“CUKUP MBAK!” Andhini segera memegang lengan Mira yang hendak melayangkan tamparan ke pipinya, “Tangan mbak tidak pantas sama sekali menyentuh wajahku!”
“Sudah berani melawan kau sekarang ya!” Mira menyentak tangan Andhini sehingga lengan Mira terlepas. Lengan yang satunya reflek melayang di udara hendak menampar Andhini lagi.
Andhini menangkis, “ Selain suka membuat onar, bikin mama sakit hati, menyusahkan suami. Sepertinya tampar menampar juga jadi hobi mbak ya ...,” ujar Andhini sinis.
“SUDAH CUKUP ...!! KAU, CEPAT PERGI!” Neti berang. Wanita paruh baya itu berteriak dengan suara bergetar dan mengusir Mira.
“Awas kau ya.” Mira mendengus dan berlalu dari rumah itu.
Andhini menghela napas panjang. Wanita itu segera merangku ibunya. Ia melihat mata Neti berkaca-kaca, segera ia lepaskan pelukan itu.
Andhini memegangi kedua telapak tangan Neti, “Ma, maafin sikap Dhini ya. Dhini tidak mampu menahan emosi. Dhini tidak bermaksud membuat mama marah dan pusing.” Andhini membelai lembut wajah ibunya, dan menciumi punggung tangan Neti.
“Bukan salahmu nak, ini salah mama. Mama yang sudah salah mendidik Mira sehingga ia tumbuh menjadi manusia egois seperti itu. Kamu baik-baik ya nak. Kejar cita-citamu, buktikan pada Mira jika kamu bisa jauh lebih baik darinya. Walau mama tau, saat inipun kau jauh lebih baik dari Mira.” Neti menangis. Mata tua itu memandang netra Andhini dengan penuh harapan. Ia sangat mencintai putri bungsunya itu.
“Iya ma, Dhini akan membuat mama bangga. Dhini janji.” Andhini mengecup lembut punggung tangan Neti.
-
-
-
Pukul 4 sore.
“Ma, Dhini pamit ya. Mau ke butik tempat Dhini akan bekerja besok.” Andhini menyalami tangan ibunya dengan takzim.
“Pergi dengan apa?” Neti memandang lembut.
“Pakai taksi online ma.”
“Ya, hati-hati ya. Semoga harimu menyenangkan.” Neti memberi restu untuk Adhhini.
“Mama, mama hati-hati ya.” Aulia mendekati Andhini dan menyalami wanita itu.
“Hati-hati di rumah ya sayang.” Andhini mengecup lembut pipi Aulia.
Andhini segera menuju pagar rumah. Di depan pagar sudah menunggu sebuah taksi online yang sudah dipesankan Reinald. Seorang pria keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Andhini.
“Sesuai aplikasi ya kak?” tanya supir taksi.
“Iya pak.”
Andhini cukup berdebar selama perjalanan menuju lokasi tempart Reinald berada. Setengah jam berkutit dengan pikirannya sendiri hingga Andhini tidak menyadari jika taksi yang ia naiki sudah berhenti di depan sebuah apartemen.
“Maaf kak, kita sudah sampai.” Andhini tersentak.
“Sudah dibayar’kan pak?” tanya Andhini, supir mengangguk, “Terima kasih.”
Andhini segera keluar dari taksi. Ia segera masuk ke area apartemen dan menuju lift. Jemari lembut itu kemudian menekan angka sembilan, lift pun bergerak. Sesampai di atas Andhini segera menuju unit apartemen tempat Reinald berada.
Tak lama setelah Andhini menekan bel, pintu terbuka. Reinald tersenyum melihat kedatangan Andhini. Reinald Segera menarik Andhini ke dalam pelukannya dan melumat bibir wanita itu dengan penuh gàirah.
“Aku merindukanmu,” bisik Reinald. Wajah Andhini merona.
Reinald segera menutup kembali pintu dan menguncinya. Pria itu sudah berada di puncak nàfsunya. Ia kembali melumat bibir Andhini dengan panas. Adhini terengah-engah. Kenikmatan bercampur sedikit nyeri menguasai area bibirnya. Reinald benar-benar tidak memberi ruang untuk wanita itu.
Setelah beberapa menit akhirnya Reinald melepaskan ciumannya. Andhini mengatur napas. Reinald bahkan tidak memberi ruang untuk Andhini bernapas dengan baik ketika melumat bibir indah wanita itu. Bibir Andhini membengkak membuat Reinald kembali terbakar gàirah.
Reinald kembali mèngulum bibir itu, kali ini dengan ritme yang lebih santai. Andhini begitu menikmatinya. Lidah mereka bermain-main dan saling menggigit. Membuat gàirah mereka berdua semakin memuncak.
“Dua hari tanpamu itu terasa sangat lama, Sayang,” bisik Reinald dengan sedikit meniupkan udara panas ke telinga Andhini, membuat bulu kuduk wanita itu meremang.
Andhini tidak menjawab, hanya sebuah tatapan yang ia berikan tepat di depan netra Reinald.
Reinald mengusap kedua netra Andhini. Menciumi netra itu dengan pelan. Reinald melakukannya dengan sangat lembut sehingga Andhini merasa sangat nyaman dan damai.. Walau pria itu sudah berada di puncak gàirahnya, namun ia masih ingin bermain-main dengan tubuh Andhini sebelum masuk ke inti.
“Sayang ... aku sudah tidak ta—tahan,” gumam Andhini. Wanita itu membuka sendiri kancing kemeja dan celana jeans yang ia kenakan. Bagian V celana itu sudah basah.
Reinald tertawa geli melihat tingkah kekasihnya. Ia sendiri masih kuat menahan, namun wanitanya sepertinya tidak ingin berlama-berlama melakukan pemanasan.
“Dhini ... aku mencintaimu,” bisik Reinald lagi.
Reinald sudah tidak mampu lagi bertahan lebih lama. Pria itu segera melakukan penyatuan. Penyatuan yang haram berbalut kenikmatan. Surga dunia yang mereka ciptakan sendiri, hingga lupa akan resiko yang akan mereka tanggung nanti.
Reinald tidak peduli dengan semua itu. Ia hanya menginginkan Andhini. Tubuh Andhini, suara dan semua yang ada pada diri wanita itu membuat Reinald tergila-gilà. Kenikmatan yang tidak pernah ia dapatkan dari wanita mana pun termasuk Mira, kini ia temukan dalam diri kekasih haramnya.
Andhini terengah-engah merasakan surga yang diberikan Reinald. Peluh sudah mengucur dari tubuh ke dua insan yang di mabuk kepayang tersebut.
“Mas ...,” bisik Andhini ketika Reinald membalik tubuhnya.
Reinald hanya tersenyum. Ia begitu bahagia, sangat bahagia. Betapa ingin pria itu merasakan dekat dengan kekasihnya seperti ini sepanjang waktu. Merasakan kehangatan dan deru napas Andhini setiap saat.
Namun sayang, semua itu hanya khayalan. Andhini adalah wanita bersuami, sementara dirinya pun adalah pria beristri. Sembunyi-sembunyi, adalah cara mereka berdua menikmati hari. Cara mereka menikmati dan meluapkan rasa cinta yang buta oleh nàfsu dunia. Melakukan sebuah dosa mengatas namakan cinta.
Satu jam berlalu, keringat sudah mengucur hebat dari tubuh ke duanya. Andhini sudah tampak kelelahan, Reinald pun sudah hampir berada di tujuan.
Hingga ...
Mereka pun menyelesaikan semuanya secara bersamaan.
-
-
-
Azan magrib berkumandang lewat televisi yang menyala di kamar apartemen milik Reinald. Andhini terjaga, begitu juga Reinald. Seharusnya suara indah itu menyadarkan mereka berdua. Membuat mereka berhenti dari aktivitas tersebut dan pulang ke rumah serta berdoa meminta pengampunan dari Tuhan.
Tapi sayang, hati mereka berdua sudah di kuasai bisikan setàn. Reinald segera mematikan televisi sebelum panggilan azan itu selesai. Ia kembali menatap wanitanya dengan tatapan penuh nàfsu.
“Mas, ini masih maghrib. Kita hentikan—.” Belum selesai Andhini berucap, laki-laki itu segera melahap kembali bibir Andhini.
“Lupakan semua, ini surga kita. Kita nikmati saja.” Reinald kembali menggeràyangi tubuh Andhini.
Melakukan penyatuan lagi tanpa memedulikan pangggilan ibadah yang seharusnya mampu menyadarkan mereka. Tidak, mereka sudah lupa akan Tuhan-nya. Mereka tidak peduli lagi dengan dosa.
Reinald terus memberikan sensasi pada Andhini hingga wanita itu pun juga lupa dengan kodratnya sebagai hamba Tuhan. Beberapa menit berselang, mereka kembali mencapai tujuan masing-masing secara bersamaan. Lemas, rebah dan kemudian terlelap.
-
-
-
“Sayang ....” Reinald berusaha membangunkan Andhini yang masih terlelap di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya hingga dàda.
“Hhmmm ...,” jawab Andhini malas.
“Sayang, jangan seperti ini. sikapmu ini membuatku gemas dan bisa-bisa nanti aku mangsa lagi,” gumam Reinald pelan ke telinga Andhini.
Wanita itu segera bangkit dan duduk menyandar di dinding ranjang. Andhini terpana melihat Reinald yang sudah rapi, duduk di depannya.
“Kamu sudah mandi mas? Mau kemana? Kenapa rapi sekali?” Andini yang masih tampak mengantuk, terus memperhatikan Reinald. Pria itu memang sangat tampan.
“Aku ingin membawamu makan malam ke tempat yang romantis. Kamu mau’kan sayang?” Reinald membelai rambut Andhini. Wanita itu cukup tersanjung.
“Aku harus membersihkan diri terlebih dahulu.” Andhini melepas selimutnya dan bangkit dari tempat tidur.
Reinald segera meraih tangan Andhini dan menjatuhkan wanita itu ke dalam pelukannya. Dàda Andhini menantang menghadap wajah Reinald. Reinald menelan saliva. Dua benda bulat itu memang mampu membuat aliran darahnya memanas seketika. Reinald mengecup puncak kepala dan dàda indah Andhini yang sudah penuh dengan tanda kepemilikan yang di buat oleh dirinya.
“Pergilah cepat mandi, sebelum aku berubah pikiran.” Reinald melepaskan pelukannya.
Andhini tersenyum nakal. Ia kembali ke dalam pelukan Reinald, melumat bibir pria itu dengan penuh semangat. Reinald berusaha mengendalikan nàfsunya. Namun Andhini semakin agresìf. Reinald terbawa suasana, ia memeluk tubuh polos Andhini dengan erat. Andhini kemudian merasakan sesuatu yang keras di bawah.
Seketika Andhini tertawa, dan melepaskan pelukan Reinald. Wanita itu segera berjalan cepat menuju kamar mandi. Reinald tampak bangkit dan berusaha mengejarnya, namun terlambat. Andhini segera mengunci pintu kamar mandi setelah menghadiahkan Reinald sebuah cibiran.
“Kamu benar-benar sangat menggemaskan Dhini,” gumam Reinald seraya menyugar rambutnya.
Sementara di dalam kamar mandi, Andhini menangisi dirinya. Menatap diri di depan cermin seraya mengutuk kelakuannya sendiri.
===
===
===
Makasih untuk teman-teman semua yang masih setia menunggu kisah Reinald – Andhini.
Kisah ini memang sedikit sensitif, jadi bagi yang tidak kuat nggak apa-apa untuk tidak meneruskan.
Tapi percayalah, author membuat cerita tidak melulu hanya berisi ke-uwukan semata. Adegan dan settingan hanya sebagai pemanis cerita. Banyak PESAN MORAL yang bisa kita ambil dalam setiap cerita terutama cerita yang berlatar belakang “Kisah Nyata”. Maka dari itu author menerima KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN dari teman-teman semua. Jangan sungkan untuk berkomentar ya ...
Salam sayang untuk semua, kiss ...