Sepanjang usianya, Ruby tak pernah melakukan tindakan senekat ini. Tapi mau dikatakan apa lagi di saat dirinya terdesak? Satu-satunya hal yang terpikir adalah menapaki tempat ini. Setelah sebelumnya membuat seseorang yang ia hubungi terperangah.
Hanya satu harapnya; tak ia temui Carl di lantai yang akan ia tuju sekarang.
Belum genap dua puluh empat jam apa yang terjadi padanya. Semua pembicaraan serta kerja jantungnya yang ekstra berikut otaknya yang mencerna apa yang telah ia alami. Kembali bergema ingatan itu tanpa bisa ia kendalikan.
“Aku tak tahu lagi mesti minta bantuan siapa,” kata Ruby setengah putus asa. Ia memijat pelipis sampai rasanya cukup nyeri. Entah sudah berapa kali dirinya mondar-mandir di ruang tamu kecil rumah lamanya.
Keluarnya ia dari keluarga Dominique, hanya ada satu tujuan yang ternyaman untuk kembali. Rumah bercat broken white yang masih terawat ini. Semua perabot rumahnya terselubung kain putih penuh debu, tapi beruntung tak ada bagian yang rusak. Sesekali memang Ruby meminta pihak ketiga untuk mengawasi rumah peninggalan orang tuanya.
Saksi tumbuhnya Ruby Maeve yang bergelimang sepi. Paman dan Bibi dari pihak ibu maupun ayahnya, hanya sesekali menjenguk. Itu pun jikalau ada moment spesial. Selebihnya? Ruby benar-benar ditinggal seorang diri di sana.
“Jangan panik, Nyonya.” Di ujung sana, seseorang berusaha membuat Ruby lebih tenang. Sejak mendapati telepon dari istri sang tuan, ia terkejut. Sangat. Tak pernah Ruby menghubunginya apalagi sudah selarut ini. Walau ada urusan yang memang harus diselesaikan dengan Ruby terutama berkaitan dengan surat cerai yang Carl minta.
“Bagaimana aku tidak panik, Richard,” Ruby menghela penuh frustrasi. “Mobil itu mahal. Aku tak memiliki uang untuk mereparasi bagian yang rusak apalagi menggantinya. Ya Tuhan!” Wanita itu menjatuhkan dirinya di sofa. Tak peduli debu mulai beterbangan saat bobotnya menyentuh bagian empuk sofa yang masih berselimut kain putih.
“Dari semua cerita Anda, sebenarnya saya lebih mengkhawatirkan keberadaan Anda, Nyonya.”
Ruby menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia bersyukur masih ada yang memedulikannya meski Ruby tahu, itu sebatas formalitas. Setelah apa yang ia alami, setidaknya pertanyaan itu selaksa siraman air sejuk di tubuhnya yang lelah.
“Tak perlu kau risaukan hal itu, Richard.” Ruby memaksakan senyumnya ada. Tak mungkin Richard melihatnya, ia tahu itu. Tapi senyum itu untuk menghibur dirinya yang kacau. Matanya menatap langit-langit rumah. Keputusan menghubungi Richard juga bukan tanpa sebab. Sekali lagi, ia menarik napas sebelum bertanya, “Kau pasti sudah mengetahui mengenai perceraian kami.”
Tak ada yang bicara setelahnya. Ruby merasa, diamnya Richard untuk memberi jeda sebelum ia melanjutkan perkataannya. “Aku hanya ingin tahu, perceraianku nanti apa aku mendapatkan pembagian harta? Aku tak peduli andai kau memiliki pemikiran, aku ini benar-benar wanita yang hadir demi uang di hidup Carlton.” Ruby menggigit bibir bawahnya cukup keras.
Bayang pria bertubuh tegap serta matanya menyoroti kemarahan yang besar, sudah membuat nyalinya ciut. Padahal ia sering mendapati murka Carl, tapi kemarahan pria yang keluar dari mobil merah itu sungguh melenyapkan keberanian Ruby. Ada intimidasi yang demikian besar yang pria itu punya.
Serta ancaman akan memperkarakan tindakan sembrono Ruby yang seenaknya menyeberang demi seorang anak. Tidak. Tidak. Ruby tak ingin mengingat sosok pria itu. Tekadnya ingin segera mengakhiri urusannya dengan pria itu. Secepatnya.
“Ini sudah malam, Nyonya. Pertanyaan Anda akan mendapatkan jawabannya esok. Bisa kita bertemu?”
Seulas senyum tipis Ruby ukir di bibirnya yang tipis. “Itu yang kuharapkan, Richard.”
Maka di sinilah ia. Berdiri sembari beberapa kali meremas ujung kemejanya. Tangan satunya ia pergunakan memegangi tas seolah tas itu tiang yang kuat untuk menopangnya. Matanya mengedar memerhatikan sekeliling; takut sosok Carl juga ada di sana.
“Lupakan Carl. Aku sudah tak punya urusan apa pun dengannya, kan?” gumam Ruby. Langkahnya berusaha seyakin mungkin memasuki pelataran gedung menjulang di mana papan billboard Unique Corp tertera di sana.
Yang Ruby ketahui, Richard bekerja sebagai pengacara keluarga Dominique. Beberapa kali bertemu di sela jamuan berbalut bisnis yang kadang ia ikuti. Mendampingi Carl dan berpura-pura memasang senyum palsu serta menebarkan kebahagiaan seolah, dirinya sangat beruntung bersuamikan Carlton Dominique. Sama seperti Carl yang pandai sekali bersandiwara.
Mungkin sebagai wujud efisiensi, kantor Richard juga ada di gedung yang Carl miliki ini. sebenarnya, Ruby kagum dengan kerajaan bisnis yang Dominique besarkan. Tak ada yang gagal dan semuanya memiliki standar tinggi. Andai Ruby bukan istri, ah ... sebentar lagi gelar mantan istri Carl Dominique akan ia sandang. Ia berangan, bekerja di bawah perusahaan sebonafit Unique Enterprise pasti hidupnya terjamin. Ruby tersenyum miris dengan hidupnya sekarang.
“Sudahlah. Tak ada gunanya mengingat itu semua.” Ruby menghela pelan. Langkahnya tepat terhenti di meja resepsionis.
“Selamat siang,” sapa sosok wanita berseragam biru cerah lengkap dengan senyumnya yang ramah.
“Selamat siang.” Ruby pun menanggapi dengan senyuman tipis. “Saya ingin bertemu Pak Richard. Sebelumnya sudah buat janji temu.”
“Saya cek terlebih dahulu, Bu. Mohon maaf, dengan Ibu siapa?”
“Eve.”
Tak seberapa lama, si resepsionis tadi meminta seorang sekuriti untuk membukakan akses menuju lantai yang dituju. Hanya menempuh kurang lebih tiga menit, Ruby sudah tiba di lantai dua puluh lima. Tepat di ujung koridor yang ditunjukkan, kantor Richard sudah terlihat.
“Ibu Eve bisa bertemu Pak Richard di ruangannya,” info sekuriti yang menemaninya tadi. Pintu yang sebagian terbuat dari kaca, serta nama Richard terukir di sana, menyapa penglihatan Ruby. Wanita itu pun mempersiapkan dirinya karena tahu, pembicaraan ini cukup aneh.
“Sela—“
“Ruby?”
Mata Ruby melotot tak percaya melihat sosok yang ada di ruang Richard.
“Mau apa kau ke mari?”
***
Justin tersenyum riang. Siulannya terdengar seantero kantor SEO Fashion. Langkahnya ringan sekali. Sesekali ia menyapa anak buahnya yang sialannya, terperangah karena tingkah sang bos. Ia masih bisa mendengar kasak-kusuk yang sekelebatan menyapa.
“Kau lihat? Bos kita mulai terserang virus panik.”
“Pak Justin tak mungkin menjual SEO Fashion, kan?”
“Apa mungkin Pak Justin jatuh cinta? Tapi siapa wanita yang mendapatkan kesialan itu?”
“Kalian!” Justin tak tahan juga. Yang mana segera saja membuat mereka bubar begitu saja.
Ia pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan di sudut lantai sepuluh ini. Kadang Justin sendiri heran, kenapa masih mempertahankan pekerja yang hobi sekali membuat prasangka. Apa katanya? Jatuh cinta? Mungkin saja itu terjadi. Tapi kenapa juga harus mengatakan kalau wanita itu mendapatkan kesialan dicintai Justin?
Astaga, Tuhan!
Apa mereka tak tahu kalau pemilik SEO Fashion termasuk dalam pria yang paling diminati di negara ini? Bahkan beberapa kali tampangnya dimuat di majalah bisnis lantaran kepiawaiannya di bidang mode. Matanya jeli mencari sesuatu yang unik, di mana para model dan artis yang berkecimpung atau bekerja sama dengan bisnisnya, meraup kepopuleran tinggi.
Bagi Justin, ia mendapatkan keuntungan berlipat dari kepopuleran yang ada.
“Selamat pagi, Pak Justin,” sapa Irena begitu masuk ke ruangannya. Terlihat sang bos bersedekap membelakangi meja. Menatap kota yang sibuk hari ini. di mejanya terserak lembaran design serta foto koleksi terbaru yang siap dipamerkan bulan depan.
“Kau bawakan aku Americanno, Irena?”
Irena tersenyum tipis. “Sekaligus rainbow cake roll yang Anda gemari, Pak.”
Seringai tipis Justin tampak dan membuat detak jantung Irena berhenti sesaat. Bohong kalau Irena menampik ketampanan sang bos. Sayangnya, garis senyum menawan itu bisa berubah mematikan dan membunuhnya perlahan. Justin terkenal sebagai sosok pimpinan yang tegas serta disiplin. Tak mau ada cacat dalam semua laporan yang dibacakan untuknya.
“Terima kasih.” Justin memutar kursi kebesarannya. Menatap penuh minat pada apa yang Irena bawa. Namun ...
“Anda ... baik-baik saja, Pak?”
Justin mengerutkan kening. “Kenapa memangnya?” Ia pun mencecap kopi yang masih mengepul dan aromanya serupa nikotin. Candu. Bagi Justin, aroma kopi bisa membuatnya berpikir banyak. “Gulanya tepat seperti yang kuinginkan, Irena?”
“Iya, Pak.” Irena tanpa ragu memberi jawaban. Dibiarkan sang bos menikmati kopinya walaupun ada kekhawatiran tersendiri di benak wanita yang masih belum mau duduk ini.
“Kau tahu,” Justin meletakkan cangkirnya. Dagunya ditopang kedua tangan sembari menatap lekat sekretaris yang belum ia persilakan duduk. “Jika bukan Alex yang bertugas sebagai barista, kau tak perlu membeli kopi ini.”
Irena menelan ludah gugup.
“Ini pasti buatan Jammie. Benar, kan?”
Ya, Tuhan! percepatlah urusan Irena di ruangan ini. “Iya, Pak. akan saya perhatikan esok. Tapi sekarang, saya butuh bicara dengan Bapak. Sudah bisa kita mulai diskusinya?”
Senyum Justin kembali melebar. Rasa kopi yang menurutnya agak kemanisan, ia lupakan begitu saja.
“Kebetulan kau bicara, Irena. Siapkan semua koleksi yang ada di daftar ini.”
Irena terperangah.
“Segara.”
“Tapi, Pak.”
Justin memberi isyarat tak ingin dibantah. “Dan kalau ada yang mencariku, kalau aku tak salah ingat namanya Eve, segera antar ke ruanganku.”
Irena masih belum mengerti apa yang terjadi.
“Paham?”