7. Hinaan Terhadap Abigail

2234 Kata
Sebenarnya pernikahan Abigail dengan Kenny bisa dibilang adalah sebuah pernikahan kontrak. Karena pernikahan ini akan berakhir jika Kenny telah mendapatkan harta warisan dari sang kakek berupa saham dan anak perusahaan jika mampu mengangkat namanya berada di deretan tiga besar daftar ahli waris Dirgantara Group. Sementara saat ini posisi Kenny berada di urutan nomor enam atau bisa dibilang dia hanya memiliki saham sekitar 10 persen. Itupun tidak bisa dinikmati oleh Kenny sepenuhnya jika Kenny tidak bisa mempertahankan pernikahannya hingga tahun kelima. Jika pun harus terjadi perpisahan maka yang berhak mengajukan gugatan cerai hanyalah dari pihak Kenny. Abigail pun begitu. Dia akan mendapatkan hadiah warisan dari Beni Dirgantara berupa saham Dirgantara Group sebesar 5 persen secara cuma-cuma jika bisa mempertahankan pernikahannya hingga tahun kelima. Namun kesabarannya kini sedang diuji dan dia sudah tak peduli lagi pada saham yang akan menjadi haknya kelak. Saat ini posisi tiga besar urutan kepemilikan saham Dirgantara Group masih diduduki oleh Joni Dirgantara di posisi teratas, lalu nomor tiga diduduki oleh Ivander yakni kakak sulung Kenny yang kelak akan diwariskan kepada Noel saat usianya 18 tahun. Kini saham milik Noel dikelola oleh pihak manajemen perusahaan. Sedangkan Joanna berada di urutan dan nomor lima. Sebenarnya ada lagi yang berhak atas aset dan harta milik Dirgantara Group selain Joni dan anak-anaknya. Dia adalah Soni Dirgantara, anak kedua Beni Dirgantara yang meninggal 10 tahun yang lalu. Soni memiliki seorang anak laki-laki bernama Leonel Dirgantara. Sayangnya anak Soni diasingkan di luar negeri dan terbuang karena harus menanggung kesalahan fatal sang ayah 10 tahun silam. Masing-masing berada di urutan ke 2 dan ke 4 yang saat ini saham-sahamnya sedang dikelola oleh pihak manajemen perusahaan sampai mereka kembali dan mau memperjuangkan hak-hak mereka atas Dirgantara Group. Saat ini Abigail sedang berdiri menatap pusat perbelanjan mewah dan modern milik Dirgantara Group. Dia menarik napas panjang dan dalam untuk mengatasi kegugupan dalam hatinya. Kemudian barulah dia memulai langkahnya memasuki gedung itu. Situasi pusat perbelanjaan saat itu cukup tenang karena memang yang memasuki pusat perbelanjaan itu kalangan-kalangan tertentu saja. Tempat pertama yang ia tuju adalah salah satu booth merek sepatu asal prancis untuk mengambil sepatu pesanan Leticia. “Selamat datang, Nyonya. Saya Ayu yang akan melayani Anda,” sapa salah satu SPG di booth sepatu tersebut dengan wajah semringah sambil memerhatikan penampilan Abigail dengan seksama. “Saya ke sini mau ambil pesanan sepatu atas nama Leticia Dirgantara,” ungkap Abigail datar. Tiba-tiba saja ekspresi gadis muda di hadapan Abigail itu berubah sinis lalu tersenyum mencemooh. “Oh, orang suruhannya Nona Leticia. Duduk sana, aku ambilkan dulu pesanannya,” ujarnya ketus. “Siapa, Ayu?” tanya SPG lain yang kebetulan berpapasan dengan SPG yang tadi menyambut Abigail. “Asisten rumah tangga keluarga Dirgantara mau ambil sepatu pesanan Nona Leticia,” jawabnya malas. “Gue kira Nyonya berduit, taunya sama aja jongos kayak gue,” cibirnya. “Masa sih, cuma ART? Cantik, anggun dan kelihatan berkelas gitu. Pakaian yang dipakai perempuan itu juga gue yakin harganya setahun gaji lo, Yu.” “Iya, Nona Leticia sudah pernah telepon sebelumnya kalau asisten di rumahnya yang akan datang ke sini buat ngambil sepatu pesenan beliau. Kalau soal baju yang dipakai ART itu, palingan juga bekasan nyonya rumahnya. Mana ada ART sanggup beli pakaian semahal itu.” “Bekasan gimana? Orang itu kelihatan baru. Modelnya aja nunjukin kalau tipe-tipe edisi terbatas gitu.” “Kalau nggak bekasan ya, imitasi, KW, tiruan. Kayak nggak tahu aja lo, Cina sehebat apa bikin barang tiruan brand terkemuka sekalipun.” “Itu lebih masuk akal, sih. Tapi pantes-pantes aja ya, dan nggak nunjukin kalau itu barang tiruan. Lo aja sempet ketipu kan sama penampilannya. Gue juga denger lo tadi nyambut dia dengan sebutan Nyonya, ya kan?” SPG bernama Ayu tadi tidak menggubris lagi perkataan temannya. Dia segera melanjutkan langkah untuk mencari sepatu pesanan Leticia. Tak lama kemudian dia kembali ke hadapan Abigail sembari membawa sebuah paper bag berukuran besar. “Ini barangnya. Berhati-hatilah membawanya. Itu sepatu mahal dan edisi terbatas. Gajimu setahun nggak akan sanggup untuk membeli sepasang sepatu itu walaupun sudah bekas,” ucapnya dengan tatapan merendahkan. “Baiklah, saya akan berhati-hati membawa barang mahal milik adik ipar saya ini,” ucap Abigail setelah menerima paper bag dari tangan Ayu. “Adik ipar? Jangan ngaku-ngaku lo. Cuma pelayan aja sok-sokan ngakuin Nona Leticia sebagai adik ipar. Gue aduin Nona Leticia tahu rasa lo.” Abigail tersenyum dan tak memasukkan ke hati omongan SPG itu. “Entah Leticia memperkenalkan saya sebagai apa padamu. Tapi yang jelas saya adalah istri kakak laki-laki Leticia, jadi dia adalah adik ipar saya. Benar bukan penjelasan saya?” balas Abigail dengan tutur kata yang sangat sopan. SPG itu menangkupkan kedua tangan di depan mulutnya sambil tergagap. “A-apa? Jadi Anda Nyonya Dirgantara? Ma-maaf atas kelancangan saya, Nyonya,” ucapnya lalu mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Abigail tersenyum tipis lalu menepuk pundak SPG tersebut. “Tidak masalah. Kalau sudah tidak ada barang lain yang perlu diambil, saya mau pamit dulu,” ujarnya ramah. “Sudah nggak ada lagi, Nyonya.” “Baiklah. Terima kasih sudah melayani saya dengan baik,” ujar Abigail lalu bergerak meninggalkan SPG yang masih terus mengawasinya. “Kenapa, Yu?” tegur SPG yang tadi sempat beradu pendapat dengan Ayu. “Kasihan, masih muda udah gila,” gumam Ayu. “Maksud lo?” Ayu mengajak temannya itu ke sudut toko lalu melanjutkan obrolan mereka. “ART tadi ngaku-ngaku sebagai kakak iparnya Nona Leticia. Tadi gue sempet telepon Nona Leticia untuk memastikan kalau ada ART-nya datang untuk mengambil pesanan sepatunya. Kata beliau apa pun yang dikatakan ART itu langsung diiyain aja karena ART itu sedang dalam pengawasan RSJ. Kalau dibantah dia bisa ngamuk dan mengacak-ngacak seluruh isi toko. Dia mengalami depresi berat karena suaminya ketahuan selingkuh berkali-kali.” “Serius lo?” “Iya, serius.” “Astaga, padahal cantik gitu ya.” “Cantik-cantik tapi gila. Miris banget,” cibir Ayu. “Baik dan dermawan ya, keluarga Dirgantara. Sekelas ART aja diayomi sedemikian rupa sama majikannya. Benar-benar memperlakukan manusia dengan sangat manusiawi.” “Ayo kembali bekerja. Jangan bergosip mulu!” tegur SPG lain yang melihat kedua SPG sedang mengobrol serius membicarakan Abigail. Tak jauh dari sana Abigail bersembunyi dan bisa mendengar dengan baik obrolan dua SPG tadi yang tengah menghinanya. Namun bukan hinaan itu yang membuatnya sakit hati melainkan hal-hal yang mereka bicarakan tadi sama sekali tidak ada yang benar dan yang menyampaikan ketidak benarannya adalah Leticia. Abigail hanya menggeleng pasrah menerima perlakuan adik iparnya itu. Padahal sudah berulang kali Abigail menylematkan Leticia dari hukuman mamanya karena sering melanggar peraturan di rumah. Namun sedikitpun Leticia tidak pernah bisa bersikap baik pada kakak iparnya itu. Abigail lalu melanjutkan langkah untuk mencari ruangan Kenny. Sebenarnya dia tidak pernah tahu ruangan suaminya itu. Karena ini adalah untuk pertama kalinya dia mendatangi pusat perbelanjaan untuk menemui Kenny. Jadi Abigail memutuskan untuk mendatangi lobi dan menemui resepsionis ataupun security yang bisa membantunya menemukan ruangan Kenny. “Selamat siang. Saya ada kepentingan dengan Pak Kenny. Bisa tolong tunjukkan ruangan beliau?” tanya Abigail dengan sopan kepada resepsionis. “Apa sudah ada janji sebelumnya, Nona? Kalau tidak ada janji Anda tidak bisa menemui Pak Kenny,” ujar resepsionis tadi sambil menilik penampilan Abigail. “Saya istrinya. Apa saya perlu membuat janji juga untuk menemui suami saya sendiri?” ujar Abigail membuka diri. “Istri?” balas resepsionis itu dengan tatapan mencemooh. “Iya, saya istrinya.” Biar bagaimanapun Abigail harus menemui Kenny sekarang juga. Dia tak peduli jika kini orang-orang tahu kalau laki-laki itu ternyata sudah beristri dan juga keluarga Dirgantara memiliki menantu lain yakni dirinya. Ada hal penting yang mesti dibicarakan Abigail dengan laki-laki itu. Resepsionis tadi seolah memberi kode kepada security yang sedang berjaga di pintu masuk untuk datang mendekat ke meja resepsionis. Wanita itu berbisik lirih kepada security kemudian laki-laki bertubuh tegap itu mendekati Abigail. “Ibu silakan keluar dari sini. Ibu bukan satu-satunya wanita yang pernah datang mencari Pak Kenny dan mengaku sebagai istrinya. Kami tidak ingin terkena masalah lagi kalau sampai nekat mengantar Ibu ke ruangan Pak Kenny,” ujar security itu sambil mencekal tangan Abigail. Wajah Abigail seketika berubah pias saat tangannya dicekal dengan cukup kuat hingga menimbulkan rasa sakit. Dia berusaha menarik tangannya, tapi justru semakin membuat laki-laki itu menguatkan cekalannya. “Jangan berani-berani menyentuh saya! Lepaskan!” ujar Abigail menatap sang security dengan penuh amarah. Namun pria yang jelas-jelas tenaganya jauh di atas Abigail tidak menghiraukan ucapan Abigail. Dia justru semakin menyeret Abigail keluar melewati beberapa orang yang tengah hilir mudik di area lobi pusat perbelanjaan. Abigail mulai mendengar beberapa orang berbisik membicarakan dirinya. Bahkan beberapa orang sengaja berhenti untuk menyaksikan pemandangan yang sedang mempermalukan dirinya. Abigail melihat orang-orang mulai merekam adegan ini dengan menggunakan ponsel masing-masing. Membuat Abigail terpaksa menutup wajah dengan paper bag yang berisi sepatu pesanan Leticia. “Saya akan melaporkan kamu kepada pihak vendor karena telah mempermalukan saya,” ujar Abigail setelah berada di luar pusat perbelanjaan. “Saya juga akan melaporkan kamu dengan tuduhan mengaku-ngaku sebagai istri Pak Kenny dan merusak nama baik beliau.” Abigail tertegun. Dia merasa dirinya semakin malu dan tidak dihargai. Dia dipandang seperti sampah menjijikkan yang harus segera dimusnahkan. Entah fitnah apalagi yang terjadi saat ini sampai security tadi seolah punya wewenang penuh untuk membuatnya malu seperti ini. “Siang, Pak,” ujar security yang menyeret Abigail keluar dari pusat perbelanjaan. Abigail refleks mendongak. Dia mendapati sosok Kenny yang tengah berdiri tak jauh darinya dengan tatapan tajam dan menusuk padanya. “Ada masalah apa sampai keributan seperti ini terdengar ke ruangan saya?” tegur Kenny pada security-nya. “Wanita ini tiba-tiba datang dan mengaku sebagai istri Anda, Pak.” Wajah Kenny berubah menjadi merah padam. Dia lalu meraih pergelangan tangan Abigail lalu menyeret perempuan itu agar mengikuti langkah panjangnya. “Ikut aku!” hardiknya ketika Abigail mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Kenny. Kemudian Kenny menarik Abigail menuju lift. Abigail berusaha menyeimbangkan langkah lebar Kenny hingga membuatnya beberapa kali tersandung karena salah melangkah. “Pelan-pelan, Kenny,” pinta Abigail dengan suara lirih. Namun Kenny seolah tutup telinga dan pura-pura tak mendengar permintaan Abigail. Mereka berdua lalu memasuki lift VIP. Masih sambil mencengkeram pergelangan tangan Abigail, Kenny menekan tombol angka 10 dengan tangannya yang bebas. Setelah pintu lift tertutup Kenny berdiri tegap tanpa melepas cekalannya di tangan Abigail. Ketika pintu lift terbuka di lantai tujuan Kenny kembali menyeret Abigail memasuki ruangannya. Barulah setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, Kenny mengempaskan tubuh Abigail dengan kasar hingga tubuh perempuan itu membentur dinding. “Ngapain lo ke sini?” bentak Kenny dengan tatapan tajam dan wajah penuh amarah. “Lo sengaja datang ke sini untuk mempermalukan gue, iya?” Abigail kembali menunjukkan wajah datar sambil menatap Kenny. “Mempermalukan kamu?” Abigail menggeleng pelan dan melanjutkan perkataannya. “Untuk apa aku mempermalukanmu, Kenny? Bukan itu tujuanku datang ke sini.” Napas Kenny mulai tenang dan tidak memburu seperti sebelumnya. Namun tatapannya semakin tajam hingga membuat nyali Abigail menciut. “Kamu pikir dirimu siapa berani datang ke sini lalu mengaku sebagai istriku? Pantas kamu bilang begitu? Ingat ya, lo itu cuma babu di rumah gue. Kebaikan kakek gue yang udah bikin lo merasakan kemewahan yang ada di rumah gue. Lo itu cuma gue manfaatin untuk mendapatkan bagian warisan gue. Di luar itu jangan betingkah.” Kata demi kata meluncur dari mulut pedas Kenny. Seiring dengan itu benih-benih kebencian yang ada di hati Abigail semakin tumbuh menjadi subur. Hatinya benar-benar tersakiti mendengar semua hinaan itu. Abigail mendengarkan semua kata-kata memilukan itu. Tangannya mengepal dengan gemetar menahan gemuruh yang membuncah di dadanya. Tidak apa-apa jika orang lain menghinanya. Abigail juga sudah kebal pada hinaan itu. Namun saat Kenny yang biar bagaimanapun telah banyak dibantunya itu, membuat Abigail tidak bisa merasa bersikap dingin dan menganggap angin lalu ucapan itu. Hatinya benar-benar terluka saat ini. Namun meski ingin marah dan melontarkan kata-kata pembelaan, Abigail memilih menahan emosinya agar tidak sampai kelepasan untuk membuka identitas dirinya yang sebenarnya. Akhirnya hanya kata maaf dan penyesalan yang terucap dari bibirnya. “Maaf kalau perbuatanku tadi terkesan lancang dan membuatmu malu, Kenny. Aku janji ini adalah untuk yang pertama dan terakhir kali aku berbuat seperti ini lagi.” “Bagus deh, kalau kamu mengerti,” balas Kenny masih dengan ekspresi marah. “Kalau begitu apa tujuanmu yang sebenarnya datang kemari?” tanya Kenny sambil duduk di salah satu sofa tanpa mempersilakan Abigail untuk duduk juga. Abigail memandangi wajah Kenny dengan seksama. Dulu dia mengira Kenny akan bisa melindungi dirinya karena Kenny berharap dengan kehadirannya cukup membantu laki-laki itu mendapatkan warisan dari sang kakek. Namun ternyata Kenny tidak sebaik itu. Kenny bersikap tidak tahu diri padahal laki-laki itu membutuhkan Abigail. “Malah bengong. Mendadak bisu apa gimana?” hardik Kenny, memecah lamunan Abigail. Abigail lalu berjalan pelan mendekati sofa tempat Kenny sedang duduk sambil menyandar dan menyilangkan kakinya. Setelah berada di hadapan Kenny yang tengah menatap tajam ke arahnya, Abigail mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dari tasnya. “Aku ke sini hanya untuk menyerahkan ini padamu.” Kenny menjulurkan tangan kirinya untuk menerima amplop dari tangan Abigail. Dia mengeluarkan kertas-kertas yang ada di dalamnya dengan terburu-buru. Dia membaca dengan seksama setiap detail tulisan yang tertera di halaman depan kertas yang telah keluar dari amplopnya itu. “Surat gugatan cerai?” desis Kenny. “Iya,” ujar Abigail sambil menundukkan wajah. Dia tak berani lagi menatap pada Kenny. Tatapan laki-laki itu kini berubah menjadi mengerikan. Jantung Abigail berdebar dengan begitu kencang saat ini. Tangannya pun mulai gemetar ketakutan menunggu tanggapan Kenny selanjutnya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN