Freya mendongak, sengaja memberi akses penuh pada Carl untuk menjelajah. Tindakannya itu membuat sang pria kegirangan. Tak pelak, leher jenjang yang hanya mengenakan kalung mutiara pemberian Carl tahun lalu, dijajaki menggunakan ujung lidah. Sementara tangannya yang besar masih terus menyanggah punggung Freya agar tak jatuh.
Wanita itu sudah duduk mengangkangi Carl. Paha mulusnya tak lagi tertutupi cardigan lembut yang entah sudah jatuh ke mana. Sejak kedatangan Carl, pria itu tak mau menunggu waktu sekadar mencicipi anggur yang sudah disediakan.
Katanya, “Aku tak bisa berhenti membayangkan betapa seksinya kau mengenakan lingerie merah.”
“Kurasa julukan banteng memang cocok untukmu, Carl,” kata Freya diiring tawa. Meski sedikit sulit mengimbangi Carl yang terus mendesaknya, tapi Freya selalu punya cara agar bisa mengendalikan situasi.
Termasuk sedikit menarik rambut Carl yang tengah menggendongnya. Agar mereka bisa bersitatap sebelum berakhir di ranjang kamar utama. “Kamu benar-benar enggak sabar?”
Carl tersenyum tipis. “Mana bisa bersabar jika berkaitan denganmu, Freya?”
“Harus berapa lama lagi aku menunggu di sini?” Satu usapan lembut Freya beri persis di dahi Carl. Matanya sengaja menyoroti kesenduan. Helaan napasnya sudah ia buat sefrustrasi mungkin meski hal ini tak perlu ia lakukan. Cinta Carl padanya begitu besar.
Ia tak butuh banyak teori untuk membuktikannya.
Akan tetapi, Carl termasuk pria yang bodoh. Kenapa juga kekasihnya ini justru menuruti permintaan yang tak masuk akal? Astaga! Seharusnya ia menjadi Nyonya Dominique lima tahun lalu! Ini semua karena Charles serta wanita tak tahu diri yang seenaknya setuju menikah dengan Carl.
Sialan!
Tak akan Freya biarkan mereka hidup dengan tenang. Ah ... untuk Charles pengecualian. Nama Ruby Maeve disodorkan pertama kali oleh Kate Dominique, istri tercinta Charles. Ibu dari kekasihnya ini. Freya punya cara tersendiri membalas semua perbuatan mereka. Membuatnya menunggu lebih lama dari seharusnya.
“Tiga bulan, Sayang,” tukas Carl dengan segera. “Besok wanita itu sudah keluar dari rumah.”
Binar di mata Freya segera timbul. “Benarkah?”
Carl tanpa ragu mengangguk. “Bisa aku teruskan? Aku benar-benar tak tahan, Sayang?” ia sedikit menurunkan posisi Freya agar sejajar dengannya. Melayangkan satu ciuman penuh tuntut yang mendapat balas tak kalah menggelora. Bahkan Freya sampai menahan wajah Carl agar tak ke mana-mana selain ditujukan padanya.
Dalam tiap lumatan serta berbagi jejak basah di antara belah bibir mereka, tak ada sedetik pun niat untuk berhenti. Malah yang ada, Carl melangkah lebar menuju kamar utama apartemen yang Freya tempati ini. Tangan pria itu sesekali meremas b****g sintal yang wanita itu miliki. Membuat erang kecil di sela ciuman panas mereka.
“Aku minta maaf membuatmu menunggu. Seharusnya sudah kulakukan sejak tahun kemarin tapi ... kuharap kau masih memberiku pemakluman, Sayang.” Perlahan Carl menjatuhkan tubuh Freya di tengah ranjang. Mengambil salah satu bantal yang ada dan memastikan wanita itu rebah dengan nyaman. Usapan lembut juga pria itu beri pada pipi Freya yang bersemu merah.
“Selama cintamu hanya untukku, Carl, aku tak jadi soal menunggu sekian lama.” Freya tersenyum. Menangkup wajah Carl serta memberi pria itu satu kecup singkat tepat di ujung hidung.
“Tak perlu kau ragukan cintaku, Freya. Hanya untukmu.” Carl memejam, merasakan betapa lembut tangan yang menyentuh wajahnya itu. “Hanya kamu yang aku cinta.” Satu kecup ia beri pada sudut bibir Freya, lantas beberapa kali kecupan juga Carl beri pada pipi serta dahi wanita yang sudah ada di bawah kukungannya ini.
Pun pada kedua mata Freya yang terpejam. “Aku sangat mencintaimu, Sayang.”
Ucapan itu diiring seringai tipis sekali dari sang wanita, juga akses penuh karena ia tahu Carl tak akan menolak disuguhi tubuhnya. Maka ia mendongak, memberi akses penuh pada sang pria atas dirinya. Membiarkan ia menjadi penawar hasrat yang menggebu, bersamaan mencapai apa itu nikmat dunia.
“Ah ...,” desah Freya. Tangannya mencengkeram sprey agak kuat. Isapan yang Carl beri pada ceruk lehernya membuat ia sedikit berjengit. “Pelan-pelan, Sayang. Kamu bisa melukai leherku.”
Carl terkekeh. “Aku gemas.” Ia sedikit membenahi posisinya. Mengusap sudut bibir Freya yang basah karena ciuman mereka belum lama ini. “Tak perlu kau ragukan cintaku, Sayang. Sebagai hadiah rasa sabarmu, kupastikan kau akan menikmatinya nanti.”
“Aku tak sabar,” kata Freya seraya tersenyum semanis madu. “Tak sabar juga menghabiskan malam bersamamu, Sayang.”
Mendapatkan provokasi seperti itu saja, sudah membuat Carl hilang arah. Tak pelak, ciuman yang kini penuh tuntut dan tanpa ragu pun ia beri. Sesekali tangannya meremas d**a Freya yang masih terlapisi kain tipis. Ujung d**a wanita itu membusung menantang tapi nanti, pasti akan Carl tundukkan dengan segera.
Carl masih ingin bermain dengan bibir Freya yang manis serta ...
“Ah, Sayang!”
Freya bergeliat gelisah. Embus napas Carl penuh menggoda diberikan pada cuping telinganya. Freya memejam sembari menikmati sensasi menggeletik yang menjalari sekujur tubuhnya. Namun itu belum seberapa dibanding saat Carl mulai petualangannya dengan ujung lidah.
“Ehmm ...,” erang Freya. Kepalanya mulai pening lantaran jejak basah yang Carl beri. Jilatan itu seringan bulu, ditambah ujung jemari Carl ikut berdansa bersama. Menciptakan gelenyar aneh tapi membuat Freya ketagihan. Tak ingin menghentikan apa pun yang pria itu lakukan atasnya. Justru ia memilih untuk menyuguhkan hidangan pembuka.
Dadanya kian membusung minta segera dijamah. “Jangan lupakan bagian ini, Sayang,” katanya sembari meremas payudaranya sendiri. Sekadar untuk menggoda Carl yang kini menatap gundukan kenyal yang menarik perhatiannya.
Tanpa banyak kata, Carl mengeksplorasi bagian kenyal dari tubuh Freya. Mulai dari putingnya yang agak membengkak, lantas remasan yang semula lembut namun kian mengeras, membuat si pemilik mengerang beberapa kali. Selain dijilat, Carl juga mengisap selayaknya bayi yang menemukan sumber kehidupannya.
Menyedot kuat seolah layak isinya untuk ia habiskan.
“Ahhhh ...” Napas Freya memburu. “Isap yang satu lagi, Sayang.”
“Dengan senang hati.” Carl tertawa. Bergantian memberi stimulasi menyenangkan pada d**a Freya. Tanpa diperintah juga, Carl berikan banyak tanda kemerahan di sana. Sebagian bercak merah sudah agak memudar tapi tak jadi soal. Carl bisa membuat lebih banyak dan mungkin lebih merah lagi.
Puas dengan gundukan kenyal milik sang wanita, sentuhan Carl berlanjut pada perut Freya yang rata. Dibiarkan tubuh wanita itu bergeliat gelisah lantaran geli. Kadang diiring tawa serta meminta Carl untuk berhenti. Apa Carl lakukan? Sama sekali tidak. Justru yang ada, Carl tambah bersemangat mengecupi perut Freya yang rata.
Bayangnya menginginkan di perut itu nanti, akan ada penerus Dominique. Membuat ia merasakan hidup yang lebih hidup dari apa yang ia jalankan sekarang. Tak jadi soal beberapa tahun belakangan dirinya serupa kerbau yang patuh. Tapi sekarang, tak ada lagi penghalang.
Ibunya?
Tentu. Carl menyayangi dan mencintai ibunya. Bagi Carl, senyum sang ibu juga sama mahalnya. Namun Carl tak lagi bisa menahan diri. Akan ia bujuk sedemikian rupa pola pikir ibunya mengenai arti istri di sisi Carl. Bagi Carl, yang pantas mendampinginya hanya Freya.
Bukan Ruby.
“Ahhhh ... sayang!” Freya melenguh kuat. Ujung lidah Carl menyapa pinggulnya dengan lembut. Mengecup singkat sebelum akhirnya membuka penghalang yang masih Freya kenakan. “Jangan dirusak lagi, Sayang. Ini limited edition,” rengek sang pemilik tubuh molek yang tak berdaya ini.
“Aku bisa membelikanmu lebih banyak koleksi, Sayang.” Carl menyeringai. Kain yang menutupi pangkal paha Freya pun berakhir di lantai marmer kamar utama. “Aku menginginkan ini tanpa penghalang.” Satu usapan lembut pria itu beri pada kewanitaan Freya.
“Ehmmmm,” Freya mengerang pelan. Usapan itu membuat ia membuka kakinya lebih lebar.
“Kamu memang menggiurkan, Freya.” Carl pun mendekat. Ditiupnya pelan bibir kewanitaan Freya yang tampak memerah itu. Hal ini membuat Freya melirihkan namanya. “Aku suka caramu mendesahkan namaku, Sayang.”
Bibir bawah Freya ia gigit perlahan. Matanya menatap Carl yang bersiap untuk memorak-porandakan dirinya dengan ujung lidah. Akan jadi malam yang panjang untuk mereka berdua, serta tubuh yang basah keringat, juga kamar yang penuh dengan desahan dan erangan nikmat.
Tak jadi masalah bagi Freya. Kegiatan yang telah lama ia lakukan bersama Carl pun masuk dalam kebutuhannya. Namun satu hal yang pasti; Carl bertekuk lutut padanya.
Maka ... “Aku tak sabar dinikmati olehmu, Sayang.”