Reinald sudah resah. Ia menunggu cukup lama. Andhini tidak juga kunjung keluar dari ruangan kecil, lembab dan dingi itu. Ruangan kecil yang bernama kamar mandi.
Ya, Andhini belum juga keluar dari kamar mandi. Entah apa yang wanita itu lakukan di dalam sana sehingga belum juga menampakkan batang hidungnya.
“Sayang ... Kenapa lama sekali di dalam kamar mandi?” tanya Reinald seraya memperhatikan Andhini keluar dari kamar mandi hanya di balut sehelai handuk berwarna putih.
“Tolong, bapak menghadap ke dinding dulu ya. Sebab saya mau mengenakan pakaian dulu,” canda Andhini seraya tersenyum manis.
“Tidak Mau! Kalau mau pakai, ya pakai saja. Biar aku nonton di sini.” Reinald tertawa seraya menggoda Andhini.
Andhini segera mengambil pakaiannya dan kembali masuk ke dalam kamar mandi dengan cepat.
“Dhini, kenapa harus masuk lagi ke dalam?” Reinald mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Ia kecewa.
“Aku tidak mau nanti malah di suruh mandi lagi,” teriak Andhini.
Reinald menyugar rambut dan mengusap wajahnya berkali kali. Apa yang di katakan Andhini benar. Reinald tidak akan pernah tahan melihat tubuh pólos kekasihnya.
Tak lama Andhini keluar dari kamar mandi. Wanita itu segera mengeringkan rambut dan merias wajahnya dengan riasan natural. Andhini memang tidak suka dengan dandanan yang mencolok apalagi menor.
“Dhini, kamu sangat cantik.” Reinald mendekat dan segera memeluk tubuh kekasihnya.
“Jangan lagi! Kita sudah melakukannya berkali-kali hari ini. aku sangat lelah,” bisik Andhini.
“Hanya ciuman, tidak lebih.” Reinald melingkarkan telapak tangan kanannya di leher Andhini. Menikmati aroma tubuh Andhini yang menggodà dan menggàirahkan. Kemudian melumat bibir indah itu selama beberapa menit.
Setelah merasa puas, Reinald melepaskan ciumannya, “Ayo kita pergi sekarang sayang, sebelum semuanya kembali tidak terkendali.” Andhini mengangguk.
Mereka berdua pun meninggalkan unit apartemen yang sudah dibeli Reinald untuk Andhini. Tapi pria itu belum mengatakan apa pun kepada Andhini perihal apartemen yang baru saja dibelinya itu.
“Kita mau ke mana?” Andhini menatap Reinald yang tampak sangat gagah ketika menyetir mobil.
“Ke suatu tempat yang sangat romantis.” Andhini mengangguk. Wanita itu benar-benar terhanyut oleh sikap dan perlakuan Reinald.
Mobil berhenti di salah satu cafe and Resto. Kafe yang biasanya di kunjungi oleh pasangan kekasih dan pengantin baru. Kafe ini memang terkenal dengan suasana yang romantis dan menyenangkan untuk pasangan kekasih.
Reinald membawa Andhini ke salah satu meja yang sudah ia pesan. Suasana kafe sedikit temaram dengan kelap kelip lampu menghiasi setiap sudut ruangan. Pengunjung juga di manjakan dengan suguhan live music yang membawakan lagu-lagu sendu nan romantis. Di sebelah panggung musik, terlihat beberapa pasangan tengah asyik berdansa mengikuti alunan musik dan lagu.
Andhini memperhatikan sekelilingnya. Matanya cukup terbelalak menyaksikan pemandangan sekitar. Pasangan-pasangan tersebut tanpa malu saling mendekap dan berciuman panas di meja masing-masing. Walau suasana temaram, Andhini masih bisa melihat pemandangan tersebut, meskipun tidak bisa melihat jelas wajah mereka.
“Kenapa sayang?” Reinald dari tadi memperhatikan sikap Andhini yang begitu asing dengan tempat seperti ini.
“Hhmmm ... nggak ada mas. Aku tidak pernah ke tempat seperti ini, jadi merasa agak aneh dan risih.” Andhini kemudian duduk di kursi sebelah Reinald.
“Kamu tidak menyukai tempat ini?”
“Bukan tidak suka, tapi tidak terbiasa.”
“Ya, aku tau siapa kamu Dhini. Maka dari itu aku sangat mencintaimu. Kamu wanita yang baik dan pólos. Bahkan ketika remaja, kamu tidak pernah pacaran. Bodohnya, kenapa malah mau sama Soni, hahaha.” Reinald tertawa mencela.
“Mas ....” Andhini mencubit sedikit pinggang Reinald, kemudian merajuk dan membelakangi pria itu.
“Hei, wajah cantik ini akan hilang jika cemberut. Maafkan aku sayang, aku hanya bercanda.” Reinald membalik tubuh Andhini dan mengecup lembut puncak kepalanya, “Sebentar, aku panggil waitress dulu ya.”
Reinald menekan sebuah bel dan tidak lama, datang seorang pramusaji berpakaian seragam dominan hitam ke meja Reinald dan Andhini. Reinaldpun membuat pesanannya.
“Mas, kenapa sih kafe ini gelap banget.” Andhini sedikit mengernyit.
“Gelap? Aku rasa tidak, kita masih bisa melihat makanan kita dengan sangat jelas. Bahkan aku masih bisa melihat wajah cantikmu dengan sangat jelas.” Reinald kembali menggoda Andhini.
“Mas, aku serius. Ya, maksudnya kenapa harus remang-remang seperti ini.”
“Bukankah suasana seperti ini romantis? Suasana seperti ini sangat di sukai setiap pasangan, termasuk kita’kan?” Andhini menghela napas panjang. Wanita itu benar-benar merasa asing.
Tak lama, makanan yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja. Andhini begitu menikmati makanannya. Reinald sesekali menggoda wanita itu dengan mengoles saus sambal ke hidung bangir Andhini. Membuat Andhini marah dan kembali merajuk.
“Sayang ... jangan sok ke kanak-kanakan deh. Udah tua juga.” Goda Renald, Andhini semakin merajuk.
“Baiklah ... baiklah ... maafkan aku.” Reinald membalik lagi tubuh Andhini.
Seketika Andhini terkejut, Reinald memberikan sensasi panas pada bibirnya. Reinald melumat bibir Andhini dengan sangat lembut, bermain-main di dalamnya dan saling menggigit lidah. Ciuman yang panas yang membuat Andhini lupa dengan sikap Reinald yang sudah membuatnya kesal.
“Aaahhh ....” Andhini sedikit mengerang setelah Reinald melepaskan ciumannya. Reinald menghisap kasar bibir Andhini sehingga wanita itu merasakan sedikit nyeri.
“Bagaimana sayang? Sudah tidak merajukkan?” bisik Reinald dengan lembut ke telinga Andhini, membuat wanita itu meremang.
“Kamu nakal, Mas,” Gumam Andhini seraya mengecup lembut pipi Reinald.
Setelah ciuman panas itu, Reinald kembali menyantap makanan mereka dengan santai. Obrolan-obrolan ringan masih mendominasi malam mereka.
“Dhini, aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Apa?” Andhini menatap tajam netra Reinald.
“Aku ingin menghadiahkan sesuatu untukmu.” Reinald kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam sakunya. Kunci tersebut di letakkkan di telapak tangan Andhini.
“Apa ini?” Andhini mengernyit.
“Ini kunci apartemen.”
“Untuk apa mas memberikannya padaku?”
“Ini untukmu Dhini.” Reinald menggenggam telapak tangan Andhini yang berisi kunci.
“Ma—maksudnya?” Andhini gugup.
“Untukmu, untuk kita. Aku sengaja membeli apartemen itu untukmu. Sebagai bukti cintaku kepadamu. Aku pastikan, suatu saat nanti kau akan mejadi milikku sepenuhnya.” Reinald kembali mengecup lembut puncak kepala Andhini.
“Ma—mas, apa maksud kata-katamu? Kau adalah suami sah kakakku, dan aku juga sudah memiliki suami. Bagaimana mungkin kita bisa hidup bersama?” Andhini semakin bingung dengan pernyataan Reinald.
“Cepat atau lambat, kita pasti akan bersama.” Reinald menyugar rambut Andhini. Membelai rambut hitam dan panjang itu berkali-kali.
“Mas ....”
Andhini memeluk erat pria itu. Dagunya di sandarkan pada bahu Reinald. Reinald merasakan bahunya basah oleh air mata Andhini. Reinald membalas pelukan itu dengan dekapan yang lebih hangat. Andhini benar-benar merasakan kenyamanan ketika bersama Reinald.
“Mas, apa yang kita lakukan ini salah. Harus segera kita hentikan.” Andhini melepaskan pelukannya dan memberikan kembali kunci apartemen kepada Reinald.
“Apa yang kamu katakan Dhini?”
“Tidak mas, ini salah. Tidak mungkin selamanya kita bergelut dengan dosa. A—aku takut mas ....” Andhini merunduk.
“Persetan dengan dosa Andhini. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Tolong tatap aku sekarang, lihat wajahku. Apakah kau tidak percaya denganku?” Reinald mengangkat dagu Andhini.
“Ta—tapi ....”
“Aku mohon, kita nikmati saja.” Reinald membelai lembut bibir Andhini dan mengusap pipi yang berlinangan air mata.
“A—aku ....” Andhini masih tergagap.
“Apa kau tahan apabila berjauhan denganku?” Andhini menggeleng, “lalu apa yang kau takutkan? Semua orang juga berdosa, tidak ada manusia yang suci di dunia ini. Biarkan kita menikmati dosa kita. Lagi pula tidak ada siapa pun yang di rugikan. Bukankah kita saling mencintai?”
Andhini kembali memeluk Reinald, “ Aku mencintaimu, Mas ... aku mencintaimu, tolong jangan pernah tinggalkan aku.” Andhini seakan tidak mau melepaskan dirinya dari dekapan Reinald.
“Tidak akan sayang, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Percayalah!” Reinald melepaskan pelukan Andhini dan menciumi bibir wanita itu dengan sangat lembut. Sesaat tapi begitu berbekas di hati andhini.
“Dhini, kita dansa yuk?”
“Dansa? Aku tiak bisa.” Andhini menolak.
“Tidak masalah, ikuti mereka saja.” Reinald memaksa.
“Tidak ah mas. Lagi pula aku pakai jeans dan kemeja, mana pantas dansa.” Andhini kembali menolak.
“Tidak masalah, ayolah ....” Andhini menyerah. Wanita itu tetap mengikuti Reinald.
Reinald mulai bergabung bersama beberapa pasangan lain yang sudah lebih dahulu berdansa. Reinald memeluk tubuh Andhini, dan mulai bergoyang-goyang pelan mengikuti irama musik.
“Bagaimana sayang? Asyikkan?” Andhini mengangguk.
Seorang wanita yang tengah asyik menikmati makan malam, seketika menghentikan aktifitasnya. Wanita itu terus menatap sepasang kekasih yang tengah berdansa.
“Ada apa?” tanya pria yang duduk di sebelahnya.
“Itu, aku mengenal pria yang sedang berdansa di depan. Dia adalah suami Mira, wanita tersombong yang pernah aku kenal.” Wanita itu terus memperhatikan Reinald dan Andhini.
“Biarkan saja, bukan urusan kita.” Pria di sebelahnya masih menikmati makanannya.
Wanita itu lalu mengambil ponsel dan merekam aktifitas Reinald dan Andhini.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Ini akan membungkam kesombongan Mira. Aku tidak sabar melihat wanita itu malu, hahaha.” Wanita tersebut kembali meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali menikmati makanannya.
===
===
===
Sebelum lanjut, FOLLOW akun author dulu dong ...
Mampir ke ceritaku yang lain juga ya kak?
Ada MENTARI UNTUK AZZAM, kisa cinta beda keyakinan.
Serial Religi yang juga tidak kalah seru, Bikin Baper, manis AMAN DAN HALAL tentunya, wakakaka
KISS ...