18. Informasi Mengejutkan

1107 Kata
“Bukankah itu Abbey? Apa yang dia lakukan di tempat ini? Setauku tempat ini telah dibooking secara eksklusif selama lima hari kedepan oleh pihak Santana Group. Sehingga tempat ini tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang jika tidak bisa menunjukkan kartu kunjungan khusus. Apa Abbey ada hubungan dengan Santana Group?” Leonel melihat sosok itu baru saja keluar dari ruang pesemayaman. Perempuan yang pertama kali dilihatnya sepuluh tahun silam di rumah sakit saat ia harus menunggu jenazah sang ayah yang meninggal akibat sebuah kebakaran yang menimpa pabrik sebelum dibawa ke rumah duka. Seketika itu memori ingatannya berputar ke masa sepuluh tahun silam. Sesaat setelah Soni Dirgantara, ayah Leonel yang merupakan pewaris Dirgantara Group yang sebenarnya dinyatakan telah meninggal dunia, Pak Buang adalah satu-satunya orang yang menemani Leonel di hari terberat dan tersulitnya. Sementara itu semua orang berkata bahwa pamannya, Joni Dirgantara yang akan mewarisi dan mengambil alih perusahaan setelah sang kakek telah tiada nantinya. Leonel yang saat itu baru berusia18 tahun kala itu tidak mampu berbuat apa-apa untuk melawan kelicikan pamannya. Dia hanya bisa menerima perlakuan buruk Joni yang telah mendoktrin dirinya bahwa sang ayah memang bersalah karena telah melakukan perbuatan buruk dan mengecewakan, jadi sudah sepantasnya mendapatkan sanksi dan hukuman. Malam itu Leonel sedang duduk termenung di taman rumah sakit, menunggu proses administrasi pemulangan jenazah ayahnya yang baru saja meninggal dunia akibat kebakaran hebat di tempat . Seorang gadis berkulit putih, bermata indah dan senyum menenangkan datang menghampiri dirinya. Gadis itu mengenakan celana kulot berwarna coklat dan atas baju khusus pasien rumah sakit. Malam itu adalah kali pertama Leonel bertemu dengan Abigail. Setelah mengobrol selama hampir lima belas menit tanpa tahu nama gadis itu, Leonel mendapatkan informasi bahwa gadis itu juga baru saja kehilangan orang yang sangat dicintainya untuk selama-lamanya seperti dirinya. Merasa senasib mereka lalu berkenalan. Sejak pertemuan mereka di rumah sakit, Leonel dan Abigail sempat bertemu kembali. Beberapa kali Leonel datang berkunjung ke desa tempat tinggal Abigail dan mendiang neneknya. Namun saat Leonel datang berkunjung untuk berpamitan pindah ke Jerman untuk sementara waktu sekaligus meminta Abigail menunggunya kembali, rumah gadis itu sudah kosong. Menurut keterangan tetangga sekitar Abigail dibawa pindah ke pusat kota oleh keluarga dari pihak ayahnya. Sayangnya karena Leonel tidak memiliki banyak informasi tentang seluk beluk dan latar belakang keluarga Abigail, dia tidak bisa menemukan Abigail secepatnya. Ditambah lagi dia tidak punya banyak waktu karena sedang dikejar waktu untuk segera mengikuti penerbangan ke Jerman. Sejak hari itu tidak ada komunikasi lagi di antara Leonel dan Abigail. Satu hal yang mereka sadari saat itu, bahwa keduanya tidak saling tahu kontak telepon masing-masing. Sehingga sulit bagi mereka untuk mencari cara berkomunikasi satu sama lain. Ditambah lagi keduanya disibukkan beradaptasi dengan lingkungan baru masing-masing. Abigail disibukkan menyesuaikan dengan lingkungan keluarga ayahnya yang ternyata belum bisa menerima kehadirannya. Sementara itu Leonel sibuk meningkatkan nilai dirinya agar tidak mudah disepelekan oleh keluarga pamannya yang dengan tega mendepak dia dan ibunya dari garis keturunan Dirgantara setelah sang ayah meninggal dunia. Leonel bergerak ke arah Abigail yang sedang berjalan menuju ruang tunggu VIP. Dia mengikuti langkah Abigail yang tampak gontai dan menundukkan kepala. Tepat ketika Abigail hendak membuka pintu ruang tunggu VIP perempuan itu menoleh karena merasa ada yang sedang memerhatikan dirinya dari jarak tertentu. Detik berikutn tatapan keduanya saling bertemu. Bahkan dari gerakan bibir saja, Leonel bisa menebak perempuan itu sedang menggumamkan namanya. Tak perlu pikir panjang lagi, Leonel melanjutkan langkah ke arah Abigail yang sedang menghentikan aktivitasnya, seolah sengaja menunggu Leonel mendatanginya. “Abbey? Benarkah ini kamu?” tanya Leonel ragu. “Leon?” Abigail bertanya balik setelah menjawab pertanyaan Leonel. “Bagaimana kabarmu, Abbey?” Refleks Leonel merengkuh tubuh mungil Abigail hingga tenggelam di dalam tubuh atletisnya. “Kabarku baik, Leon. Tapi bisakah kamu melepaskanku? Di sini akan banyak pasang mata yang menyaksikan adegan ini. Aku nggak mau mereka berspekulasi macam-macam tentang diriku,” ujar Abigail. Dengan berat hati Leonel melepaskan pelukannya. Tatapan yang tadinya berbinar kini berubah menjadi sorot penuh kesedihan melihat orang yang sangat dirindukannya itu. Di waktu yang bersamaan terdengar suara dua orang yang berbeda menyerukan nama masing-masing. Keduanya refleks menoleh dan mendapati Farusman beserta Pak Buang sedang berdiri menatap mereka berdua dengan tatapan penuh tanya. Farusman yang lebih dulu terlihat bergerak menuju ke arah Abigail. “Maaf, Nona Abbey. Bisa ikut saya sebentar?” izin Farusman lalu memberi jalan kepada Abigail agar melangkah lebih dulu. Tidak lama kemudian Farusman menyusul mengikuti langkah Abigail. Meninggalkan Leonel tanpa basa basi apa pun. Setelah Abigail dan Farusman menghilang dari pandangan Leonel, Pak Buang datang menghampirinya. “Perempuan tadi siapa? Sepertinya kamu sangat mengenalnya dengan baik, Leon?” tanya Pak Buang penasaran. “Sikap Farusman juga menunjukkan kalau dia begitu menghormati perempuan itu.” “Namanya Abbey. Aku juga nggak tahu dia ada hubungan apa dia dengan keluarga Santana. Pria tadi juga memanggilnya dengan sebutan Nona Abbey,” balas Leonel dengan wajah bingung. “Saya akan mencari tahu soal itu nanti. Lebih baik kamu segera beri penghormatan terakhir untuk mendiang lalu segera pergi dari tempat ini,” ujar Pak Buang memperingatkan. Leonel mengangguk setuju. Dia mengikuti langkah Pak Buang menuju ruang pesemayaman. Seperti yang disarankan oleh Pak Buang tadi, segera setelah memberi penghormatan terakhir untuk anggota keluarga Santana yang telah meninggal dunia, Leonel meninggalkan rumah duka. Sementara itu di tempat lain Farusman sedang membicarakan hal serius dengan Abigail terkait soal laki-laki yang baru saja bertemu dengan Abigail. “Apa Nona Abbey mengenal laki-laki tadi dengan baik? Bisa tolong ceritakan ada hubungan apa antara Nona Abbey dengan dia?” “Namanya Leon. Aku mengenalnya di rumah sakit sepuluh tahun yang lalu. Malam itu dia baru saja kehilangan ayahnya. Sedangkan aku kehilangan nenekku. Seperti ada benang merah di antara kami, tiba-tiba saja akrab begitu saja. Setelah pertemuan di rumah sakit, beberapa kali dia menemuiku di desa. Tapi setelah hari kepindahanku ke kota kami nggak pernah ketemu lagi sampai tadi,” jelas Abigail. “Apa Nona Abbey tahu laki-laki itu siapa dan latar belakangnya?” tanya Farusman lagi. Abigail menggeleng pelan. Dia sendiri baru menyadari kalau tidak banyak hal yang diketahuinya tentang Leonel. Kendati begitu memori tentang kebersamaannya dengan Leonel yang terbilang singkat sangat membuatnya terkesan dan begitu melekat dalam ingatannya. Semua memori yang terlupakan seolah berputar ulang tanpa perintah saat mereka bertemu beberapa menit yang lalu. “Aku bahkan nggak tahu nama lengkapnya apalagi nama belakangnya keluarganya," sesal Abigail. “Setahu saya dia adalah Leonel Dirgantara. Anak tunggal dari Soni Dirgantara yang merupakan anak sulung Beni Dirgantara yang telah tiada. Ya, dia adalah kakak sepupu mantan suami Nona Abbey, Kenny Dirgantara.” Kedua bola mata serta bibir Abigail membulat sempurna karena terlalu terkejut mendengar informasi yang baru saja didengarnya. Dia sampai kehabisan kata-kata untuk merespon penjelasan Farusman. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN