Dalila duduk setengah berbaring sembari melihat tayangan televisinya. Karena ini adalah hari libu, Dalila tentu saja memiliki waktu untuk bersantai di rumahnya. Meskipun matanya fokus pada apa yang ditayangkan pada televisi, tetapi tangan Dalila masih saja mengelusi bulu lembut milik Winter. Anjir pintar itu saat ini tengah berbaring dengan menggunakan paha Dalila sebagai bantalannya. Terlihat sangat manja dan santai. Entah mengapa, Dalila juga merasa sangat nyaman saat itu. Kenyamanan yang tidak disangka oleh Dalila.
“Setelah kenyang, sekarang kau tidur? Pekerjaanmu benar-benar hanya makan, tidur, dan buang air. Betapa bahagianya hidupmu, Winter,” ucap Dalila terkesan mengejek hewan peliharaannya itu.
Winter membuka matanya sedikit, dan menatap Dalila. Seperti biasanya, Winter selalu bersikap seolah-olah dirinya memang mengerti dengan apa yang Dalila katakan. Namun, tak lama Winter pun kembali memejamkan matanya. Melanjutkan tidur siangnya yang terasa sangat nyaman dan nyenyak. Dalila sendiri berniat untuk tidur siang. Tentu saja siang itu adalah hari yang sempurna bagi Dalila tidur siang.
Namun, rencana Dalila tidak berjalan lancar, karena seseorang sudah lebih dulu mengetuk pintu rumah Dalila. Dalila mengernyitkan keningnya. Tidak bisa menebak, siapakah orang yang datang. Padahal, Dalila sama sekali tidak pernah kedatangan tamu. Selain itu, Dalila tidak merasa memiliki barang yang ia beli secara online. Dengan kata lain, Dalila tidak memiliki paket yang harus ia terima.
Pada akhirnya Dalila pun bangkit, dan hal itu membuat Winter menggeram. Seakan-akan tidak rela Dalila bangkit dan meninggalkannya. Menyadari hal itu, Dalila pun berkata, “Janga bertingkah manja.”
Setelah itu, Dalila mengintip dari jendela dan terkejut bukan main karena tepat di bagian jendela di mana dirinya mengintip, Jack sudah berada di sana dan tersenyum lebar. Dalila dengan kesal membuka pintu rumahnya dan menghalangi jalan Jack saat pria itu ingin masuk ke dalam. “Kau tidak punya sopan santun?” tanya Dalila tajam.
Seharusnya, pertanyaan tersebut lebih dari cukup membuat seseorang merasa sakit hati. Namun, sayangnya Jack sama sekali tidak akan merasa sakit hati hanya karena perkataan tajam Dalila tersebut. Jack malah bertanya balik, “Apa kau baru mengetahuinya? Bukankah aku sudah bersikap seperti ini sejak lama?”
Dalila mendengkus tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Di mata Dalila, Jack benar-benar tidak tahu malu. Mungkin, orang yang paling tidak tahu malu yang pernah Dalila kenal selama ini. “Benar-benar tidak tahu malu,” cela Dalila.
“Itu juga nilai plus dariku,” ucap Jack dengan penuh percaya diri.
Dalila benar-benar dibuat tidak percaya dengan tingkah rekannya itu. Dalila berniat untuk menutup pintu, tetapi Jack sudah lebih dulu menghalanginya dengan mengorbankan salah satu kakinya. Jack menglurkan kakinya dan bertanya seolah-olah tidak percaya dengan perlakuan yang ia terima tersebut, “Apa kau mengusirku?”
Dalila mengernyitkan keningnya. “Kau mengerti? Lalu kenapa kau masih menahanku? Padahal, sebelumnya sudah jelas-jelas kukatakan untuk tidak datang ke rumahku. Tapi kau masih saja datang. Bukankah aku sudah bersikap baik hanya dengan membukakan pintu seperti ini?” tanya Dalila membuat Jack mengernyitkan keningnya.
“Tapi aku sudah datang jauh-jauh, bukankah setidaknya kau bisa menjamuku dengan makan siang? Aku belum makan siang sama sekali,” ucap Jack memelas.
“Apa kau pengemis? Kenapa datang jauh-jauh ke rumah orang lain untuk meminta makanan?” tanya Dalila kembali memberikan serangan yang membuat Jack berpura-pura memasang ekspresi sakit hati.
Pada akhirnya, Dalila membiarkan Winter masuk ke dalam rumahnya. Namun, hal yang mengejutkan terjadi. Winter yang biasanya bersikap santai dan tenang, kini terlihat sangat marah. Ia bahkan terlihat menatap Jack dengan penuh kebencian, dan seakan-akan bisa menyerangnya kapan saja. Hal tersebut membuat Jack secara alami bersembunyi di belakang punggung Dalila. Hal yang terlihat sangat konyol, karena Jack bersembunyi di belakang punggung Dalila yang bertubuh lebih kecil darinya.
Dalila pun berjongkok di hadapan Winter dan mengusap leher anjingnya itu dengan lembut. “Dia memang terlihat menyebalkan, tetapi dia bukan orang jahat. Dia bukan musuhku, jadi bersikaplah baik,” ucap Dalila memberikan pengertian pada anjingnya.
Tentu saja hal tersebut membuat Jack mengernyitkan keningnya. Rasanya aneh melihat Dalila yang bertingkah seperti itu. Namun, secara mengejutkan, Winter menurut. Ia pun kembali berbaring nyaman di atas kedua kaki depannya yang ia lipat. Jack yang melihatnya pun tidak bisa menahan diri untuk berkata, “Ternyata dia benar-benar menurutimu. Seakan-akan dia mengerti dengan apa yang kau katakan.”
Dalila bangkit dari posisinya dan berkata, “Apa yang kubilang? Winter itu anjing cerdas.”
Jack mencibir perkataan Dalila karena rekannya itu terlihat begitu bangga. Mungkin, Dalila tidak sadar, tetapi bagi Jack, Dalila seperti membanggakan anaknya sendiri. Dalila kini beranjak menuju dapur, diikuti oleh Jack. Tentu saja Dalila akan memasak untuk tamu yang tidak ia undang itu. “Karena aku belum belanja, sepertinya aku hanya bisa membuat omurace,” ucap Dalila mengingat santapan yang rasanya akan cocok untuk mengganjal perut Jack.”
“Tak apa. Itu sudah lebih dari cukup untukku,” ucap Jack.
Dalila mengangguk. Ia pun menggunakan celemek dan mencuci tangannya. Namun, begitu membuka lemari pendingin, Dalila terkejut karena ia tidak memiliki satu butir pun telur. Hal aneh, karena Dalila masih ingat dengan jelas bahwa ia masih memiliki dua buah telur. Dalila mengernyitkan keningnya, bertanya-tanya apakah dirinya yang salah ingat. Dalila pun menatap Jack dan berkata, “Ternyata aku kehabisan telur. Apa kau hanya akan makan nasi goreng?”
Jack dan Dalila sama sekali tidak menyadari jika kini Winter mendengkus dan menyeringai. Seakan-akan senang karena sesuatu. Jack yang mendengar pertanyaan Dalila pun menjawab, “Tidak mau. Aku ingin omurace.”
“Betapa tidak tahu dirinya,” cela Dalila sembari melepaskan celemeknya.
“Kalau begitu, aku akan pergi untuk membeli telur. Aku tak akan lama, jadi tolong jaga Winter,” ucap Dalila membuat Jack mengangguk dengan patuh.
Sebelum pergi, Dalila mengusap puncak kepala Winter yang masih bersantai di atas sofa. Ia berkata, “Jangan nakal. Jaga rumah dengan Jack.”
Begitu Dalila pergi, Jack pun memilih untuk meminta s**u dan menyesapnya pelan. Namun, seketika Jack menyemburkan susunya, ketika ia terkejut berhadapan dengan pria asing yang hanya mengenakan celananya. Jack mengernyitkan keningnya, saat melihat pria yang memiliki netra keemasan itu memberikan tatapan tajam, di bawah helaian rambut hitamnya yang jatuh pada keningnya. “Kau siapa? Kenapa kau bisa berada di rumah Dalila?!” tanya Jack secara alami segera waspada.
Pria itu terlihat santai. Ia bahkan tidak canggung berhadapan dengan Jack, dengan kondisi telanjang d**a. Seakan-akan dirinya bangga dengan tubuh indahnya yang memang dihiasi dengan otot-otot yang dibentuk dengan sempurna. “Bukankah harusnya aku yang bertanya seperti itu? Kenapa kau datang ke rumah ini?” tanya balik pria pemilik rambut hitam itu.
Merasa jika pria di hadapannya ini sangat aneh. Jack pun berusaha untuk memanggil Winter. Ia yakin jika Winter yang cerdas bisa mengusirnya. “Winter, Winter!” seru Jack keras.
Jack tiba-tiba merasa sangat panik, karena pria yang berada di hadapannya menguarkan aura mengerikan. Aura yang tidak pernah Jack temui sebelumnya. Bahkan, saat bertugas sekali pun, Jack belum pernah berhadapan dengan seseorang yang memiliki aura semengintimidasi ini. Rasanya, saat ini saja Jack sudah kesulitan untuk bergerak karena intimidasi tersebut.
Sayangnya, Winter sama sekali tidak menyahut panggilan dari Jack. Saat Winter memanjangkan lehernya dan menoleh ke sana ke mari. Ia bahkan tidak bisa melihat keberadaan Winter di mana pun. Lalu sedetik kemudian, leher Jack sudah dicengkram oleh pria berambut hitam itu. Cengkramannya hanya menggunakan salah satu tangan, tetapi itu sudah lebih dari cukup membuat Jack kesakitan. Ia bahkan tidak bisa bernapas dengan benar, karena jalur pernapasannya terhambat.
“Tidak, Winter tidak akan muncul dan memberikan pertolongan padamu. Karena aku tidak menyukaimu,” bisik pria berambut hitam itu dengan memberikan tatapan tajam. Jika saja tatapan bisa membunuh, rasanya saat ini Jack sudah terkapar tidak bernyawa karena tatapan membunuh itu.
Lalu Jack tanpa sadar menatap netra keemasan lawannya, dan tanpa diduga netara keemasan itu berkilau dan bersinar. Seakan-akan tersihir, Jack yang sebelumnya berusaha untuk melepaskan cekikan pada lehernya, pada akhirnya tenang. Pria berambut hitam itu pun melepaskan cekikannya pada leher Jack, dan Jack pun hanya mematung diam, dan menatap lawan bicaranya. “Sekarang, dengarkan aku baik-baik,” ucap pria berambut hitam.
“Pertama, lupakan ingatanmu mengenai hari ini. Lupakan pertemuanmu denganku. Kedua, jangan pernah datang ke rumah ini lagi. Ketiga, kau harus menjaga jarak dengan Dalila. Kau tidak boleh sampai membuat orang lain salah paham karena kedekatanmu dengan Dalila. Apa kau mengerti?” tanya pria itu masih dengan netranya yang berkilau.
Seakan-akan ada sihir yang melingkupinya, Jack pun mengangguk. Tatapan matanya terlihat kosong, seolah-olah dirinya memang berada dalam pengaruh sihir atau hipnosis yang membuatnya mematuhi perkataan lawan bicaranya. Pria berambut hitam itu pun beranjak pergi dan kembali pada wujudnya sebagai Winter, ketika dirinya sudah menjalankan tugas yang seharusnya. Tak lama ternyata Dalila sudah kembali dari acara berbelanjanya.
Namun, begitu dia membuka pintu, Jack segera berkata, “Aku harus pergi.”
Dalila yang mendengarnya tentu saja mengernyitkan keningnya. “Pergi? Bukankah kau ingin makan siang dulu?” tanya Dalila sembari menatap rekan kerjanya itu.
Sepertinya, Dalila tidak menyadari perubahan dalam diri Jack yang saat ini berada dalam pengaruh sihir. Jack yang sudah berdiri berkata, “Tidak. Aku harus pergi. Ternyata aku memiliki janji lain. Aku pergi dulu.”
Jack pun pergi begitu saja tanpa menoleh sekali pun pada Dalila yang jelas mengernyitkan keningnya. Bagi Dalila, sikap Jack terasa sangat aneh. Tiba-tiba Jack datang berkunjung, lalu meminta dibuatkan makan siang. Sekarang, tiba-tiba Jack pergi begitu saja dengan beralasan bahwa dirinya memiliki janji lain. “Apa mungkin dia mabuk?” tanya Dalila sembari menutup pintu rumahnya.
Dalila lalu melangkah menuju dapurnya dan membereskan belanjaannya. Tentu saja Dalila merasa jengkel dengan sikap Jack. Padahal, Dalila berbelanja dengan terburu-buru. Mengorbankan waktu liburnya dengan ke luar rumah. Namun, Jack pergi begitu saja setelah membuat Dalila melakukan perjalanan pulang pergi seperti ini. “Mungkin aku perlu membuat pelajaran yang akan ia ingat saat evaluasi nanti,” gumam Dalila masih dengan suasana hati yang buruk.
Winter yang sebelumnya masih berbaring malas, kini memutuskan untuk bangkit dan mendekat pada Dalila. Ia bermain di sekitar kaki putih Dalila, seolah-olah meminta perhatian dari majikan cantiknya itu. Dalila yang sebelumnya fokus merapikan barang belanjaannya, segera menatap Winter dan bertanya, “Apa sekarang kau sudah merasa lapar lagi?”
Winter bersikap manis dan mengaing manja. Tentu saja hal itu membuat Dalila merasa gemas sendiri. Ia pada akhirnya meninggalkan pekerjaannya dan duduk di hadapan Winter. Dalila pun memeluk Winter dan mengelus-ngelus punggung hewan peliharaannya itu. “Ah gemasnya,” ucap Dalila sembari menimati helaian lembut rambut tebal milik Winter.
“Namun sayangnya, meskipun lapar, kau tidak boleh makan. Baru satu jam yang lalu kau makan. Kau tidak boleh berlebihan, atau nanti perutmu akan sakit,” ucap Dalila seolah-olah tengah memberikan pengertian pada seorang anak kecil. Jika dipikirkan, Dalila sendiri merasa jika tingkahnya saat ini benar-benar konyol. Bagaimana bisa dirinya berubah sejauh ini?
Kedua telinga Winter terlihat turun. Ekornya juga berhenti bergoyang-goyang. Seakan-akan ingin menunjukan bahwa dirinya merasa kecewa degan keputusan yang diberikan oleh Dalila tersebut. Namun, Winter yang cerdas sama sekali tidak rewel dengan keputusan Dalila tersebut. Winter menuruti perintah Dalila. Saat Dalila kembali melanjutkan pekerjaannya membereskan barang belanjaan, Winter menunggu dengan patuh.
Ketika Dalila selesai dan beranjak menuju kamar, Winter juga masih mengikutinya. Saat Dalila berbaring di atas ranjang, Winter terlihat menatap sang majikan. Seolah-olah menunggu izin dari Dalila apakah dirinya diperbolehkan untuk naik ke atas ranjang. Dalila yang melihat tingkah Winter yang lagi-lagi terlihat manis, Dalila tidak bisa menahan diri untuk mengulum senyum manis. “Kau benar-benar menggemaskan. Naiklah,” ucap Dalila.
Lalu Winter seketika terlihat begitu antusias. Ia pun naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Dalila. Lalu menunjukan gestur yang meminta usapan dari sang majikan. “Ya, ya, dasar manja,” cela Dalila tetapi tak ayal menuruti permintaan hewan peliharaannya itu.
Dalila pun memeluk dan mengusap-usap hewan peliharaannya itu, sembari memejamkan mata. Ya, kegiatan yang menyenangkan dikala libur adalah bisa menikimati waktu tidur siang yang tentu saja sangat langka bagi Dalila. Daripada berlibur dan menghabiskan waktu di luar rumah, Dalila lebih nyaman menghabiskan waktu luangnya di dalam rumah. Beristirahat dan bermalas-malasan, karena ini adalah surga bagi Dalila.
Tidak membutuhkan waktu lama, Dalila yang memang sudah mengantuk, jatuh terlelap dan sekelebat cahaya keemasan yang menyentuh kening Dalila, membuat gadis itu semakin terlelap dalam alam bawah sadarnya. Jika ada gempa berkekuatan besar sekali pun, rasanya Dalila tidak akan terbangun. Lalu, Winter pun berubah menjadi seorang pria dewasa dengan rambut hitam dan netra keemasan yang berkilau indah.
Jika tadi Dalila yang mengusapi tubuh Winter dengan lembut, maka kini berbeda. Pria yang tak lain adalah perwujudan dari Winter yang mengusap dan menepuk-nepuk punggung Dalila dengan lembut. Hal tersebut membuat Dalila semakin terlelap dengan nyenyak. Pria itu menatap wajah Dalila dengan netra keemasannya. “Aku harus bagaimana, Dalila? Aku tidak bisa membiarkan situasi seperti ini terus. Aku tidak tahan dengan para b******n yang berada di sekitarmu,” ucap pria itu lalu memainkan anak rambut yang menghiasi pipi putih Dalila.
“Sepertinya aku harus bergegas. Tentu saja aku tidak boleh sampai kehilanganmu,” bisiknya sebelum menghadiahi sebuah kecupan pada kening Dalila yang tersenyum dalam tidurnya.