2. Takut Identitas Terbuka

1400 Kata
Malam harinya anggota keluarga Dirgantara dan beberapa ART termasuk Abigail menyambut kedatangan Joni Dirgantara di depan pintu utama. Semua orang membungkuk untuk memberi hormat kepada pria berusia 70 tahun itu. Namun langkah Joni berhenti saat melihat anggota keluarganya tidak lengkap. “Di mana Kenny?” tanya Joni kepada semua orang yang ada di dalam ruang tamu. Tak ada satupun yang menjawab pertanyaan itu. Abigail ingin menjawab tapi dia kembali menutup mulutnya ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Konita yang seolah sedang siap melahapnya hidup-hidup jika berbicara. “Entah perbuatan buruk apa yang aku lakukan di kehidupan sebelumnya. Kenapa di usia tuaku ini jadi seperti ditimpa kesialan yang bertubi-tubi. Belum selesai masalah suap yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab di perusahaan yang membuatku harus dipermalukan di kejaksaan, anak laki-lakiku satu-satunya malah mempermalukan dirinya di pesawat,” ujar Joni sambil menahan amarah. Joanna maju selangkah untuk mendekati ayahnya. “Papa jangan terlalu emosi. Nanti darah tinggi Papa kambuh,” ujar Joanna dengan suara rendah. “Menurutku skandal yang dilakukan oleh Kenny justru menaikkan harga saham perusahaan kita, Pa. Aku sudah mengurus masalah konten yang beredar di media sosial. Aku membayar orang untuk membuat akun palsu lalu menuliskan komentar beragam tentang kesan setelah menaiki pesawat kita. Jadi sekarang orang-orang sudah mulai ramai membicarakan unit pesawat yang baru saja diluncurkan oleh Dirgantara Airlines, Pa,” jelas Joanna dengan penuh kebanggaan. Joni mengangguk beberapa kali sambil tersenyum tipis. “Kerja bagus, Joanna. Informasi kamu adalah hal paling menyenangkan yang Papa dapatkan sepanjang hari ini,” tukas Joni lalu melanjutkan langkahnya kembali. Joanna tersenyum penuh kebanggaan pada dirinya sendiri atas prestasi yang baru saja ia torehkan dan membuat puas sang ayah. Dia lalu berjalan mengikuti langkah sang ayah tanpa memedulikan anggota keluarga yang lain. Beberapa saat kemudian seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan untuk menikmati makan malam bersama. Abigail sepeti biasa melayani anggota keluarga Dirgantara tanpa ikut duduk sebagai bagian dari keluarga. Saat ini keluarga Dirgantara sedang membicarakan rencana hendak membuat acara mewah untuk memperingati hari kematian Beny Dirgantara. Namun Abigail tidak akan ikut serta dalam perayaan itu. Jangankan diajak Abigail justru menerima hinaan lagi, lagi dan lagi dari anggota keluarga Dirgantara. “Kamu kenapa berdiri saja di sana? Memangnya kamu nggak mau bergabung makan bersama kami?” tegur Konita ketika mendapati Abigail masih tetap berdiri setelah menuang air ke gelas Leticia, anak bungsu Joni Dirgantara. “Bukannya Mama yang melarang dia bergabung dengan kita karena nggak suka dengan cara makannya?” timpal Marisa, istri dari mendiang anak sulung Joni Dirgantara. “Dia memang makannya sedikit ya. Bahkan aku menebak dia kadang nggak makan dan cuma minum air putih saja,” sambung wanita yang telah memiliki anak laki-laki berusia tujuh tahun tersebut. Kemudian Leticia dan Marisa tertawa terkekeh setelah membicarakan hal tersebut. “Tambahlah porsi makanmu agar tetap bertahan hidup. Jangan sampai kamu meninggal di rumah ini. Apalagi jika penyebabnya karena kurang makan. Seluruh isi rumah ini akan ditimpa kesialan,” ujar Konita kembali berbicara. Abigail tidak menjawab apa pun. Dia hanya diam menatap satu persatu anggota keluarga itu yang terang-terangan sedang membicarakan tentang dirinya. “Oiya, Ma. Acara peringatan hari kematian kakek bagaimana? Haruskah kita membuat seragam untuk digunakan di hari itu? Aku punya kenalan seorang designer kelas dunia. Aku yakin rancangannya pasti cocok untuk kita semua,” ujar Marisa kembali berbicara sambil menikmati makan malamnya. Tiba-tiba Joanna menyela obrolan yang tengah dibangun oleh Marissa. Perempuan itu menyebutkan nama daerah tempat panti jompo milik Dirgantara Foundations berada. “Untuk apa aku ke sana?” timpal Marisa. “Aku nggak sedang bertanya sama kamu. Aku menanyakan ini pada Abigail. Main sahut aja kamu itu,” hardik Joanna. “Aku dengar tiga hari lagi ada acara pembukaan hotel mewah milik keluarga Santana. Tapi sepertinya aku nggak bisa menghadiri acara itu karena bertepatan dengan hari kematian kakek. Bisakah kamu mewakiliku?” tanya Joanna meluruskan tatapannya ke arah Abigail. “Ah, aku ingat. Bukankah Santana Group itu yang mengalahkanmu saat perebutan izin kepemilikan lahan untuk pembangunan hotel di daerah itu ya?” sambung Leticia sambil menahan tawa. Joanna tampak kesal saat Leticia mengingatkannya akan hal itu. Adik bungsunya itu memang sungguh menyebalkan. Selain kesulitan dalam berpikir, gadis itu juga tidak memiliki filter sama sekali dalam setiap ucapannya. “Aku tahu kamu sangat ingin datang ke tempat itu tapi kamu takut membahasnya. Sejak menikah kamu nggak pernah pulang ke daerah itu untuk mengunjungi keluargamu yang masih ada di desa dekat pembangunan hotel Santana, kan,” ujar Joanna melanjutkan ucapannya. Abigail nampak terkejut mendengar ucapan Joanna. Tiba-tiba dia merasa resah dan khawatir Joanna mulai mengetahui tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Namun Marisa menangkap beda reaksi yang ditunjukkan oleh Abigail. “Jadi serius, kamu benar-benar berasal dari desa yang ada di kaki gunung itu?” tanya Maris tak percaya sambil menatap Abigail dari ujung rambut hingga kepala. “Kamu sangat beruntung Kakek Beni mengangkutmu kemari dan lihatlah perubahanmu setelah menjadi bagian dari keluarga ini. Sangat drastis dan sama sekali nggak menunjukkan kalau kamu adalah seorang gadis desa, miskin dan yatim piatu.” Abigail mengembalikan ekspresinya seperti sedia kala. Dia tidak ingin membuat rumit keadaan ini jika harus menunjukkan perubahan ekspresi yang membuat anggota keluarga Dirgantara curiga padanya. “Seharusnya aku nggak perlu membahas hal itu kalau tahu akan berbuntut panjang seperti ini,” sesal Joanna. “Kurasa keluarganya pun sudah nggak menerima kehadirannya. Terbukti selama empat tahun menikah dengan Kak Kenny, nggak ada satupun orang yang mengaku sebagai anggota keluarganya yang mendatangi rumah ini. Aku curiga dia sama sekali sudah nggak punya keluarga. Atau lebih buruk dari itu dia dibuang dari keluarganya,” sambung Leticia masih terus berusaha menjatuhkan dan menghina Abigail lewat-lewat kata-kata menyakitkan berkedok simpati darinya. “Cia! Bisakah kamu menyaring ucapanmu sebelum diperdengarkan pada orang lain?” tegur Joanna yang mulai muak pada sifat adik perempuannya itu. Leticia tampak tidak terganggu sedikitpun pada teguran sang kakak. Dia tersenyum sinis lalu mengedikkan salah satu bahunya tak acuh. “Kalau memang ucapan Cia terbukti kebenarannya, kamu saja dibuang oleh keluargamu, itu artinya mereka memang sudah tidak tahan padamu. Aku benar-benar heran apa yang dilihat oleh kakek Beni sampai nekat membawamu kemari dan menikahkanmu dengan anak laki-lakiku,” cibir Konita. “Maafkan aku, Ma,” jawab Abigail akhirnya ikut bersuara setelah selama beberapa menit terakhir hanya menjadi bulan-bulanan anggota keluarga Dirgantara. Konita berdecih kesal. Dia benar-benar muak pada menantunya itu. “Kamu itu benar-benar bodoh atau gimana, sih? Sepanjang menjadi menantu hanya kata-kata itu yang selalu terdengar dari mulutmu. Robot buatan manusia saja sudah bisa bicara lebih banyak darimu sekarang ini,” cecar Konita. “Bisa-bisanya aku harus menjadi mertua dari orang seperti dirimu. Aku benar-benar menyesal mendengarkanmu untuk mencegah kakek hari itu yang ingin menikahkan manusia aneh ini dengan anak kita, Pa. Seharusnya aku nggak diam saja menuruti ucapan Kakek.” “Sudah, cukup! Aku sudah cukup berjuang seumur hidupku. Jadi aku memilih sekali lagi untuk menjadi anak yang penurut, berharap tetap mendapatkan sokongan dana dari ayahku untuk bisnis-bisnis baruku yang sedang bersaing ketat dengan Santana Group. Aku nggak tahu kalau ternyata dia sama sekali nggak mendatangkan keberuntungan sedikitpun untuk bisnis-bisnisku itu.” Jantung Abigail berdenyut lebih cepat setiap kali mendengar nama keluarga serta perusahaan milik keluarganya disebut oleh satu persatu anggota keluarga Dirgantara. Dia belum ingin identitasnya diketahui lebih cepat, karena masih banyak hal yang harus dikumpulkannya di rumah ini agar bisa menjatuhkan keluarga Dirgantara jika kelak telah pergi dari sini. Kemudian Joni bangkit dari kursi makan sebagai tanda telah mengakhiri acara makannya. Tak peduli sisa makanan di hadapannya masih tersisa banyak dan bahkan nyaris tidak tersentuh karena baru berkurang sedikit, Joni tetap memilih meninggalkan meja makan tanpa membuat perutnya terisi dengan benar. Tak berselang lama Konita mengikuti jejak suaminya yang telah meninggalkan meja makan lebih dulu dengan alasan muak berada di sekitar Abigail apalagi harus menghirup udara yang sama dengan menantunya itu. Sebelumnya wanita itu mengomel panjang lebar membahas tentang sang suami yang selalu kalah dalam perebutan kekuasaan sebagai putra kedua dan kejadian kebakaran di pabrik milik salah satu anak perusahaan Dirgantara Group yang terjadi 10 tahun silam. Namun ucapannya terhenti oleh teguran dari Joanna yang terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya saat ibunya membahas kedua hal yang dianggap paling tabu untuk dibahas di dalam rumah ini. Abigail hanya menarik napas panjang melihat pertengkaran suami istri yang baru saja terjadi di depan matanya. Tak sekali dua kali dia harus melihat pemandangan seperti ini karena pertengkaran maupun perdebatan sengit bukanlah hal yang baru dilihatnya selama menjadi menantu keluarga Dirgantara. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN