12. Lebih Baik Pergi

1365 Kata
Sesampainya di kamarnya Abigail meminta pada Kenny agar melepas tangannya. Kenny menarik napas panjang lalu menyemburkannya kasar. “Mau bicara apa?” tanya Abigail dingin. “Kamu kenapa, sih? Aku seperti nggak mengenali istriku tadi,” ujar Kenny. Kening Abigail berkerut dalam menatap lekat ke arah Kenny. “Memangnya selama ini kamu mengenaliku? Bahkan selama empat tahun lebih kita menikah, baru kali ini kamu menyebutku sebagai istri,” balas Abigail sengit. “Biasanya juga kamu nggak suka mencari keributan dengan siapapun.” “Ya, selama ini aku diam saja. Nggak masalah anggota keluarga Dirgantara yang menghinaku karena biar bagaimanapun aku telah mendapatkan banyak hal di keluarga ini, tapi kalau ada orang luar yang menghinaku tentu saja aku nggak akan diam saja,” bantah Abigail tegas. “Iya, tapi nggak perlu dengan ribut seperti tadi bisa,kan?” “Sudah kubilang kalau bukan aku yang memulai duluan,” ujar Abigail datar. “Ayolah, apa salahnya kamu mengalah seperti biasanya? Lebih aman buat kamu juga. Kamu pikir Mama akan diam saja melihat sikapmu yang tadi? Dia nggak akan melepaskan kamu, Abbey. Dan aku nggak akan bisa membelamu karena beberapa waktu ke depan aku disibukkan mengurusi proyek besar. Kurang lebih tiga bulan lagi, produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan garmen yang aku kelola akan melakukan kolaborasi dengan designer papan atas Debora dan dilibatkan dalam acara fashion show tingkat internasional. Waktuku bersamamu tentunya juga akan berkurang karena aku lebih banyak menghabiskan waktuku di kantor. Kamu paham maksud aku, kan?” Abigal terdiam. Dia meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Kenny dan menebak makna di baliknya. “Aku paham, tapi untuk apa kamu menjelaskan semuanya padaku?” “Karena kamu istriku.” Rasanya Abigail ingin tertawa terbahak-bahak ketika Kenny menyebut kata istri. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia ingin menyebutkan kata itu. “Kamu itu lucu. Tiba-tiba baik, tiba-tiba membelaku, tiba-tiba mengakui kalau aku istrimu. Kamu pikir dengan begitu aku akan menarik kembali gugatan cerai yang telah aku ajukan? Kamu salah kalau punya pemikiran seperti iu.” Akhir-akhir ini Abigail memang lebih banyak mengeluarkan kata-kata setiap kali berdebat dengan Kenny. Biasanya Abigail hanya diam saja dan Kenny yang tidak sabaran selalu menyelesaikan setiap persoalannya dengan kekerasan. “Terus mau kamu apa?” tanya Kenny dengan sorot mata tajam. “Aku tetap mau cerai darimu.” “No! Aku mohon bertahanlah sebentar lagi. Setidaknya sampai hari jadi pernikahan kita yang kelima, Abbey. Aku sudah berjanji padamu, kan, untuk memperbaiki sikap burukku? Percayalah padaku, aku akan menjaga sikapmu sampai hari itu. Setelah itu aku akan menuruti semua permintaanmu itu. Toh, juga kamu nggak akan dirugiin dengan bertahan sebentar lagi. Kamu akan mendapatkan 5 persen saham Dirgantara Group. Kamu bisa membuat usaha kecil-kecilan dengan semua yang akan kamu dapatkan. Aku juga nggak akan tutup mata setelah bercerai nanti. Aku akan tetap membantu kehidupanmu.” “Aku nggak mau apa-apa darimu. Aku cuma mau cerai. Itu saja,” jawab Abigail dingin. Rahang Kenny mengetat menahan amarah. Dia memutuskan tidak melanjutkan perdebatan ini. Dia berbalik badan lalu meninggalkan kamar Abigail. Tak ingin berlama-lama di kamar lalu membuat sang ibu mertua murka, Abigail memutuskan segera keluar dari kamar lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Saat Abigail membuka pintu kamarnya ternyata Marisa sudah berdiri di balik pintu kamar itu dengan membawa dua gelas wine. “Aku nggak sengaja mendengar percakapan kamu dengan Kenny. Benar kamu mau cerai dari adik iparku?” tanya Marisa sambil terus melangkah ke depan Abigail hingga membuat Abigail kembali masuk ke kamar, lalu menutup pintu. Abigail memalingkan wajah dari tatapan intens Marisa yang seolah sedang menelanjanginya itu. “Aku tahu kamu telah merawat keluarga ini dengan cukup baik. Tapi itu saja nggak cukup untuk mengganti semua kerugian yang harus ditanggung keluarga ini saat kamu menikah dengan adik iparku,” ucap Maris sembari menyodorkan salah satu gelas wine kepada Abigail. Namun Abigail menolak pemberian itu. Hal tersebut membuat Marisa tampak kesal pada Abigail. Wanita itu meletakkan gelas wine di atas meja yang terletak di baling punggung Abigail dengan kasar. “Jujur aku sudah muak melihat wajahmu. Harusnya dari awal kamu menolak permintaan kakek yang ingin menikahkan kamu dengan Kenny. Tapi kamu terlalu besar kepala, merasa bahwa dirimu sangat pantas bersanding dengan anggota keluarga Dirgantara, kamu mau-mau saja menikah dengan Kenny yang jelas-jelas sangat tidak menyukaimu. Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya sedang kamu cari dalam keluarga ini sampai harus bertahan sejauh ini dengan semua luka di sekujur tubuhmu?” ujar Marisa. Wanita itu sedikit menunduk lalu berbisik di telinga Abigail, “Setelah aku mendengar percakapan kalian tadi, aku bisa meraba alasanmu itu. Pantas saja sikap Kenny berubah beberapa hari ini. Sepertinya dia takut kehilangan kuncinya untuk mendapat warisan kakek karena kamu sudah menggugat cerai. Aku nggak nyangka kamu punya keberanian itu. Kehidupan seperti apa yang sedang kamu nantikan setelah bercerai dari Kenny?” tanya Marisa penuh selidik. “Nyonya Marisa yang terhormat. Siapapun Anda dan status Anda di rumah ini, saya tidak peduli selama Anda tidak mencampuri urusan saya. Lebih urus urusan Anda sendiri,” tegas Abigail. Marisa tersenyum sinis lali menatap Abigail lekat-lekat, “Kamu pikir dirimu siapa? Beraninya bicara seperti itu pada kakak iparmu? Asal kamu tahu, semakin cepat kamu bercerai dengan Kenny, maka itu lebih baik buat aku dan anakku. Karena jatah warisan untuk Kenny otomatis turun ke anakku,” ujar Maris dengan tatapan indtimidasi. “Maaf Nyonya Marisa. Aku terlalu sibuk untuk meladeni omong kosongmu,” ujar Abigail dingin, mulai berani melawan satu persatu anggota keluarga Dirgantara. “Oya, dari pada kamu repot-repot menyampaikan semua hal yang kamu katakan tadi, kenapa nggak kamu saja yang membujuk Kenny supaya segera menandatangani surat gugatan cerai yang sudah aku berikan padanya?” Abigail kemudian berlalu dari hadapan Marisa. Masih banyak hal yang ia selesaikan daripada meladeni kakak iparnya yang sangat suka memancing di air keruh itu. Tepat ketika langkah Abigail sudah sampai di ambang pintu kamar yang telah dibukanya, tangannya ditahan oleh Marisa. Abigail yang terkejut refleks melepaskan tangannya. Padahal kekuatan yang digunakan oleh Abigail untuk menepis tangan Marisa tidak terlalu besar. Namun perbuatannya itu membuat Marisa terpental ke lantai dan memekik kesakitan. Bersamaan dengan itu Kenny masuk kamar dan melihat semua yang terjadi beberapa detik lalu. Teriakan Marisa yang cukup kencang tadi juga mengundang orang-orang mendatangi kamar Abigail, termasuk Konita dan Leticia. “Apa yang terjadi?” tanya Kenny dengan tatapan menghunus ke arah Abigail, saat membantu Marisa berdiri. “Aku tadi hanya mau meminta maaf telah membuat Abigail menyiapkan pesta ulang tahun Mama sendirian, karena aku sedang nggak enak badan jadi nggak bisa membantu meringankan pekerjaannya. Tapi tiba-tiba dia kesal dan mendorongku sampai tersungkur ke lantai,” ujar Marisa sambil menunjukkan wajah sedihnya. “Serius lo ngelakuin itu ke kakak ipar lo sendiri?” tanya Leticia tak percaya Abigail melakukannya tapi dengan tatapan menuduh kalau memang Abigail telah melakukan perbuatan itu. “Kejam banget kalau kata gue, sih. Orang mau minta maaf malah didorong. Aneh!” sambung gadis itu. “Aku sama sekali nggak melakukan itu!” ujar Abigail membela diri. Kenny mendekati Abigail lalu menarik pelan tubuhnya agar menjauh dari orang-orang yang tengah menatap penuh intimidasi pada perempuan itu. “Kamu hanya perlu minta maaf maka persoalan ini nggak akan panjang dan kamu juga nggak mendapat makian seperti yang dilontarkan sama Cia. Aku janji akan membantu agar Mama nggak ikut campur masalah ini,” ujar Kenny berbisik lembut di telinga Abigail. Abigail menepis tangan Kenny yang tengah merangkul pundaknya. “Aku nggak akan tinggal diam kali ini. Sudah waktunya aku membela diri. Aku muak diinjak-injak terus sama kalian. Mulai detik ini aku akan angkat kaki dari rumah ini,” ujar Abigail menunjukkan perubahan ekspresi di wajahnya. Yang tadinya datar kini mengetat penuh emosi. “Kalau kamu pergi dari sini, kamu mau tinggal di mana? Kamu juga tahu kan, konsekuensinya kalau meminta perpisahan dariku?” ucap Kenny menegaskan. “Aku nggak takut konsekuensi apa pun. Dan bukan urusanmu aku akan tinggal di mana setelah ini!” ujar Abigail tegas. Kenny tersenyum mencemooh. “Baiklah kalau itu maumu. Jangan menyesal karena itu keputusanmu sendiri,” ujarnya penuh ancaman. Abigail menyambar tas yang berisi dompet serta ponselnya. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu meletakkannya di atas meja rias. Selanjutnya dia pergi dari kediaman keluarga Dirgantara disaksikan langsung oleh ibu mertua dan saudara iparnya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN