai, dengan malu-malu ia memberikan panty-nya kepada Seina. “Ah ... dasar m***m!” teriak Seina sambil memukul lengan Darel. “Aw ... sakit, dengarkan aku dulu. Aku hanya minta tolong masukan ke dalam kakiku, nanti aku sendiri yang akan menariknya. Kamu lihat sendiri kan kakiku sedang cedera,” jelas Darel menunjukan kakinya yang terluka. “Ah, maaf,” gumam Seina. Darel duduk di ranjangnya, memudahkan Seina agar bisa memasukkan panty-nya. Seina lalu berjongkok, memasukkan kaki kiri Darel yang terluka, kemudian memasukkan kaki kanannya. Perlahan, Seina menaikan panty Darel. Pupilnya melebar ketika sedikit melihat benda pusaka Darel untuk kedua kalinya. "Ah, tidak. Aku tidak melihatnya." Seina berdiri, lalu berlari keluar dari kamar Darel. “Oh my God, mataku ternodai. Kenapa dia menunjukan taringnya,” batin Seina sambil mengusap wajahnya. Tak lama Darel keluar dari kamar, Seina berjalan mendekati Darel memapahnya ke sofa. “Aku hanya membuat nasi goreng, entah sesuai sele—” Seina menatap Darel yang langsung menyendok makanan kemulutnya tanpa menghiraukan ucapan Seina. “Enak, ini sangat enak. Terima kasih.” Senyum tercetak di bibir Darel, entah mengapa senyuman itu membuat hati Seina berdesir. Ia mengalihkan pandangannya, kemudian ikut sarapan dengan Darel. Selesai makan, Seina membersihkan alat makan yang sudah mereka gunakan. Sedangkan Darel duduk di sofa sambil menonton televisi. "Apa kamu membutuhkan sesuatu? Kalau tidak aku mau balik ke rumah," ucap Seina. "Apa kamu mau bekerja?" tanya Darel. Seina mengangguk mengiyakan pertanyaan Darel. "Kamu bisa bekerja di sini, aku tidak akan mengganggu kamu." Seina terdiam mendengar penuturan Darel, takut salah paham Darel kembali meyakinkan Seina alasannya untuk menahannya. "Aku masih belum bisa ke kamar mandi sendiri." Mendengar ucapan Darel, Seina lalu keluar dari apartemennya hanya untuk mengambil laptop serta catatan kecil yang biasa ia gunakan untuk membuat outline. Lalu ia kembali ke apartemen Darel untuk menemaninya. "Kamu duduk di situ," ucap Deril menunjukan kursi yang berada di balkon kamarnya. Seina lalu duduk di sana, sembari memperhatikan Darel yang masih fokus dengan televisi. Sesekali Seina menoleh ke arah Darel, seketika sudut bibirnya terangkat lalu mulai mengetik sesuatu di laptopnya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Seina baru ingat jika dirinya belum membuatkan makan siang untuk Darel. "Darel, kamu—" ucapan Seina tertahan ketika melihat sang pemilik rumah sedang terbaring di sofa. Seina mengambil selimut di kamar Darel dan menyelimuti tubuhnya. Ada rasa penasaran di hati Seina, ia lalu berjongkok di depan wajah Darel. Tangannya terulur, mengusap surai yang menutup dahinya. "Ganteng," bantinnya. Seina menggelengkan kepalanya, menyingkirkan pikiran kotor yang singgah di otaknya. Namun, saat ia berdiri tiba-tiba saja tubuhnya kembali berjongkok di depan wajah Darel saat seseorang menarik tangannya. "Kamu mau ke mana?" tanya Darel. Sesaat keduanya saling berpandangan, sebelum akhirnya Darel menarik tengkuk Seina lalu menciumnya. Seina tak bisa menahan debaran jantungnya yang begitu cepat. Netra-nya melihat mata Darel yang terpejam kala menyambar bibirnya. *** Diana mendapat kabar jika Darel terluka, ia berencana pergi ke Bandung untuk menemui Darel. Kekhawatiran Diana semakin bertambah ketika, Ema yang tak lain ibunya memintanya cepat-cepat menikah dengan Darel, jika tidak Ema dan Budi akan menjodohkan Diana dengan putra sahabatnya. “Bu, Ayah ... Diana masih dua puluh tiga tahun, lagian Darel juga sedang meniti karirnya,” jelas Diana. “Ibu kira Darel akan mengurus perusahaan Papahnya, kamu harusnya bilang sama Darel lebih baik mengurus perusahaan yang sudah jelas hasilnya dari pada menjadi guru honorer,” hardik Ema. “Ibu, jangan seperti itu! Kalau Pak Toni tahu anaknya di jelek-jelekan oleh calon besannya, dia pasti membatalkan pernikahan ini,” ujar Budi. “Ayah itu harusnya membela Ibu, ini demi masa depan putri kita juga kok!” kilah Ema. Diana mendengus kesal kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia membuka ponselnya— mencoba menghubungi Darel. Terdengar suara sambungan telepon. “Halo, Sayang ... bagaimana dengan lukamu apa sudah sembuh?” tanya Diana ketika panggilannya di angkat oleh Darel. [Hm, sudah sembuh,] jawab Darel. “Haruskah aku ke sana untuk menemanimu?” tutur Diana merasa tidak enak. [Tidak usah, aku baik-baik saja,] ucap Darel. Diana merasakan sesuatu yang aneh pada Darel, ia pun berucap, “Apa kamu mencintaiku Darel?” Darel tak menjawab ucapan Diana, sejak pertama bertemu hingga mereka menjalin kasih Darel tidak pernah mengungkapkan perasaannya kepada Diana bahkan hubungan mereka hanya berjalan tanpa status yang jelas. Hanya perjodohan yang mengikat keduanya untuk bersama hingga saat ini. [Aku mau istirahat dulu, bye.] Darel mematikan panggilannya sepihak, Diana hanya bisa diam tak bisa menunjukkan rasa kesalnya kepada Darel. Setelah perjodohannya dengan Darel, Diana tidak pernah berkencan dengan pria manapun karena dia tidak ingin menyakiti calon suaminya. Namun, ia masih ragu dengan Darel. Karena saat perjodohan, ia orang yang bersikeras tidak ingin di jodohkan dengannya. "Apa ada wanita lain di hatimu, Darel?" gumam Diana. Ia pun bergegas merapihkan pakaiannya, bersiap ke Bandung untuk menemui Darel. Meski Darel tidak menyetujuinya, tetapi Diana memaksa untuk datang. "Aku akan datang menemuimu, Darel."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN