Sifa mulai kesal dan panas, tatkala harus menyaksikan pergumulan hebat di depan matanya. Reinald yang sudah ia tunggu-tunggu, tak jua kunjung menampakkan batang hidungnya.
“Mohon kepada Ibu, bapak, jangan disini ya ... Silahkan keruangan atas. Di sini bukan tempat untuk bercinta, apalagi harus di depan orang lain seperti ini.” Sifa sudah uring-uringan dan susah payah menahan panas yang sudah menjalardu sekujur tubuhnya.
“Aahh... Iya cint, aku maunya di atas saja biar lebih privat, tapi mas Andi main nyerang aja, aku nggak bisa menolak dong ...,” jawab Ana dengan suara sedikit tertahan sambil mengginggit bibir bawahnya.
“Ayo kita ke atas saja sayang ... kita selesaikan saja di atas. Di sini ada pengacau, hahaha” ucap Andi yang terusik dengan teguran Sifa.
Ana merapikan sedikit penampilannya dan mengikuti Andi keluar dari room itu menuju lantai 4 gedung ini. Gedung ini terdiri dari 4 lantai. Lantai 1 adalah cafe & resto biasa, lantai 2 adalah ruangan karaoke, lantai 3 merupakan sebuah diskotik dan lantai 4 disediakan kamar khusus untuk tamu yang ingin melepaskan keinginan mereka. Tempat yang sudah disediakan untuk bercintà.
Tak lama setelah kepergian Andi, Reinald kembali kedalam room itu. Sifa sudah bersiap dengan pose menantangnya di atas sofa.
“Andi dan Ana keatas?” tanya Reinald pada Sifa.
“Ya ....” jawab Sifa manja. Wanita itu berharap Reinald akan mengajaknya keatas juga. Selain akan mendapatkan bayaran lebih, Sifa juga tertarik dengan tubuh Reinald yang tampan dan bersih.
“Apa kau tidak mau juga ...?” Kali ini Sifa mulai berani membuka kancing baju Reinald. Wanita itu juga menciumi bibir Reinald dengan penuh gàirah.
Reinald mulai terbawa suasana. Pria itu menarik Sifa kedalam pelukannya dan menidurkan Sifa keatas sofa panjang yang ada di ruangan itu. Tak sulit bagi Reinald untuk membuat wanita itu setengah telanjàng. Baju atasan Sifa yang terbuat dari karet dengan mudahnya ditarik ke bawah.
Renald dengan cepat melepas pengaman wanita itu dan menjilati ujung gundukan Sifa. Bongkahan kembar Sifa cukup besar dan sangat indah. Reinald terus mencumbunya dan sekarang wanita itu sudah pólos tanpa mengenakan apa pun.
Reinald benar-benar tidak mau lollipopnya tersentuh oleh siapa pun, apa lagi wanita bayaran seperti Sifa. Tidak! Laki-laki itu tidak ingin miliknya diberikan dengan mudahnya kepada siapa saja.
Sifa terus saja berusaha menggoda Reinald. Lollipop itu kembali menegang. Reinald dengan perlahan mulai bermain-main dengan wanita itu. Melepaskan biràhi Sifa tanpa memberikan miliknya.
“Aaahhh ....” Sifa pun akhirnya mencapai tujuannya.
Wanita itu lemas, namun ia belum puas. Ia ingin lebih. Ia inginkan lollipop tamunya. Sifa kembali memeluk pelanggannya, berharap Reinald mau mengajaknya ke lantai empat gedug ini.
“Maaf, bukankah kamu sudah selesai? Aku tidak berminat melakukannya dengan siapa pun selain dengan kekasihku.” Reinald berusaha melepaskan pelukan Sifa.
“Kenapa sayang? Apa aku kurang cantik, apa kurang seksi? Lagi pula milikmu sudah mulai memberontak.” Sifa kembali bernàfsu setelah memegang lollipop Reinald dibalik celana yang dikenakan pria itu. Lollipop itu memang sudah terjaga dari tadi, hanya Reinald berusaha untuk menahannya.
“Maafkan aku, tolong jangan lancang. Aku tidak suka siapa pun memegang milikku. Nanti juga dia akan tenang sendiri. Aku akan melakukan hal itu dengan kekasihku saja. Cepat kenakan lagi pakaianmu dengan baik, setelah ini kita akan ke diskotik sambil menunggu Andi selesai.” Sifa tampak sangat kecewa dan kesal. Baru kali ini dia ditolak oleh tamunya. Apalagi saat ini Sifa menginginkan tamu itu. Bahkan tanpa dibayar sekali pun, Sifa akan dengan senang hati melakukannya.
“Kau tidak perlu membayarku untuk itu, kali ini aku yang menginginkanmu.” Sifa mulai duduk di pangkuan Reinald.
“Aku mohon, turunlah dari sini. Aku sudah bilang, aku tidak berminat melakukannya. Jangan sampai nanti aku berbuat kasar jika kau tetap memaksa,” jawab Reinald tegas.
Sifa pun segera turun dari pangkuan Reinald, mengenakan kembali pakaiannya dengan baik. Tak lupa merapikan rambut dan merias wajahnya. Reinald menunggunya sambil memainkan ponsel. Reinald melihat ada pesan masuk dari Andhini. Tanpa menunggu lama, Reinald segera membalas pesan itu.
“Aku sudah siap mas, ayo kita ke diskotik sekarang,” ucap Sifa manja. Wanita itu berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Baru kali ini ia ditolak untuk berhubungàn badan oleh seorang pria.
Reinald pun meninggalkan ruangan karaoke tersebut menuju diskotik sambil menunggu sahabatnya selesai dengan urusannya.
-
-
-
Sudah jam sepuluh malam, tapi Andi masih belum turun dari lantai empat. Reinald mulai bosan dan mengambil ponselnya hendak menghubungi pria itu. Namun tidak ada jawaban.
Dipanggilan yang ketiga, Andi malah mematikan panggilan tersebut.
“Sial ...!” gerutu Reinald.
“Ada apa bro?” Andi memukul pelan bahu Reinald.
“Gilà lo ya, lama banget sich mainnya. Gue udah bosen, pulang sekarang! Gue mau istirahat,” jawab Reinald yang sudah setengah mabuk.
“Mas Rei kayak nggak tau mas Andi saja? Aku selalu dibuat tidak berkutik sama dia, sampai punyàku bengkak.” Reinald cukup muak mendengar suara Ana yang manja dibuat-buat. Dipikirannya hanya ada Andhini. Andhini, wanita cantik, baik dan juga terhormat. Dimata Reinald, wanita tiga puluh tiga tahun itu sangat sempurna.
“Sekarang lo udah puas’kan bro? Pesan taksi sekarang! Gue mau tidur. Gue nginap di rumah lo ya?” Reinald kembali meneguk wìne dalam gelas terakhirnya.
“Siap pak bos.” Andi mengambil gawaynya dan mulai memesan taksi online.
Kedua pria itu pun akhirnya meninggalkan Barista. Ana tampak enggan melepas pelukan dan ciumànnya dari Andi. Wanita itu juga candu dengan pria tersebut.
“Mas, besok aku ke rumahmu ya, atau kamu aja yang kerumahku? Besok aku off mas ....” Suara Ana yang dibuat mendesàh-desàh membuat Andi sangat gemas dan meremàs pìnggul sintàl Ana.
“Besok akan aku hubungi lagi. Aku pulang sekarang ya.” Andi memberikan ciuman perpisahan pada Ana.
“Kamu kenapa mesem aja Fa?” tanya Ana pada rekannya.
“Si Reinald itu, ìmpoten atau apa sich? Masa nggak mau diajakin main sama gue. Nggak dibayar juga gue mau, tapi dia malah nolak.” Sifa dengan kesal menceritakan hal tersebut kepada rekannya. Dahinya mengernyit dengan tangan disilang di atas dàda.
“Hahaha ... jadi selama ini kamu belum pernah nemenin Rei ya? Dia emang kayak gitu say. Tapi pria kayak gitu suami idaman banget lho. Dia nggak mau ngasih miliknya kewanita lain, apalagi wanita kayak kita ini.”
Kedua wanita cantik dan seksi itu kembali menghilang dibalik kerumuman manusia yang tengah menikmati malam di club itu. Mencari mangsa baru untuk bisa mengisi dompet mereka sekaligus memuaskan biràhinya.
-
-
-
-
-
Reinald langsung merebahkan diri diatas sofa yang ada di ruang tengah rumah Andi. Pria itu cukup màbuk malam ini. Reinald memang sering menginap dirumah Andi jika sebelumnya dari Barista. Sebab dia tidak ingin Mira apalagi Andhini mengetahui kebiasaan buruknya di belakang mereka. Reinald tidak ingin Andhini membencinya.
“Rei, lo tidur dikamar aja, jangan disini.” Andi mengguncang-guncang tubuh Reinald.
“Hhmmm ....” Hanya sebuah gumaman yang keluar dari mulut Reinald.
“Huft ... terpaksa gue harus angkat tubuh lo lagi. Sial banget sich punya temen kayak lo ini,” gerutu Andi sambil memapah Reinald menuju kamar.
Andi yang juga setengah mabuk, tampak kesulitan memapah tubuh Reinald. Namun pria itu tetap berusaha membawa sahabatnya ke dalam kamar. Andi selama ini banyak berhutang budi kepada Reinald. Jabatan yang ia miliki saat ini dan segala harta yang ia punya, itu semua berkat campur tangan Reinald didalamnya. Maka dari itu Andi selalu berusaha membuat sahabatnya nyaman bersamanya.
Akhirnya Reinald pun tertidur di kamar itu. Tidur dengan membawa Andhini ke dalam mimpinya.