Pada akhirnya, setelah pertimbangan yang membuat kepalanya pusing. Dalila pun mengadopsi Winter. “Entah apa yang sebenarnya aku pikirkan,” gumam Dalila sembari mencincang bawang bombai. Tangannya terlihat begitu lincah dan lihati dalam menggunakan pisau dapur.
Selain ahli dalam bela diri, sebenarnya Dalila memiliki kemampuan memasak yang cukup baik. Karena sejak kecil hanya hidup dengan ayahnya, Dalila memang terdesak untuk belajar banyak hal. Entah itu mengurus rumah, hingga mengurus masalah dapur. Mungkin tidak bisa disebut terlalu ahli, tetapi setidaknya Dalila mampu untuk mengurus keperluannya sendiri. Termasuk dalam mengisi perutnya.
Segera aroma harum memenuhi kediaman mungil milik Dalila yang sebenarnya hanya terdiri dari beberapa ruangan tersebut. Ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur terbuka yang bisa terlihat dari ruang tamu. Ya, sesederhana itu. Namun, Dalila merasa sangat nyaman tinggal di sana. Hingga, ia tidak memiliki sedikit pun niatan untuk meninggalkan rumah yang dipenuhi oleh kenangan manis bersama sang ayah yang ia banggakan.
Saat sibuk memasak, Dalila sesekali melirik pada Winter yang sama sekali tidak terdengar suaranya. Ternyata, Winter tengah asik berbaring di hadapan televisi yang tengah menayangkan sebuah berita. Winter memang terlihat diam, tetapi ekornya sama sekali tidak menunjukkan jika dirinya tengah merasa begitu antusias, hingga tidak ekornya terus bergerak ke sana ke mari. Terlihat menggemaskan di mata Dalila. Namun, Dalila segera kembali pada tugasnya. Ia harus bergegas memasak, makan dan berangkat bekerja. Ia harus mencari banyak uang. Karena selain untuk mengisi perutnya sendiri, kini dirinya perlu mengisi perut Winter.
Apalagi, anjingnya itu selalu ingin makan makanan yang mewah. Makanan yang bahkan tidak ia santap setiap hari, kini harus ia sajikan setiap hari karena Winter. Rasanya, tiba-tiba Dalila berubah memiliki kehidupan mewah karena Winter. Ia selalu menyajikan santapan lezat berupa daging yang Dalila anggap sebagai makanan mewah. Memang benar, Dalila memiliki keuangan yang sangat stabil sebagai seorang pengawal elit. Namun, kebiasaan hidupnya yang hemat, tidak bisa menghilang begitu saja. Jadi, daging adalah salah satu santapan mewah yang hanya beberapa kali dalam sebulan Dalila masak.
Tak lama, Dalila siap dengan sua piring santapan. Satu piring untuknya, dan satunya lagi untuk, Winter. Ya, benar. Untuk Winter. Peliharaannya yag menggemaskan itu, sama sekali tidak mau makan makanan hewan kemasan, atau makanan mentah berupa daging atau tulang. Winter hanya makan daging yang dibumbui dan dimasak dengan sempurna. Memang sangat aneh, selera anjingnya itu sangat mirip dengan manusia. “Nah, makanlah,” ucap Dalila meletakkan piring di atas meja yang rendah. Karena Winter sama sekali tidak akan mau makan jika piring di letakkan di atas lantai.
“Aku bertanya-tanya kenapa aku mau memeliharamu,” ucap Dalila lalu menikmati santapannya sendiri. Karena Dalila sendiri baru sadar, jika perutnya ternyata sudah meminta untuk segera diisi oleh makanan lezat yang telah ia buat dengan susah payah. Dalila berusaha untuk menikmatinya sebisa mungkin.
Sesekali, Dalila pun menatap Winter yang terlihat menikmati makanannya dengan tenang. Dalilan rasa, Winter adalah hewan yang cerdas. Bahkan saking cerdasnya, Dalila merasa jika tingkah Winter terlalu aneh. Karena tingkahnya tidak seperti manusia, tetapi seperti manusia. Selain memiliki selera makan seperti seorang manusia, Winter juga tidak pernah buang kotoran sembarangan. Selalu buang kotoran di kamar mandi, dan tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat Dalila marah. Winter sangat patuh padanya, hingga tidak ada satu pun tingkahnya yang bisa diomeli oleh Dalila.
“Ya, setidaknya kau tidak membuatku repot dengan membersihkan kotoranmu,” ucap Dalila lalu makan tanpa beban. Seolah-olah membicarakan kotoran saat makan, bukanlah hal yang terlalu berpengaruh baginya.
Sementara tiba-tiba Winter menghentikan kegiatan makannya dan menatap Dalila dengan lekat. Tentu saja Dalila merasa terganggu dengan tatapan tersebut. Ia mengalihkan pandangannya dari televisi dan menatap Winter dengan jengkel. “Sekarang apa?” tanya Dalila pada Winter yang lalu kembali menatap piringnya dan melanjutkan kegiatan makannnya.
Tingkah Winter tersebut benar-benar membuat Dalila jengkel. Dalila marah, ia ingin memarahi atau menghukum Winter. Namun, Dalila tidak bisa menemukan alasan apa yang bisa ia pergunakan untuk memarahi atau menghukum hewan peliharaannya itu. “Auh, rasanya seketika aku menyesal sudah menjadikanmu hewan peliharaan,” ucap Dalila membuat Winter kembali menatapnya.
Tentu saja hal itu membuat Dalila mengernyitkan keningnya semakin dalam. Seakan-akan ia semakin jengkel dengan tingkah hewan peliharaannya satu itu. Kali itu Dalila bertanya dengan nada tinggi, “Apa lagi? Kau tidak senang aku mengatakan hal itu? Memangnya kau mengerti dengan apa yang aku katakan?”
Tentu saja Winter tidak menjawabnya. Jika sampai Winter menjawab pertanyaan tersebut, tentu saja Dalila akan terkejut bukan main. Lalu Dalila pun berkata, “Ternyata memelihara hewan cerdas tidak semenyenangkan yang kubayangkan. Ah, aku stress!”
***
Dalila mematikan ponselnya, saat Jack terus saja mengganggunya dengan pesan-pesan menjengkelan yang penuh dengan omong kosong. Dirinya saat ini sudah lelah, dan tidak ingin menambah rasa lelahnya dengan terus menghadapi tingkah rekan kerjanya itu. Sepertinya Jack belum cukup menempelinya selama bertugas, dan tetap berniat untuk mengganggu waktu istirahatnya. Dalila akan memastikan jika di waktu pelatihan nanti, ia akan memberikan pelajaran lagi pada Jack, agar tidak bertingkah menyebalkan seperti ini lagi.
Saat Dalila membuka pintu rumahnya, ia pun disambut oleh Winter yang duduk di hadapan pintu dengan menggerakan ekornya penuh dengan antusias. Dalila mematung, karena jujur saja, Dalila lupa dengan keberadaan Winter. Ternyata ia pada dasarnya memang beum terbiasa dengan keberadaan hewan cerdas itu di rumahnya. Dalila berjongkok di hadapan Winter dan mengusap puncak kepala anjingnya dengan lembut. “Kau menyambut kepulanganku?” tanya Dalila merasakan hatinya menghangat.
Rasanya sudah lama sekali Dalila tidak merasakan sambutan ketika dirinya pulang ke rumah. Sepeninggal ayahnya, selain terpuruk karena kesedihan karena kehilangan ayahnya, Dalila pun mulai merasa kesepian. Ia harus hidup sebatang kara, dan berusaha untuk menguatkan diri sendiri tanpa bantuan siapa pun. Namun, kini Dalila memiliki keluarga baru. Sosok yang menyambut kepulangannya di depan pintu. Winter, adalah keluarga barunya.
Dalila memeluk Winter dengan lembut lalu berkata, “Karena sudah bertingkah baik, maka akan kuberi hadiah. Tunggu di depan televisi, aku akan mandi dan memasak untukmu.”
Setelah mengatakan hal itu, Dalila pun bergegas untuk melakukan apa yang sudah ia katakan. Ia hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk bersih-bersih dan bersiap. Lalu Dalila pun sibuk dengan acara memasaknya. Karena besok dirinya libur, jadi Dalila tidak keberatan untuk minum anggur dan menonton film hingga larut malam. Ia juga tidak akan merasa terlalu kesepian, karena Winter menemaninya.
Keputusan Dalila untuk menonton film sembari menikmati santapan lezat yang ia buat, ternyata adalah pilihan yang sangat tepat. Selain bisa melihat Winter yang makan dengan lahap, Dalila juga bisa merasakan sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan. Rasanya, entah kapan terakhir Dalila menonton film hingga larut malam, dengan menikmati anggur dan santapan lezat seperti ini. “Bukannya dengan kekasih, aku malah menikmati suasana ini dengan hewan peliharaanku,” ucap Dalila merasa dirinya konyol. Namun, Dalila sendiri menikmati suasana ini dengan baik.
Setelah menghabiskan makanannya, Winter pun segera berbaring di belakang punggung Dalila, tepatnya di atas sofa. Secara alami, Dalila pun bersandar pada tubuh Winter. Karena bulu Winter yang tebal dan lembut, bersandar padanya terasa sangat nyaman bagi Dalila. Gadis itu membiarkan piring kotor tetap di meja dan menikmati anggur sembari menonton film action yang memang beberapa hari ini ingin ia tonton. “Winter, setelah makan makanan lezat, dan minum anggur, kini aku malah merasa sangat mengantuk. Apa kau juga merasakannya?” tanya Dalila sama sekali tidak menatap hewan peliharaannya itu.
