BAB 10 – Melawan

1437 Kata
“Bagaimana bisnis anda pak Rei? Kabarnya sudah dua cabang restoran ya?” Sambung Burhan setelah menyelesaikan makanannya. “Baru satu cabang pak, belum dua.” “Wah, hebat pak Rei ya. Bisnis pak Rei berkembang pesat dalam waktu kurang dari empat tahun,” kata Burhan sambil menghisap rokoknya. “Alhamdulillah pak.” Ternyata Reinald belum lupa sebuah kata syukur kepada Tuhan-nya. “Rokok dulu pak Rei ....” tawar Burhan. “Maaf pak, saya sudah lama tidak merokok.” Reinald menolak halus tawaran Burhan. Sebenarnya dulu Reinald pria perokok, tapi sudah lima tahun benda laknat itu ia tinggalkan. Semenjak dirinya terserang penyakit paru. “Oiya pak Rei, kira-kira bapak ada kenalan yang sedang mencari apartemen? Adik saya berencana mau menjual satu unit apartemennya yang di Karapitan. Mau jual murah saja pak, soalnya beliau pindah tugas ke Kalimantan.” Apartemen? Ya, mengapa saya tidak kepikiran membeli apartemen saja untuk Andhini. Karapitan tidak terlalu jauh dari sini. Mencari rumah seperti rumah Andi cukup sulit, Reinald berkata dalam hatinya. “Memang berapa mau bapak jual?” tanya Reinald begitu antusias. “Tipe 36 pak, katanya jual 470juta.” Pria tambun itu terus menikmati es teh manis dan rokok di tangannya. “Sebenarnya saja juga sedang mencari rumah untuk adik saya. Kebetulan Karapitan tidak terlalu jauh. Hanya sekitar satu jam-an dari sini. Apa harga masih bisa nego?” Reinald kembali bersemangat setelah tadi pikirannya kacau oleh sikap Mira. “Tentu, kapan pak Rei mau survei ke lokasi.” “Kalau pak Burhan tidak sibuk, bagaimana kalau sekarang saja?” “Bagus, sebentar saya hubungi adik saya dulu.” Akhirnya, aku dapat juga rumah untuk Andhini. Yah, walau hanya sebuah apartemen kecil, tapi kurasa Andhini tidak akan keberatan, Reinald kembali membatin. “Pak Rei, adik saya setuju jika pak Rei ingin melihat sekarang.” “Baiklah, kita berangkat sekarang?” Reinald bangkit dan hendak membayar makanannya, tapi segera dicegah oleh Burhan. “Jangan pak Rei, biar saya saja yang membayar semua makanan ini.” Burhan segera menyodorkan uang pecahan seratus ribu kepada pemilik warung. “Mmm ... terimakasih pak Burhan.” Kring ... Kring ... Kring ... Ponsel Reinald tiba-tiba berbunyi. “Halo, ada apa Mira?” “Mas, tolong baca WA dari aku.” “Baiklah, sebentar.” “Aku matiin ya, Mas.” “Hhmmm ....” jawab Reinald malas. Reinald kemudian membuka pesan w******p dari ponselnya. Pesan yang sudah masuk sekitar setengah jam yang lalu. “[Mas, transferin aku 5juta sekarang ya mas. Aku mau pergi arisan sama teman-temanku. Makasih]” Reinald menghela napas panjang. Baru tiga hari yang lalu Reinald mengirim uang 3juta untuk Mira, sekarang malah minta lagi. Padahal semua gaji bulanan Reinald juga sudah diambil oleh Mira di awal bulan. Reinald segera membuka aplikasi mbanking di ponselnya dan mentransfer sejumlah uang yang diminta Mira. Reinald sedang tidak ingin berdebat. “[Sudah aku transfer, tolong jangan minta lagi. Kecuali jika kau mau suamimu kembali mencuri!]” Reinald membalas pesan w******p dari Mira. Sebenarnya uang segitu belum seberapa untuk seorang pria seperti Reinald. Mengingat bisnisnya yang lumayan sukses. Namun ia tidak ingin Mira menjadi semakin pongah dan semakin menghambur-hamburkan uangnya. “Sudah siap pak Rei.” Burhan yang dari tadi menunggu Reinald, akhirnya menyapa pria itu. “Ohiya pak, maaf tadi saya ada urusan sedikit. Kita berangkat sekarang.” Reinald dan pria tambun itupun meninggalkan warung tersebut. Sesampainya di lokasi apartemen yang dimaksud, ternyata seorang pria muda sudah menunggu mereka di depan gerbang utama apartemen. Pria tersebut sangat mirip dengan Burhan, tapi tidak setambun Burhan. Pria tersebut menghampiri Burhan dan Reinald. “Pak Rei, kenalkan ini adik bungsu saya. Namanya Bagas, usianya masih 25 tahun, tapi sudah memiliki pekerjaan bagus. Tapi sayang, masih jomblo, hahaha.” Burhan menggoda pria yang bernama Bagas tersebut. “Hai Bagas, masih sangat muda ya. Saya Reinald, panggil saja pak Rei.” Reinald mengulurkan tangannya. “Salam kenal pak Rei, senang bertemu dengan anda.” Bagas membalas uluran tangan tersebut. “Baiklah pak Rei, kita langsung lihat saja unitnya. Kalau pak Rei cocok, nanti kita bisa bicarakan masalah harga.” Burhan mengajak Reinald masuk kedalam Apartemen. Mereka bertigapun masuk kedalam lift menuju lantai 9. Bagas berhenti disalah satu unit yang tidak terlalu jauh dari lift tempat mereka naik dan mengajak Reinald masuk kedalam unit tersebut. “Jadi inilah unit yang hendak saya jual, pak Rei. Saya tinggal disini kurang lebih 3 tahun. Sekarang rencananya saya akan menetap di Kalimantan.” Reinald cukup tertegun dengan unit apartemen yang dimiliki Bagas. Unit itu cukup bersih dan masih rapi. Reinald tertarik untuk membelinya. “Bagaimana pak Reinald?” “Saya suka, tapi masih bisa nego’kan?” “Mari kita bicarakan di bawah.” Bagas kemudian mengajak Reinald menuju restoran yang berada di lantai satu apartemen ini. - - - - - Andhini sudah mempersiapkan semua keperluan Soni. Pria tersebut hendak kembali ke lokasi proyek tempatnya bekerja. Ada seraut kebahagiaan yang tersirat dari wajah Andhini mempersiapkan kepergian suaminya. Apalagi penyebabnya jika bukan Reinald. Andhini juga sudah begitu merindukan kekasih gelapnya itu. “Mas, besok Dhini akan mulai bekerja. Inah, yang akan bekerja di rumah ini juga besok mulai bekerja di sini,” kata Andhini pada suaminya. “Ya, hati-hati kalau bekerja. Semoga kau nyaman dengan pekerjaanmu,” jawab Soni sembari berlalu. Pria tersebut akhirnya meninggalkan pekarangan rumah orang tua Andhini menggunakan motor matic miliknya. Belum jauh motor Soni pergi, Andhini segera menuju kamar, mengambil ponselnya dan mulai menghubungi seseorang. Tuut ... Tuut ... Tuut ... “Halo.” Suara bariton seorang pria seketika membuat jantung Andhini berdebar. “Ma—mas, sedang di mana?” jawab Andhini gugup. “Mas ada perlu sebentar. Ada apa Dhini?” jawab Reinald tak kalah senang menerima telepon dari kekasihnya. “Ti—tidak mas, Dhini Cuma ...,” ucapan Dhini terhenti. “Cuma apa ...?” “Ah, tidak ... lupakan saja. Oiya, besok Dhini jadi’kan mulai masuk kerja?” Andhini berusaha mengalihkan pembicaraan karena hatinya semakin berdebar. “Soni sudah pergi?” tanya Reinald kembali. “Sudah mas.” “Kamu pasti kangen sama mas ya?” “Mmm ....” “Nanti sore kita keluar, bilang saja bos tempatmu bekerja memintamu datang ke butik malam ini untuk mempersiapkan keperluan di hari pertamamu bekerja.” “Ta—tapi?” “Katanya kangen?” Reinald mulai menggoda Andhini. “Ah ... ya, baiklah.” “Aku tutup ya, sebab aku sedang ada urusan penting sebentar.” “Baiklah mas, hati-hati ya.” Andhini pun mengakhiri panggilan tersebut. Andhini melihat bu Neti sedang ayik menonton televisi. Wanita tersebut menghampiri ibunya untuk meminta izin hendak keluar sore nanti. “Ma ...,” ucap Andhini pelan. “Ada apa nak?” jawab bu Neti. “Nanti sore Dhini mau ke butik tempat Dhini akan bekerja. Bu Naldi menyuruh Dhini ke sana sore ini untuk menjelaskan pekerjaan Dhini,” jelas Andhini pada ibunya. “Ya, silahkan.” “Mungkin nanti Dhini akan pulang malam ma. Kata Bu Naldi butik biasanya tutup jam sepuluh malam.” Andhini mulai berbohong kepada ibunya. “Hati-hati saja, nanti pulang sama siapa?” “Kan ada ojek online, taksi online juga banyak. Mama jangan khawatir ya.” Andhini mengecup lembut pipi wanita paruh baya itu. Andhini memang piawai mengambil hati ibunya. “Mau kemana kamu Mira,” kata bu Neti ketika Mira keluar dari kamarnya dengan berpakain rapi. “Mau pergi arisan,” jawab Mira tanpa menoleh ke arah ibunya. “Arisan terus ... kapan kamu akan berubah Mira. Contoh adikmu ini, dia bahkan rela bekerja di luar rumah agar bisa membantu suaminya. Tapi kau malah seenaknya menghabiskan uang suamimu untuk hal yang tidak jelas.” “Stop ma! Jangan bandingkan aku dengan anak kesayangan mama itu. Dia sendiri yang bodoh, maunya menikah dengan pria miskin.” “CUKUP MBAK! Aku pastikan kau nanti akan menutup mulutmu untuk selamanya. Agar kau tidak lagi menghinaku dan membentak mama.” Andhini bangkit dan menghardik kakaknya. “Owh ... sudah bisa melawanku kau sekarang ya?” Mira bicara dengan sikap pongah. “Mbak, jangan terlalu sombong. Mbak pikir mbak hebat dengan bersikap seperti itu.” “Nantang kamu, ya.” Mira mulai memanas. “Lihat saja mbak, aku akan buktikan kalau aku akan lebih sukses darimu. Aku bisa berhasil dengan tangan dan kakiku sendiri, bukan hanya MINTA KEPADA SUAMI!” Andhini memberi tekanan pada kata terakhirnya. Seketika, tangan Mira seketika hendak melayang ke wajah Andhini. Wanita itu sudah dikuasai emosi. *** ***  *** Jangan lupa bantu tap Love ya dear's ... Plis, follow aku juga agar gak ketinggalan notifikasi jika aku Up cerita baru. Makasih semua, Luv U All ... kiss ... kiss ... kiss ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN