4. Penderitaan Abigail

1148 Kata
Di hari peringatan kematian Beny Dirgantara seluruh keluarga telah bersiap menuju gereja, meninggalkan Abigail bersama para asisten rumah tangga beserta seabrek pekerjaan yang dibebankan kepada Abigail. Konita berhenti melangkah tepat di depan Abigail lalu memandang menantunya itu dari ujung rambut sampai kaki. “Kenapa kamu masih ada di sini? Bukannya Joanna memintamu datang ke acara pembukaan hotel Santana? Kenapa kamu masih ada di sini?” tegur wanita itu dengan angkuh. “Maaf, Ma. Bukannya Mama yang bilang kalau aku dilarang keluar sebelum Mama menyetujui pakaian yang akan kugunakan?” jawab Abigail takut-takut. “Aku mengganti jadwalnya. Karena hari ini dia akan datang ke acara pelelangan untuk menggantikan aku, Ma,” timpal Joanna. Konita memandang penampilan Abigail dengan ekspresi mencemooh. Padahal tidak ada yang salah dengan penampilan Abigail pagi ini. Perempuan itu mengenakan pakaian yang layak, rapi dan sedap dipandang. Namun Abigail selalu salah dan menjijikkan di mata ibu mertuanya itu karena latar belakangnya yang dianggap jauh di bawah keluarga Dirgantara. “Kamu yakin mau mendatangi acara itu?” tanya Konita. “Apa selama ini keluargamu nggak pernah mengajarkan tentang fashion padamu? Tapi kalau mengingat asal usulmu tentu saja kamu nggak akan mendapatkan pengetahuan standar tentang cara berpakaian yang baik. Boro-boro mau memikirkan penampilan, ya? Latar belakang keluarga saja nggak jelas,” hina Konita tak habis-habis. “Kak Marisa, bawa Mama ke mobil dan berangkat duluan. Kasihan Papa yang sudah berangkat lebih dulu kalau sampai nunggu lama-lama di gereja,” ujar Joanna memberi perintah. “Baiklah. Ayo, Noel kita jalan sekarang,” ujar Marisa kepada anak laki-lakinya yang berusia tujuh tahun. Kemudian dia bergegas mendekati sang ibu mertua dan merangkul tangan wanita cerewet itu. “Mama, kita berangkat sekarang ya,” ujarnya lembut setelah menatap sinis ke arah Abigail. Konita membuang muka dari hadapan Abigail lalu mengikuti langkah Marisa yang sudah mendahuluinya. Sementara itu kini tertinggal Joanna dan Leticia yang harus dihadapi oleh Abigail. “Makasih, Kak Joanna,” ujar Abigail sopan. “Nggak perlu berterima kasih padaku. Aku cuma malas melihat perdebatan kalian berdua pagi-pagi seperti ini,” balas Joanna dingin. “Lagipula aku tahu kalau sebenarnya kamu lebih suka berada di tempat pelelangan atau dimanapun asal nggak bersama dengan keluarga kami,” sambungnya. “Oh, iya. Nanti setelah pelelangan mampir di mall deket hotel Dirgantara ya, buat ngambilin sepatuku. Semalam dikabarin sepatu yang aku beli dari Paris sudah datang kemarin,” timpal Leticia dengan senyum semringah. “Cia! Kenapa kamu menyuruhnya untuk mengerjakan kepentingan pribadimu?” tegurJoanna. “Dan satu lagi, kalau kamu ingin memintanya melakukan sesuatu untuk kepentinganmu, minimal ucapkan tolong dan terima kasih.” “Kenapa jadi Kak Joan yang ribet, sih? Orang dia aja nggak masalah,” omel Leticia. “ Ribet kali kalau muter-muter dari gereja ke mall, Kak. Lagian aku nyuruh dia karena mall sama hotel tempat acara pelelangan satu lokasi. Bahkan jalan kaki bentar juga nyampek,” sanggah Leticia, tak terima ditegur seperti itu oleh kakak perempuannya apalagi di depan Abigail. “Oiya, nanti kalau Mama tanya posisi kamu bilang aja yang sebenarnya. Aku udah bilang sama Mama, kok,” ujar Leticia kepada Abigail. Joanna hanya menarik napas panjang lalu menyemburkan secara kasar melihat tingkah adik bungsunya itu. Sementara itu Abigail tak bisa menolak perintah apa pun yang diberikan kepada dirinya. “Mumpung sedang di luar, bersenang-senanglah. Kamu bisa belanja sambil jalan-jalan di mall saat mengambil sepatu milik Cia. Aku yang akan bertanggung jawab kalau Mama menegurmu,” ujar Joanna sebelum pergi dari hadapan Abigail. “Kamu sudah melewati banyak hal buruk beberapa waktu terakhir. Supaya nggak stress otakmu juga perlu direfresh.” “Sekali lagi terima kasih, Kak,” ujar Abigail sopan. Namun tidak ada tanggapan karena Joanna pergi begitu saja. Sepeninggal seluruh keluarga Dirgantara, Abigail kembali ke kamarnya. Dia membuka walk in closet untuk memilih pakaian yang akan digunakannya ke acara pelelangan. Hari ini manekin dalam keadaan kosong yang artinya dia bebas memilih pakaian apa pun yang akan digunakannya ke acara itu. Saat Abigail sedang memilih dress di lemari penyimpanan pakaian khusus model dress, ponselnya berderit sebentar. Sebuah pesan masuk dari Joanna. Joanna Dirgantara: “Jika kamu membaca artikel tentang kehadiranmu di acara pembukaan Hotel Santana, bilang saja kalau kamu nggak bisa hadir karena karena sedang nggak sehat. Aku sudah menulis seperti itu di artikel karena nggak mau orang-orang bergosip dengan menyudutkan keluarga Dirgantara yang nggak mau mempublis menantu perempuannya.” Tulis Joanna dalam pesannya, yang bermaksud melarang Abigail datang ke acara pembukaan hotel baru milik Santana Group yang tak lain adalah milik ayah kandungnya, karena tak ingin masyarakat tahu tentang perempuan lain dalam keluarga Dirgantara. Abigail sudah bisa menebak akhirnya pasti seperti ini. Joanna dan mulut manis perempuan itu hanya berlaku di depan Joni Dirgantara saja. Di belakang ayahnya itu semua orang juga tahu betapa kejamnya Joanna karena dia bisa membunuh seseorang tanpa perlu repot-repot mengotori tangannya dengan darah. Sebenarnya Abigail juga sudah tahu kalau Joanna selalu ingin menonjol sendiri sebagai satu-satunya perempuan yang paling berpengaruh dalam keluarga Dirgantara. Abigail sudah sangat muak dengan kehidupannya sebagai menantu keluarga Dirgantara yang tidak pernah memperlakukan dirinya dengan manusiawi. Dia harus segera membuat gebrakan besar dalam hidupnya. Dia akan membuat rencana untuk segera mengajukan gugatan cerai pada Kenny Dirgantara agar bisa bisa segera lepas dari jerat keluarga problematik itu. Dulu Abigail mau menerima lamaran Beni Dirgantara untuk cucunya, karena keluarga Santana telah mengatur semuanya agar Abigail bisa masuk menjadi bagian dari keluarga Dirgantara dan menjadi mata-mata untuk mencari kelemahan mereka. Namun ketika pernikahan telah digelar, Abigail justru menyimpan rahasia kelemahan keluarga Dirgantara untuk dirinya sendiri setelah merasakan kasih sayang yang tulus dari Beni Dirgantara dan berharap mendapatkan kehangatan keluarga dari keluarga Dirgantara yang tak pernah didapatkannya selama ini dalam keluarganya. Sayangnya keputusannya itu membuat Abigail justru semakin terbuang dari keluarga Santana dan dianggap sebagai pengkhianat. Saat Tuan Beni Dirgantara meninggal dua tahun setelah pernikahan Abigail dan Kenny, siksaan, cacian, tekanan batin dan hal buruk lainnya menjadi makanan sehari-hari yang Abigail terima dari anggota keluarga Dirgantara. Sejak itu Abigail selalu mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga suaminya, bahkan suaminya sendiri. Masing-masing anggota Keluarga Dirgantara seolah tutup mata atas perbuatan buruk yang diterima oleh Abigail. Bahkan mereka semua tidak peduli pada Kenny yang hobi main perempuan dan mengganggap bahwa hal itu adalah wajar diterima oleh Abigail karena tidak becus mengurus suami sehingga suaminya sampai mencari kesenangan di luar. Sementara Kenny sedari awal memang tidak pernah menyukai Abigail yang bukan hanya kampungan menurutnyaa tetapi juga dingin, pendiam dan tidak memiliki emosi apa pun. Sehingga Kenny menganggap menyakiti Abigail bukanlah masalah besar, karena Abigail selama ini hanya diam saja menghadapi semua tingkah buruk suaminya itu. Kenny juga menganggap pernikahannya dengan Abigail hanya untuk menyenangkan kakeknya dan berharap mendapatkan harta warisan dari sang kakek jika menuruti kemauan kakeknya itu. Ibu Kenny bahkan sangat mendukung perceraian Kenny dan Abigail. Hari ini Abigail akan memenuhi keinginan yang telah lama diidamkan oleh sang ibu mertua. Setelah dari pelelangan dia berencana akan menemui Farusman untuk membantunya mengurus perceraiannya dengan Kenny. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN