BAB 9 – Hati yang panas

1442 Kata
“Bro, gue pulang sekarang ya. Makasih udah diizinkan nginap.” Reinald yang sudah membersihkan diri segara undur diri dari rumah Andi. Dari semalam ponselnya selalu berdering, tapi tidak beliau pedulikan. Sudah puluhan panggilan tak terjawab dari Mira. Reinald cukup heran, mengapa tiba-tiba Mira menghubunginya sesering itu. Biasanya wanita itu tidak pernah peduli apapun yang terjadi pada dirinya. Mobil putih milik Reinald pun masuk ke pekarangan rumah mereka. Reinald melihat motor Soni masih ada di depan rumah. Sial, Ternyata pria itu belum pergi juga, gerutu Reinald dalam hatinya. Reinald begitu malas melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah itu. Pria itu benci melihat Andhini melayani Soni. “Papa ....” Asri yang baru keluar dari rumah menghampiri mobil Reinald. “Hai sayang ....” Reinald segera keluar dari mobil dan memeluk anak bungsunya itu. “Papa kenapa baru pulang sih pa?” Mata Asri menatap Reinald. Mata itu menyimpan sejuta tanda tanya. “Papa banyak pekerjaan di kantor. Jadi, papa baru bisa pulang sekarang.” “Tapi’kan harusnya Sabtu dan Minggu papa libur? Asri kangen jalan-jalan pa. Teman-teman Asri pada ceritain liburan mereka. Asri pengen ke kebun binatang juga kayak teman-teman Asri.” Gadis 8 tahun itu merajuk. “Baiklah putri cantik, Sabtu depan kita akan jalan-jalan. Papa akan ajak Asri jalan-jalan kemana pun yang Asri inginkan.” Reinald memang sangat menyayangi Asri, putri bungsunya. Asri adalah anak yang penurut dan manja. Berbeda dengan Gibran dan Siska. Mereka berdua bahkan tidak menghargai Reinald sebagai seorang ayah. “Dari mana saja kamu mas ...!” ujar Mira berkacak pinggang di depan pintu. “Seperti itukah adab seorang istri menyambut suaminya?” balas Reinald tak kalah ketus. Reinald segera menurunkan Asri dari gendonganya dan berlalu melewati tubuh Mira menuju kamarnya. Sudut mata Reinald menangkap Andhini sedang melayani makan siang Soni di meja makan. Geraham Reinald beradu menahan kesal dan sakit hati. Tangannya mengepal dan pria itu segera berlalu ke dalam kamarnya. “Sial! Kenapa aku harus melihat pemandangan itu setiap Minggu,” gumam Reinald pelan. Dia duduk di atas ranjang dengan kedua telapak tangan mengepal di atas paha. “Melihat apa mas?” Reinald terkejut melihat Mira sudah ada di dekatnya. “Bukan urusanmu.” “Kamu suamiku, tentu semua urusanmu adalah urusanku juga mas ....” Mira mulai membentak Reinald lagi. “Aku lelah, aku sedang tidak mau bertengkar. Tolong siapkan makanan untukku, aku lapar.” Reinald mulai membaringkan dirinya ke atas ranjang. “Jangan manja kamu mas, kamu’kan bisa ngambil sendiri di meja makan.” Reinald hanya diam. Pria itu memang sedang tidak ingin berdebat. Di pikirannya hanya ada Andhini dan Andhini. Ingin rasanya Reinald bertukar posisi dengan Soni agar bisa menghabiskan hari dengan wanita pujaannya tersebut. “Kenapa kamu diam saja mas? Katanya kamu mau makan?” Mira mulai melunak. Dia duduk di atas sofa yang ada di kamar itu, sedang asyik cengengesan menatap layar gawaynya. “Aku cari makan di luar saja.” Reinald mulai bangkit, tapi ditahan oleh Mira. Mira bangkit dari duduknya dan segera memegang pergelangan tangan suaminya “Baru pulang, terus mau pergi lagi? Kamu masih belum menjawab pertanyaanku tadi mas.” “Apa pedulimu, hah ...? Uang di rekeningmu kurang?” Reinald menatap tajam mata Mira. Kata-atanya penuh penekanan. “Hhmmm ... A-aku ....” Mira gugup dicerca pertanyaan demikian. “Benar’kan dugaannku? Di otakmu itu Cuma ada uang ... uang ... dan uang ... Kapan kau akan menghargaiku sebagai suamimu, Mira!” “Bukan begitu mas ... Aku khawatir dengan keadaanmu. Aku tidak ingin kau menghianatiku di belakang. Aku mendengar kabar angin, kalau kau ada main dengan seorang wanita.” Serrr ... Dàda Reinald tiba-tiba berdegup kencang ketika Mira mengatakan hal itu. Reinald tidak ingin siapa pun tau mengenai hubungan gelapnya dengan Andhini. Andhini akan tepojok nantinya. “Siapa yang mengatakan hal itu?” “Kau tidak perlu tau siapa yang mengatakannya. Natasha memang cantik dan masih muda. Awas saja kalau kau ada main dengannya.” Natasha adalah pegawai kontrak di instansi tempat Reinald bekerja. Wanita dua puluh enam tahun itu memang sangat cantik dan memesona. Tapi Reinald tidak pernah terpikir untuk selingkuh dengan wanita itu. “Lalu apa pedulimu?” Reinald patut bernapas lega karena bukan Andhini yang dicurigai oleh Mira. “Apa maksudmu berkata seperti itu mas, tentu aku peduli. Aku istrimu, mana ada istri yang rela melihat suaminya selingkuh!” Suara Mira mulai keras, hingga terdengar keluar kamar. “Huft ... mereka bertengkar lagi,” gumam papa Andhini yang masih duduk di meja makan. Lelaki paruh baya itu mengurut-urut dàda mendengar kebisingan yang terjadi di dalam kamar anaknya. “Papa nggak usah mikirin mereka ya, nanti darah tinggi papa kumat lagi. Mbak Mira’kan memang sudah biasa bertengkar setiap hari dengan mas Reinald.” Andhini berusaha menenangkan ke dua orang tuanya. “Sekarang to the point saja Mira, berapa nominal uang yang kau butuhkan. Aku lelah berdebat denganmu.” Reinald mulai lelah dengan sikap Mira. Dia juga malu jika terus saja bertengkar di depan Soni. “Mmm ....” Mira tampak gugup. Reinald sudah tau jika Mira hanya pura-pura peduli padanya. Jika sudah seperti itu, uang adalah penyebab utama Mira bersikap demikian. “Aku mau pergi sekarang, kau kirim saja pesan berapa uang yang kau inginkan.” Reinald berlalu meninggalkan Mira yang masih mematung. Reinald pergi tanpa menyapa siapa pun yang tengah asyik menikmati makan siang di ruang makan rumah itu. Andhini kasihan melihat Reinald berlalu begitu saja. Mas Rei pasti belum makan apa pun dari tadi, kenapa mbak Mira tidak pernah peka terhadap suaminya? Andhini membatin. Kegundahannya membuat dia salah menuangkan sayuran. Sayuran itu bukannya masuk ke piring, malah tumpah di atas paha Soni. “Dhini, apa yang kamu lakukan?” “Ma—maaf mas, aku tidak sengaja.” Andhini segera membereskan tumpahan sayuran yang membasahi paha suaminya. “Apa yang sedang kamu pikirkan?” Pertanyaan Soni membuat Andhini tergeming. “Maaf mas, aku tadi memperhatikan keadaan mbak Mira. Ah, sudahlah, ayo kita lanjutkan lagi makannya.” Andhini berusaha mengalihkan pembicaraan. Drrtt ... Drrtt ... Drrtt ... Ponsel Andhini bergetar, tapi wanita itu mengabaikannya. “Dari siapa? Mengapa kamu tidak mengangkatnya?” Deg ... Jantung Andhini bergetar hebat mendengar pertanyaan Soni. Tidak mungkin Andhini mengangkat panggilan dari Reinald sementara saat ini dia sedang bersama suami, orang tua dan anak-anaknya. “Kenapa diam saja? Ponselmu masih berdering.” “Owh, ini dari bu Naldi. Pemilik butik tempat aku akan bekerja mas. Sebentar aku angkat dulu.” Tiit ... Panggilan itu di riject oleh Andhini “Dimatiin sama bu Naldi mas. Nanti kalau dia ada perlu, pasti akan menelepon lagi.” Ditempat yang berbeda, Reinald kesal Andhini menolak panggilannya. Reinald berkali-kali memukul setir mobil, dan mengumpàt keadaanya. Reinald berhenti disalah satu warung makan kaki lima. Pria itu memesan seporsi pecel ayam dan segelas es teh manis. Makanan kaki lima seperti ini memang sangat disukai Reinald. Dulu, ketika Reinald masih menjadi pegawai biasa, dia dan Mira sering makan di warung kaki lima seperti ini. Reinald masih bisa merasakan kebahagiaan pernikahan. Tapi semua berubah drastis ketika Reinald sudah mendapatkan jabatan tinggi. Apalagi jabatan itu ia dapat berkat bantuan keluarga terdekat Mira. Mira menjadi semakin pongan dan keras kepala. “Hei pak Reinald’kan?” Seseorang menegur Reinald yang tengah asyik menikmati makan siangnya. “Pak Burhan ... apa kabar pak? Lama ya tidak berjumpa, maaf ini tangan saya kotor jadi ....” Belum selesai Reinald bicara, pria itu langsung memotongnya, “Tidak masalah pak Rei, biasa saja. Teruskan saja dulu makannya. Saya juga berniat mau pesan makanan. Makan di tempat seperti ini memang luar biasa.” “Oh iya, sendrian saja pak Burhan?” Reinald masih menikmati makanannya. “Iya pak Rei, saya dari proyek tadi pagi. Belum sempat ke rumah keburu lapar, jadi mampir ke sini. Eh, malah ketemu pak Reinald disini.” Pria bertubuh tambun itu tampak sangat menyenangkan. “Pak Rei sendirian juga? Ngomong-ngomong dari mana?” tanya Burhan lagi. “Saya barusan dari butik, belum sempat pulang lagi. Jadi mampir kesini,” jawab Reinald berbohong. “Tapi pak Rei bukannya punya restoran ya? Kenapa nggak makan di restoran saja.” Burhan mulai menyuap makanan ke dalam mulutnya. “Kan tadi pak Burhan sendiri yang bilang, kalau makan di tempat seperti ini memang luar biasa, hahaha.” Reinald menimpali sembari tertawa. Kedua pria itu larut dalam candaan. Sebelum akhirnya membahas masalah yang lebih serius. *** *** *** TAP LOVE dulu dong, sebelum lanjut ... FOLLOW akun aku juga ya ... Ada berbagai cerita seru lainnya, KISS ... Ada Hot Jeletot, ada serialReliggi yang hati Adem,ada komedi juga, Komplit, teman-teman tinggal pilih aja ... Aku tunggu kehadiranmu di ceritaku yang lain ya ... Kiss ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN