Seminggu kemudian
Marina berlari kecil menelusuri setiap ruangan hingga akhirnya ia bertemu dengan ruangan yang menjadi tempat bernaungnya selama tiga tahun ini. Ia menghempaskan tubuh kecilnya ke kursi. Mulai memakai stocking hitamnya sambil sesekali menyapa karyawan lain yang menyapanya lebih dulu.
Perempuan dengan rambut hitam pendek seleher muncul dengan wajah cerahnya, lalu duduk dengan santai di kursi sebelah Marina. "Pagi Marina," sapa nya ramah.
“Pagi Helen,” balas Marina masih fokus ke stocking yang ia pakai.
Helen menatap wanita yang sudah jadi teman satu mejanya selama tiga tahun. Marina, perempuan itu memiliki mata coklat tua yang tidak kecil tapi juga tidak besar, wajah Marina bulat hingga terkadang pipinya bisa jadi mengemaskan seperti bakpao. Tubuhnya kecil, membuatnya terkadang tidak terlihat tanpa high heels. Penampilannya sebenarnya cukup rapi, meski wajah Marina tidak cantik tapi ia juga tidak buruk rupa, Marina malah termasuk mengemaskan tapi entah kenapa tampak sangat biasa, tidak menarik sama sekali. Helen pikir, Marina memerlukan sesuatu agar tampak terlihat.
Helen duduk lalu mendekat pada Marina.“Mar, apakah kau pernah mencoba berpakaian seksi di sini.”
Satu alis Marina terangkat, ia tahu pasti Helen sedang mencoba menggunakannya sebagai bahan praktek fashionnya. Marina yakin seratus persen. Mata Marina menyipit hingga hanya membentuk satu garis.
“Aku tidak mau jadi bahan malpraktik mu Len.”
Marina masih ingat betul kejadian tiga bulan lalu, hal mengerikan terjadi pada Betty yang mencoba menuruti perkataan Helen tentang memakai warna terang di kulit Betty yang pucat. Sumpah, itu mengerikan. Marina tidak mau jadi sasaran topik hangat di web perusahaan bagian gosip, hanya karena persoalan fashion. Biarlah dia jadi tidak menarik, biarlah dia jadi tak terlihat. Itu sudah cukup untuknya. Yah, seenggaknya dengan menjadi tidak menarik dan tidak terlihat membuatnya jauh dari sasaran para playboy yang mendiami perusahaanya.
Marina menatap Minerva yang sedang menangis memeluk sahabat karibnya, Laura yang berada di sudut ujung meja. Tempat bagian manajemen berada.
Marina mendekat pada Helen, perasaan ingin tahunya meningkat dengan cepat. “Ada apa dengannya?”
“Aku tidak tau.” Helen dengan cepat berdiri dari kursinya, lalu menyapa samping mejanya. Mungkin bukan menyapa, lebih tepatnya bertanya. “Austin, ada apa?”
Austin memutar bola mata kesal pada Helen. “Ada apa bagaimana? Kau tanya soal apa Helen?”
“Minerva.” Helen tampak antusias mengabaikan rasa kesal Austin.
“Biasalah.” Austin menggedikan bahu tanpa menoleh sama sekali pada Helen.
Marina ikut bangkit, dan bertanya pada Austin. “Biasa apanya?”
Kini mata Austin bertaut pada Marina dengan sorot mata lelah. “Siapa lagi kalau bukan kelakuan manager kita tercinta.”
Marina dan Helen saling pandang untuk sesaat, lalu kembali menatap Austin untuk memastikan apa yang mereka pikirkan.
“Pak Gerald maksudmu? aku tidak tau dia berkencan dengan Minerva,” tanya Marina.
Austin tersenyum mendengar pernyataan polos Marina. Ia lalu berkata, “justru jika kamu sampai tau, itu adalah hal yang besar.”
“Pasti itu adalah satu-satunya kekasih yang akan jadi istrinya,” tambah Helen.
“Sepertinya sangat mustahil lelaki itu jatuh cinta.” Austin memberikan pendapatnya.
“Dia terlalu gampang mendapatkan wanita cantik sih. Tapi siapa juga sih yang gak mau sama dia,” jelas Helen.
Marina mengangguk menyetujui perkataan kedua temannya, jelas ia tidak dapat memungkiri pesona manajer mereka. Gerald Bernneth, lelaki tampan, pintar dengan tubuh yang seksi belum lagi mata indahnya yang hijau seindah rimbunnya hutan. Sudah menjadi rahasia umum jika lelaki itu mengencani beberapa wanita sekaligus dalam satu lingkup kerja. Anehnya meski reputasinya sudah terkenal luas, tapi ia tetap saja dapat mengencani beberapa karyawannya sekaligus, terutama model-model perusahaan. Seperti keajaiban? atau mungkin para wanita itu memang membutuhkan Gerald untuk menunjang finansial mereka.
Yah, tidak dapat dipungkiri lagi, keluarga Bernneth adalah salah satu konglomerat dunia. Kekayaanya memang tidak pernah main-main, jadi tidak ada yang salah jika para wanita itu tetap bertahan padanya. Karena jika beruntung, mereka mungkin dapat menjadi salah satu istri konglomerat dunia dengan fitur wajah tampan, seksi dan pintar. Keluarga Bernneth sendiri merupakan konglomerat yang jelas gak hanya punya satu perusahaan. Gurita bisnisnya meliputi properti, restoran, peternakan dan fashion.
Mengesankan. Sangat mengesankan.
"Mr. Bernneth!" Gerald mendongak terkejut, ia menatap sekretarisnya Daphne yang barusan memanggilnya.
"Ya Daff." Gerald mencoba mengulas senyum, dan Daphne tau itu berarti pikiran atasannya tidak di sini sekarang.
"Mr. Bernneth tidak mendengarkan yang saya bicarakan?" Alis Daphne bertaut hingga membentuk pola huruf w.
"Maaf Daff, aku hanya." Gerald menghembuskan nafas panjang. "Aku sedang sangat frustasi. Mengapa aku harus menikah Daff!"
"Itu persyaratan yang diajukan paman anda?" tanya Daphne, dia memang cukup penasaran dengan isi wasiat yang membuat raut wajah Bernneth sekeluarga menegang hingga beberapa hari. Ia tidak pernah melihat saudara-saudara itu melakukannya, sepanjang lima belas tahun dia bekerja.
"Tapi menikah? semua orang tau bahwa aku tidak mungkin berkomitmen!" Nada Gerald terdengar makin frustasi sekarang.
"Kalau begitu anda bisa melepaskan harta anda," ucap Daphne enteng.
Gerald tertawa sinis."Tidak mungkin! jika aku melepaskannya, sama saja aku membunuh keenam saudaraku," bantah Gerald.
"Maksudnya?"
Gerald menelan ludahnya. Ia akhirnya mencoba menjelaskan pada Daphne yang mungkin akan membantu. "Warisan itu tidak akan diberikan sebelum aku memenuhi syarat pertama yang ditentukan oleh Paman kami. Selanjutnya mereka akan memberikan sepuluh persen setiap menyelesaikan satu persyaratan. Tapi persyaratan ku wajib untuk dilakukan" Gerald kemudian mengumpat dan menekan pelipisnya kuat-kuat.
Daphne menggeleng tak percaya. "Itu buruk."
Gerald menunduk tanda setuju. "Ya, dan persyaratan pertama adalah dalam satu bulan, aku sudah harus menikah dengan seorang perempuan."
Daphne terdiam sejenak, ia tampak mencoba mencari solusi yang paling efektif dan realistis untuk waktu tiga minggu. "Kenapa Bapak tidak melakukan kawin kontrak saja."
Gerald menautkan alisnya. Ia diam sesaat lalu berkata, "tidak mungkin."
"Kenapa?"
Gerald memajukan kursinya, meletakkan dua tangan Gerald di dagu runcingnya. Lalu mulai menjelaskan kembali. "Pertama, aku tidak mungkin tidak bercinta dengannya, apalagi jika dia cantik. Kedua, meski aku tidak suka komitmen tapi aku tidak mau mempermainkan pernikahan. Ketiga, aku tidak tega menyakiti perasaannya dengan tidur dengan perempuan lain. Kau tau kan Daff aku pasti akan melakukannya. Aku benar-benar akan merasa bersalah." Ia menambahkan. "Dan aku juga ingin punya keluarga tanpa perceraian."
Daphne menghela nafas panjang, lalu kembali memberi saran. "Kalo begitu carilah perempuan yang membuat anda tidak merasa bersalah."
Gerald mengangkat satu alisnya. "Maksudmu Daff?"
Daphne menarik nafas panjang, ia meletakkan tangan di meja untuk menopang tubuh Daphne. Mendekat pada Gerald dan berkata, "carilah seorang wanita yang memang menurut anda tidak menarik, mempesona dan cantik. Sehingga anda tidak akan merasa bersalah saat anda menyakitinya. Lagi pula dengan begitu saya rasa dia juga akan menerima perangai buruk anda karena kekurangannya dan semua kelebihan yang anda miliki. Jadi dia tidak akan meninggalkan anda, itu akan menjadi pernikahan yang cukup untuk anda. Jika memang anda ingin pernikahan sungguhan, bukan kontrak."
Gerald mengangguk. "Kau benar juga."
"Ya saya memang selalu benar." Daphne melipat dua tangannya karena bangga pada dirinya sendiri.
"Daff?" Gerald kembali mencondongkan tubuhnya pada Daphne. Ia tersenyum jahil.
"Ya Mr.Bernneth."
"Kau mau menikah denganku?" Gerald bertanya polos, seperti tidak memiliki sifat b*****t dan b******n yang sudah mendarah daging di tubuhnya.
Daphne memutar bola matanya kesal, menatap atasannya dengan tatapan menghardik. Mengetahui reaksi Daphne dengan cepat Gerald mengangkat satu tangannya, mengajak berdamai pada perempuan yang sudah mengabdi padanya lebih dari sepuluh tahun.
"Bercanda."
Daphne mengeram. "Sungguh bisa saja aku menghajarmu karena omongan mu itu Mr. Bernneth." Daphne mengridik ngeri, seolah melihat sesuatu yang membuatnya begitu jijik.
Gerald menyipit, lalu menatap sinis Daphne. "Sialan kau Daff, segitu jijiknya kau denganku."
"Memang." Daphne menaikkan dua alisnya, berkata dengan nada yang menekan.
Gerald kini yang mengeram, ia lalu berdiri. "Mau kemana?"
"Rapat."
Daphne cemberut, alisnya kini membentuk garis lurus yang menyambung."Rapat dimulai 45 menit lagi. Untuk apa kamu ke sana."
"Menghindari wajahmu."
Daphne mendongak marah, matanya melotot seolah akan keluar dari tempatnya. "Kau!"
"Bye," ucap Gerald dengan senyum sinis meninggalkan sahabat kecilnya. Daphne sudah hampir 27 tahun bersamanya, tapi sifatnya masih sangat menyebalkan. Tidak heran, jika sampai detik ini pacarnya belum pernah mengajaknya menikah. Sifatnya angkuh, sok tau dan menyebalkan. Jika Daphne bukan teman Gerald mungkin dari dulu ia sudah mendepak perempuan itu dari perusahaan, walaupun Daphne cukup membantu dalam pekerjaan.
Gerald berjalan santai melewati setiap ruangan divisi. Menuju ke lift. Semua memberi hormat saat mengetahui lelaki itu ada di hadapan mereka. Menggeser dengan cepat tubuh mereka untuk mempersilahkan Gerald masuk.
"Pagi Pak." Mereka memberi hormat dengan sedikit menunduk. Gerald membalasnya dengan pose agak canggung, meski dia sudah ada di kantor ini 15 tahun lebih tapi dia masih saja risih dengan penghormatan seperti itu. Terlalu disanjung karena merupakan salah satu pewaris perusahaan membuatnya merasa harus tampil keren dan sempurna. Dia gak suka perasaan itu.