Namun, beberapa saat kemudian Dalila mendengar dengkuran Winter yang lembut. Saat itulah Dalila menoleh pada Winter dan menatapnya tidak percaya. “Wah lihatlah. Kau benar-benar seorang majikan. Kerjamu hanya makan dan tidur,” ucap Dalila seolah-olah kesal. Namun, pada kenyataannya ia sama sekali tidak kesal atau marah. Ia mengelus hidung Winter sebelum kembali menikmati anggurnya.
Rasanya, sudah lama Dalila tidak merasa sesantai ini. Hari-hari Dalila biasanya hanya diisi dengan pekerjaan dan istirahat yang ia lakukan demi mengisi energi untuk pekerjaannya keesokan hatinya. Namun, kali ini Dalila benar-benar tengah menikmati waktunya. Mengisi waktu luasnya dengan situasi yang menyenangkan dan ia sukai. Menyantap makanan lezat yang cocok dengan lidahnya, dan ditemani oleh hewan peliharaan aneh yang cukup menghibur hatinya. Situasi menjadi sempurna dengan film yang tengah ia tonton saat ini.
Sebenarnya, Dalila berniat untuk terus melanjutkan untuk menonton film. Karena ia memang sudah ingin menontonnya sejak lama, dan bertanya-tanya mengenai ending dari film tersebut. Sayangnya, rasa kantuk yang sebelumnya Dalila rasakan semakin menjadi. Dalila meletakkan gelas anggurnya dan memperbaiki posisi duduknya menjadi setengah berbaring dengan berbantalkan tubuh Winter yang besar. Setelah itu, Dalila pun menatap layar televisi dengan netra sayunya. Tampak begitu mengantuk, tetapi berusaha untuk tetap terjaga. Hingga, pada akhirnya Dalila pun tidak bisa melawan kantuknya lagi. Dalila pun jatuh tidur dengan lelapnya.
Hanya ada suara televisi, dan suara embusan napas Dalila serta napas Winter yang bersahut-sahutan. Siapa pun yang melihat keduanya, pasti akan sepakat jika Winter juga tengah tidur lelap. Namun, hal itu salah. Begitu Dalila benar-bena sudah jatuh dalam dunia mimpinya, Winter pun berubah menjadi manusia. Ia mengambil wujud pria berwajah aristokrat dengan rambut sekelam langit malam dan netra keemasan yang terlihat begitu indah dan memukau. Pria itu meletakkan jarinya pada kening Dalila, dan sinar lembut berpendar pada jarinya. Saat itulah, pria itu yakin jika Dalila tidak akan terbangun hingga esok hari.
Tak membutuhkan usaha yang terlalu keras bagi pria itu menggendong tubuh Dalila. Selain dirinya adalah pria yang kuat, tubuh Dalila terlalu ringan baginya. Ia memindahkan Dalila untuk berbaring di atas ranjang yang nyaman. Tidak sampai di sana saja, pria berambut hitam itu pun menyelimuti Dalila dengan penuh perhatian. Memastikan jika Dalila tidak akan tersiksa oleh rasa dingin. Setelah itu, barulah dirinya duduk di tepi ranjang dengan mengamati wajah Dalila yang terlihat begitu damai di dalam tidurnya.
“Rupanya kau kesepian,” ucap pria misterius yang menjadi jelmaan dari Winter itu. Tatapannya sulit diartikan pada Dalila. Pria itu tampak memiliki banyak pikiran yang ia simpan. Tidak ada yang bisa menebak, hal seperti apa yang tersimpan dalam kedalaman sorot mata keemasannya itu.
Pria itu mengulurkan tangannya dan merapikan helaian anak rambut yang menutupi kening Dalila. Saat dirinya menjadi Winter, tentu saja ia bisa melihat dan merasakan betapa Dalila kesepian selama ini. Meskipun begitu, Dalila berusaha untuk tidak merasakan kesepian dan kesedihan itu. Seakan-akan Dalila tidak siap untuk menerima orang baru, dan merasakan kehilangan, lalu merasakan kesepian yang berulang.
“Kurahap, kau bisa bertahan untuk beberapa waktu lagi, Dalila. Aku yakin, kau pasti bisa melakukannya,” ucap pria itu dengan ekspresi datar. Namun, ada kelembutan dalam netra keemasan yang menyorot pada sosok Dalila yang terpejam dalam tidurnya.
“Ya, aku yakin kau bisa melakukannya,” ucap pria itu sebelum beranjak menghadiahkan sebuah kecupan hangat pada kening Dalila. Kecupan yang membuat Dalila semakin terlelap dalam tidurnya. Bahkan, untuk sekian lama, Dalila akhirnya mendapatkan sebuah mimpi indah yang membuat tidurnya semakin nyenyak dan nyaman.