6. Hukuman untuk Abigail

1093 Kata
Bu Devi dan 4 ART yang bekerja di kediaman keluarga Dirgantara menaiki tangga menuju ke lantai dua, tepatnya hendak mendatangi kamar Abigail. Selain segala sesuatunya diatur dan harus mentaati perintah serta peraturan, di rumah ini Abigail memang tidak memiliki privasi apa pun. Kamarnya bebas dimasuki oleh siapapun yang mendapat perintah langsung untuk memasuki kamar tersebut dari Konita. Sebuah informasi tertinggal tentang kamar Abigail adalah Abigail dan Kenny tidak tinggal satu kamar. Meski berstatus sebagai pasangan suami istri yang sah di mata hukum dan agama, Kenny memilih tinggal di kamar lain dengan Abigail dari sejak mereka menikah tiga tahun yang lalu. Saat ini Bu Devi dan empat ART sudah berada di dalam kamar Abigail. Wanita berusia 60 tahun dan belum menikah itu membuka pintu walk in closet berbahan kaca itu yang berisi pakaian dan perlengkapan lain milik Abigail. Dress yang terpasang di manekin masih tetap sama dengan yang diletakkan oleh Bu Devi pagi tadi sesaat setelah Abigail meninggalkan rumah dan akan digunakan perempuan itu saat pulang. Bu Devi memeriksa seluruh penjuru walk in closet dan mendapati semua barang masih berada di tempat yang seharusnya. “Saya rasa semuanya masih lengkap,” ujar Bu Devi lalu melangkah ke depan para ART yang tadi mengikutinya. “Kapan terakhir kalian berkomunikasi dengan Nona Abigail?” “Terakhir saat mengantarnya ke teras depan. Saya mengingatkan agar dia kembali tepat waktu.” “Dia berangkat dari rumah pukul delapan pagi dan sampai hampir pukul dua siang dia belum pulang, padahal acara pelelangan telah selesai sebelum jam makan siang,” ujar Bu Devi sama sekali tidak bisa menyembunyikan raut cemas di wajahnya. Ada banyak hal yang ia cemaskan. Khawatir Abigail mendapat hukuman, khawatir Abigail mengalami sesuatu yang buruk di luar sana dan banyak hal yang ia khawatirkan dari Abigail, akan tetapi tidak bisa diungkapkan karena dia harus menjaga wibawanya sebagai kepala asisten rumah tangga di sini. Bu Devi lalu menghubungi firma keamanan yang bekerja sama dengan Dirgantara Group untuk meminta izin memeriksa rekaman dari seluruh titik kamera keamanan yang terpasang di areal rumah hingga hotel. Namun meski petugas firma keamanan telah memeriksa tidak menemukan keberadaan Abigail di mana-mana. “Kami sudah memeriksa seluruh rekaman CCTV. Dia terakhir terlihat di hotel dan aktivitas ponsel terakhir pada saat melakukan transaksi pembayaran. Setelah itu sudah tidak aktif lagi.” “Sudah memeriksa rekaman panggilan teleponnya?” “Petugas kami sedang melakukan pemeriksaan rekaman panggilan telepon.” “Baiklah. Kalau hasil rekaman panggilan teleponnya sudah keluar segera kirim kepada saya,” ujar Bu Devi kemudian bergegas meninggalkan kantor firma keamanan sebelum keluarga Dirgantara pulang. Wanita itu berharap semoga Abigail sudah ada di rumah saat ini. Sehingga dia tidak perlu melakukan sesuatu untuk melindungi perempuan itu. Namun sepertinya Bu Devi terlambat. Tepat ketika dia baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga netranya menangkap Abigail yang sedang berdiri dan menerima dua kali tamparan dari Konita. Entah ada masalah apa sebelumnya yang membuat perempuan itu harus menerima perlakuan seburuk itu dari ibu mertuanya sendiri. Sementara sang ayah mertua sedang asyik membaca koran di sofa kebesarannya. “Tutup mulutmu, Jalang?!” pekik Konita setelah menampar Abigail. Kemudian melewati suaminya begitu saja. “Sudah aku bilang berkali-kali kepadamu! Kamu boleh melakukan apa pun padanya, tapi jangan di depanku!” hardik Joni kepada istrinya yang kini tengah menunjukkan wajah penuh amarah. “Pemandangan seperti itu membuatku muak. Sial!” maki Joni kemudian bangkit dari sofa dan meninggalkan ruang keluarga. Tak lama kemudian Joanna datang mendekat ke arah Abigail. “Nggak perlu diambil hati omongan Mama dan Papa. Mereka lebih tua darimu dan juga mertuamu. Jadi mereka punya hak mengatakan apa pun kepadamu,” ucap Joanna dengan santainya. Tak berselang lama Marisa ikut campur dan berpendapat. “Kamu benar-benar luar biasa. Kalau aku jadi kamu, sudah aku tinggal tempat ini sejak lama,” katanya lalu meninggalkan Abigail begitu saja. Tak cukup sampai di situ, kini giliran Leticia yang datang mendekat ke arah Abigail hanya untuk mencemooh kakak iparnya itu. “Mama memang orangnya mood swings abes. Padahal tadi waktu perjalanan pulang dari gereja fine-fine aja. Tapi begitu nyampek rumah dan tahu lo belum ada di rumah, bahkan belum pulang dari mulai pagi tadi, suasana hatinya langsung berubah secepat kilat,” ucapnya tanpa dipikir. “Lagian… Hobi banget, sih, lo bikin Mama bad mood. Heran, deh. Padahal udah tiga tahun jadi menantu masa nggak bisa-bisa ngertiin ibu mertua sendiri. Marisa yang bodoh itu aja cepet tanggap loh, sama suasana hati Mama,” cibir Leticia. Kini tinggal Abigail yang ada di ruang tengah sambil berdiri seperti pesakitan, seolah dia adalah seorang tersangka pelaku pembunuhan yang menanti hukuman. Pipinya tampak memar kemerahan karena Konita menamparnya cukup kuat beberapa saat yang lalu. Bu Devi segera mendekat dan menarik tangan Abigail ke arah dapur. Wanita itu segera mengambil sebuah kantong dan mengisinya dengan es batu. Abigail menolak ketika Bu Devi hendak mengompres pipinya. Akhirnya wanita itu tidak memaksa dia menyerahkan kantong berisi es batu itu kepada Abigail. “Kompres sendiri kalau begitu. Supaya tidak semakin bengkak dan dilihat oleh Tuan Kenny lalu dia semakin menyalahkanmu,” ujar Bu Devi datar. “Harusnya kamu belajar dari kesalahan yang lalu-lalu. Sudah tahu kalau melanggar aturan ada hukumannya. Tapi masih saja mengulang kesalahan,” ceramah Bu Devi. “Aku mau bercerai,” ujar Abigail sambil menerima kantong berisi es batu lalu menempelkan di pipinya pelan-pelan. “Bicara apa kamu? Sudah jangan ngelantur. Kalau sudah selesai segera mandi dan ganti pakaianmu. Setelah itu kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam,” ujar Bu Devi lalu meninggalkan dapur sekaligus Abigail. Abigail mengepalkan tangan karena omongannya dianggap sebuah omong kosong. Dia menarik napas panjang untuk menetralkan perasaannya. Kata Furasman dia harus bersabar sedikit lagi supaya peceraiannya berjalan lancar. Beberapa hari kemudian dokumen perceraian yang dibutuhkan oleh Abigail telah selesai. Furasman mengirim dokumen tersebut lewat kurir paket yang biasa mengantar dokumen-dokumen ke kediaman keluarga Dirgantara. Meski dihantui rasa khawatir ketahuan oleh penghuni rumah, tapi akhirnya dokumen itu sampai ke tangan Abigail dengan selamat dan tanpa drama ketahuan tentunya. Abigail lalu menyiapkan dirinya sebelum mengantar sendiri dokumen perceraiannya langsung kepada Kenny yang kebetulan sedang berada di pusat perbelanjaan untuk meninjau tenan-tenan yang disewa oleh beberapa brand produk lokal. Bertepatan juga hari ini dia menyelesaikan tugas untuk mengambil sepatu Leticia yang terlupakan beberapa hari yang lalu dengan alasan sedang tidak sehat saat itu. Hal itu juga yang menjadi alasan Abigail pulang terlambat hari itu, karena dia terpaksa dilarikan ke pusat kesehatan tak jauh dari hotel Dirgantara karena pingsan akibat kelelahan, sesaat setelah melakukan transaksi dengan direktur galeri seni. Furasman yang telah mengatur sedemikian rupa sehingga pertemuan rahasia mereka tidak ketahuan oleh keluarga Dirgantara. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN