Tidak perlu menunggu esok hari. Persiapannya sudah selesai. Pun dirinya sudah berpamitan pada sebagian orang yang tinggal di rumah mewah ini. Tak ingin mengganggu, Ruby memilih memesan taksi alih-alih menerima tawaran sopir yang biasa menemaninya ke mana pun.
“Tapi, Nyonya.” Hans, sopir keluarga Dominique mengerang frustrasi. Semua kata-kata bujukan sama sekali tak digubris sang wanita yang kini berdiri seraya memamerkan senyumnya hangat. “Ini sudah malam. Anda bisa terkena masalah pergi selarut ini.”
“Jangan membuatku merasa semakin berat, Pak Hans.” Ruby menepuk sekilas bahu pria paruh baya yang tampak sendu ini. “Kuharap Bapak membantuku menjaga Nyonya Kate. Jangan sampai beliau bersedih karena aku tak lagi di sini.”
“Nyonya,” Maria tak bisa menahan diri lagi. Matanya yang sejak tadi berkaca-kaca pun tumpah begitu saja. Pipinya basah dengan air mata. “Apa yang bisa aku lakukan untuk menahanmu terus ada di sini?”
Ruby berusaha keras untuk tak terbawa suasana. Padahal hatinya remuk. Sakit sekali harus berpisah dengan orang-orang sebaik mereka. Sejak awal kedatangannya di rumah ini, hanya segelintir yang menyambutnya dengan baik. Seiring berjalannya waktu, hampir semua yang tinggal di rumah ini menerima keberadaan Ruby.
Terkecuali Carl.
Wanita yang memiliki mata sehijau zamrud ini percaya, selama dirinya berbuat baik, akan terus ada kebaikan yang datang padanya. Entah kenapa hal itu tak berlaku untuk Carl. Apa terlalu dingin hati pria itu? Entahlah.
Sudah banyak cara yang Ruby lakukan untuk menarik perhatian Carl. Meski ia mendapatkan peringatan keras di malam pertama dirinya berganti status menjadi istri Carl, tapi Ruby tak mudah menyerah. Ada saat di mana Ruby merasa dekat sekali dengan sosok Carl. Pria itu hangat, berwawasan luas, memiliki etos kerja yang tinggi, berdedikasi terhadap hidupnya, perhatian, serta sering memperlakukan Ruby dengan lembut.
Walau ... itu semua hanya kepalsuan.
Carl bertingkah seperti itu hanya di depan sang ayah. Selama Ruby ada di dekat Charles, maka perlakuan bak ratu pun ia dapatkan. Termasuk hal-hal yang tak pernah Ruby sangka mau dikerjakan Carl. Memasangkan Ruby sepatu saat mereka berbelanja di suatu waktu. Atau sekadar memotong steik menjadi bagian terkecil agar mudah Ruby santap di perjamuan bisnis.
Naifnya ... Ruby yakin suatu hari nanti Carl tak perlu lagi menggunakan topengnya. Suaminya itu pasti akan memperlakukan ia selayaknya ratu di rumah tangganya. Ada atau tidak ada sosok sang ayah mertua. Sayangnya, itu mimpi yang terlalu indah untuk menjadi realita.
“Tak perlu melakukan apa pun lagi, Maria.” Ruby memasang senyum penuh palsu. “Kita semua tahu bagaimana perangai Carl, kan?” Ia pun lantas tertawa. Lebih tepatnya menertawakan betapa bodoh dirinya terjebak di sini. Kebahagiaan yang semu. Yang ia pikir, setidaknya ini adalah satu-satunya cara memenuhi keinginan terakhir kedua orang tuanya.
Sudahlah. Tak perlu lagi ada penyesalan. Carl sudah mengusirnya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Jikalau bukan karena sosok Kate Dominique, mungkin ia sudah pergi sejak berbulan-bulan lalu.
“Jaga diri kalian baik-baik.” Ruby menguatkan pegangannya pada tas yang tersampir di bahu. “Kuharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.” Bertepatan dengan ucapannya, sebuah mobil hitam dengan logo burung di sampingnya memasuki pelataran rumah besar ini. Sekali lagi, Ruby menatapi mereka semua penuh lekat.
Hidup yang ia pikir bahagia, berakhir malam ini.
“Aku pergi.”
***
“Berengsek semua!”
Suara gelas menghantam dinding membuat beberapa orang yang ada di ruangan terang benderang itu berjengit. Tak ada satu pun yang berani menatap wajah pria yang baru saja melempar benda tersebut sampai hancur berkeping-keping. Ruang itu penuh dengan intimidasi menakutkan dari sang pemiliknya.
“Apa kerja kalian, hah?” Sang pria masih menggunakan nada tingginya untuk bicara. “Apa tidak ada satu pun dari kalian becus bekerja?”
Tak ada suara kecuali bunyi mesin pendingin ruangan.
“Jawab, Sialan!”
“Bu-bukan begitu, Pak Justin.” Salah satu dari mereka, Irena, membuka suara. Ia berusaha sekali mengeluarkan keberaniannya. Baru kali ini sang bos marah besar. Tak bisa dimungkiri, deadline yang semakin menjepit ditambah kendala yang cukup menguras waktu dan tenaga, membuat semua yang ada di sini diserang virus gila.
Terutama Justin Stockholm yang memiliki kesabaran setipis tisu.
“Apa kau punya jawaban yang memuaskan, Irena?” tanya Justin dengan sorot tajam. Siap sekali menghujani sekretarisnya itu dengan banyak pertanyaan menyudutkan. Bagaimana tidak? Jika proyek ini gagal, bukan puluhan juta lagi kerugiannya. Tapi ratusan. Dan ia tak sanggup melihat SEO Fashion ambruk begitu saja.
Tidak akan pernah sudi.
“Terobosan baru pada merek yang baru akan meluncur belum kita keluar, Pak. Semuanya dijadwalkan pekan depan.”
Justin memilih diam mendengarkan penjelasan Irena.
“Kita masih bisa melakukan strategi dengan sistem yang sama. Para selebgram yang kita hubungi pun sudah mengonfirmasi akan membantu. Bahkan Sucay Dilretta sudah menyatakan ikut andil bagian fashion show kita nanti, Pak.”
Justin menggeleng cepat. “Itu belum cukup, Irena. Kau tahu itu, kan?”
Irena mengangguk segera. merasa dirinya memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan lebih. Sosok Justin memang menguji kadar ketahanan jantung para pekerjanya. Sedikit saja ada yang berbuat salah, semuanya terkena semburan. Andai semburan itu hujan koin emas, mungkin semuanya bisa tersenyum riang.
Sayangnya, kemarahan Justin punya buntut tak menyenangkan. Lemburan mereka pastinya panjang. Alih-alih beristirahat damai saat weekend tiba, yang ada mereka semua dikuras pemikiran serta waktunya untuk bekerja.
“Live pada saat mempromosikan item tertentu menjadi solusi paling jitu untuk perkembangan transaksi sekarang, Pak. kita sudah uji sample di beberapa produk dan hasilnya naik signifikan.”
Justin mengusap ujung dagunya. Matanya masih menatap lekat pada Irena yang bicara mengenai langkah-langkah yang akan diambil. Tak jarang, satu demi satu kepala divisi yang berkumpul di sana memberikan pendapatnya. Kebanyakan dari mereka merangkum dan menyimpulkan jalan terbaik agar acara yang akan diselenggarakan satu bulan lagi berjalan lancar.
Ocehan mereka tak terlalu didengar Justin. Pikiran pria itu melayang pada satu sosok yang menurutnya masih belum ada yang tepat membawakan tema pagelaran busana kali ini. ia butuh wajah baru. Bukan sekadar selebgram yang bisa ia bayar dengan endors atau kepopuleran semata.
Benar. Ia butuh ikon baru untuk brand SEO yang terbaru.
“Lanjutkan pembicaraan kalian. Aku tunggu rangkumannya satu jam lagi, Irena. Dan kerjakan apa yang menurut kalian terbaik. Tapi aku minta kalian bertanggung jawab penuh.” Justin menyambar jas yang ada di kursinya. Lantas melangkah meninggalkan mereka yang melongo menatap tingkah bosnya malam ini.
“Besok kita meeting di Grand Lucky jam satu siang. Kalian bisa manfaatkan waktu untuk datang terlambat karena meeting malam ini,” katanya sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu kaca. Menyisakan para bawahannya yang menghela napas lega.
Tak ia gubris apa pun yang tengah mereka bicarakan setelahnya. Ia butuh udara segar.
Langkahnya berhenti tepat di Lamborghini merah keluaran terbaru. Duduk dengan nyaman dan menyalakan mesin mobil yang segera menderu siap diajak bersenang-senang. Kacanya sengaja ia buka. Merasakan angin malam membelah jalan yang pastinya sudah jauh lebih lengang ketimbang sebelumnya.
Udara malam bisa membantunya berpikir sedikit lebih tenang, ia rasa.
Perjalanan tanpa tujuannya malam ini tak menemui kendala sampai ...
“s**t!!!” makinya. Dengan cepat ia banting setir untuk menghindari seseorang yang mendadak melintas. Bunyi decit karena gesekan ban dengan aspal segera saja terdengar. Juga teriakan di sekitarnya yang mulai menyapa pendengarannya. Lantas ...
BRAK!
Justin tak memercayai apa yang terjadi padanya.
“Merry!” pekiknya. Ia segera keluar dari mobil. Matanya melotot begitu menyaksikan mobil kesayangannya—Merry, menabrak tiang listrik. “Ya Tuhan!” Justin mengabaikan suara-suara tanya di dekatnya. Ada yang menanyakan keadaannya, ada juga yang terkejut melihat mobil sport mahal harus penyok menghantam tiang. Juga ...
“Anda baik-baik saja, Nona?”
Kesadaran Justin kembali. Benar. Ia menghindari seseorang tadi. Tangannya mendadak terkepal. Ia harus membuat perhitungan sendiri pada sosok yang seenaknya menyeberang tanpa memerhatikan jalan.
“Aku baik-baik saja.” Wanita itu tersenyum penuh gugup. Ia pun segera bangun serta tangannya terulur membantu seseorang yang ada di dekapannya. “Untunglah anak ini tidak terluka. Kamu baik-baik saja, kan, Sayang?”
Justin terpana.
Pada sosok cantik jelita ditempa lampu jalan. Yang tiangnya baru saja ia tabrak. Senyumnya lembut sekali mengarah pada sosok kecil yang terlihat ketakutan. Juga suaranya yang terdengar seperti riak sungai di tengah hutan; damai dan menenangkan.
Terutama ... pada matanya.
“Ini dia yang aku cari.”