Wasiat

1465 Kata
Gerald menatap Bella yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Dengan langkah pelan dan hati-hati ia melepas genggaman erat Bella pada jemari besarnya lalu melangkah menjauh dan keluar dari kamar Bella. Ia menyusuri lorong-lorong rumahnya, menyapa pelayan yang ada di koridor untuk memerintahkan beberapa pelayan membereskan karangan bunga belansungkawa yang begitu banyak di depan rumah. Lalu memastikan bahwa para pelayan sudah menyiapkan keperluan mandinya. Gerald membuka pintu kamarnya, kamar lelaki itu didominasi oleh warna putih dan abu-abu yang membuat kesan dingin yang menyegarkan. Ia sudah lama tidak menempati kamarnya sendiri, ia menoleh ke kanan, tampak satu sudut menjorok kedalam yang merupakan bar kecil di sana berisi minum-minuman dari berbagai belahan dunia. Selalu menjadi hal menyenangkan saat diam-diam membawa pacar-pacar Gerald ke kamarnya secara sembunyi-sembunyi, memamerkan berbagai jenis minuman ini lalu meminumnya dan membawa mereka ke ranjang untuk bercinta. Bercinta setelah minum memang selalu menyenangkan bagi Gerald, seperti menjadi orang gila dalam semalam, meyampingkan setiap kesopanan menjadi hal yang sangat luar biasa. Setelah usianya menginjak angka 30 ia tidak pernah lagi membawa perempuan di kamar ini, Mommy sudah melarang aktivitas itu dan jika sekarang dia mulai, perasaan bersalah pasti akan menyelubunginya. “Botol-botol cantik, sepertinya kamu harus dipindahkan dengan segera," ujar Gerald menatap nanar botol-botolnya. Gerald melangkah santai menuju kamar mandi, di ruang wastafel di mana pelayan sudah menyiapkan jubah handuk dan beberapa peralatan mandi untuknya. Ia memilih air hangat pada shower untuk menguyur rambut coklat dan kulit pucatnya. Dan memilih sabun dengan aroma pohon eek, sesuatu yang paling dia suka. Aroma maskulinitas yang membuat wanita betah berlama-lama bersamanya. Ia mengosok setiap jengkal tubuhnya dengan teliti hingga membutuhkan waktu tiga puluh menit hingga ia keluar dari kamar mandi. Matanya sudah terpaku pada jas yang sudah disiapkan pelayan untuknya. Ia memakai pakaian itu dengan teliti dan cermat, memoles rambutnya lalu membalur tubuhnya dengan parfum dari sari pohon eek asli. Sebelum keluar Gelard membuka laci di samping kamarnya menatap kotak kondom yang tertata rapi di sana. Ia diam sejenak, adalah hal yang tidak terpuji jika Gerald masih berpikir untuk bercinta di hari berkabung seperti ini. “Tidak ada salahnya membawa satu untuk jaga-jaga.”Ia mengambil satu lalu berjalan pergi menuju meja makan keluarga. Tampak adik-adiknya sudah berada di sana dengan setelan kemeja kerja mereka. Dan beberapa pelayan yang menyiapkan sarapan mereka. “Pagi," sapa Gerald pada semua orang di ruangan. “Pagi Gerald,” jawab mereka serempak. “Pagi Tuan.” Diikuti jawaban sapaan dari semua pelayan. Salah satu pelayan memandang Gerald mendekat pada Gerald setelah lelaki itu duduk di kursinya.“Tuan, pagi ini ada beberapa perempuan yang ingin menemui Tuan.” “Beberapa?” tanya Gerald ragu-ragu. Si pelayan tampak ragu-ragu untuk menjelaskan. Tapi akhirnya dengan nada gugup ia mulai menjelaskan detailnya. “Awalnya hanya satu Tuan, tapi. Tapi kemudian ada satu lagi perempuan datang dengan menanyakan hal sama. Kemudian yang dua orang datang dan tiga orang.” Gerald menghentikan pelayan dengan isyarat tangannya. “Sebentar, jadi ada enam wanita sekarang di luar?” “Ya.” “Tamat riwayatmu Gerald,” celetuk William dengan nada mengejek, senyum puas pada penderitaan yang sebentar lagi akan dialami kakaknya. “Sialan kau Will.” Gerald menatap hidangan bacon dan telur yang sudah tersedia dihadapanya. “Sial aku lapar.” “Hentikan mereka Gerald, sebelum mereka saling membunuh,” saran Heaven yang asik dengan makanannya. “Kau sedang mengencani berapa wanita sih sekarang. Awas saja sampai salah satunya.” Lucy terdiam, ia mengancam sambil melirik ke Anthony. Anthony memandang langit-langit berpura-pura tidak mengerti atas sindiran yang dibuat adiknya. “Tenanglah, hanya model di perusahaan fashionku.” Gerald mencoba menenangkan Lucy. “Kau memang gila,” gerutu Lucy. Lucy memang tidak habis pikir dengan perangai kakaknya yang satu ini. Bahkan Lucy sampai ke gereja untuk berdoa agar dapat menyembuhkan kegilaan kakaknya yang suka bercinta dengan banyak perempuan itu. “Kau itu sudah 35 tahun Gerald! menikahlah!” bentak Lucy frustasi menggebrak meja hingga semua saudara lelaki menatapnya. Tatapan Lucy kemudian juga mengarah ke empat kakak laki-lakinya. “Kalian juga! jangan hanya tidur dengan p*****r saja!” Semua kakak-kakaknya saling tatap menatap seolah mencoba menyalahkan satu sama lain. Hingga tatapan semua orang kembali lagi pada Gerald. “Kau yang harus menikah duluan Gerald,” ujar William yang ingin segera lepas dari tuduhan Lucy. “Kau benar-benar harus menikah,” tambah Anthony. “Usiamu sudah 35 tahun." Richard mulai menambahkan juga, dia tak punya alasan apapun untuk membela Gerald jika berkaitan dengan pernikahan. “Hiduplah dengan satu wanita saja Gerald,” usul Heaven. Gerald mengerang, menatap sinis adik-adiknya yang kembali melimpahkan soal pernikahan padanya, meski sebenarnya memang mereka tidak ada yang salah sama sekali. Gerald bangkit dari kursinya. “Mau kemana?” Lucy bertanya masih mencoba mengintimidasi kakaknya. “Aku lebih baik mengurusi enam wanita yang murka ketimbang mendengarkan omongan menyebalkan kalian.” Yah, awalnya Gerald beranggapan seperti itu. Tapi melihat enam wanita dengan tatapan membunuh ternyata juga sama mengerikannya. Gerald menelan ludahnya, tenggorokannya seperti kering seketika. “Hey Ladies.” Gerald tersenyum kaku, sangat kaku hingga ia merasa rahangnya mengeras. Enam wanita itu dengan cepat berlari ke arah Gerald tapi segera terhalang oleh bodyguard keluarga Bernneth, Justin. Lelaki itu selalu cakap dalam mengurursi kemarahan gadis-gadisnya, karena itu Gerald membawa Justin sekarang. “Gerald Barnneth! b******k kau!” teriak salah satu wanita berambut coklat. Gerald tahu siapa dia, Michella. Dua hari lalu mereka berkencan dan Gerald menghabiskan lebih dari 10.000 USD hanya untuk membelikannya sebuah tas kecil yang ukurannya hanya 4X2 inci. Sebenarnya uang itu tidak seberapa, tapi yang membuatnya jengkel ukuran tasnya. Itu bahkan hanya bisa menyimpan uang penny, dan dia tidak akan membutuhkannya. Gerald menahan semua amarah itu hanya demi bercinta dengan Michella yang ternyata sama sekali tidak terasa nikmat akibat amarah. “Gerald!” Gerald menoleh ke sumber suara, dia Rany perempuan india yang seksi dan menggoda. Mereka jarang bertemu karena kesibukan Gerald, tapi Rany favoritnya di ranjang. Dan dia baru membelikan Rany berlian seminggu lalu. “Tenanglah Ladies.” Gerald mengintrupsi sambil melangkah mundur. “Kau!” Minerva menghardik, perempuan rambut pirang dengan mata coklat yang indah. Dua minggu lalu, ia membelikan gadis itu tas guzzi senilai sebuah apartemen. Gerald melangkah satu langkah ke belakang lagi. Memastikan salah satu dari enam wanita itu tidak membawa pisau lalu menusuknya. “Keluargamu memang sampah!" Itu Jinny. Perempuan paling emosional yang pernah Gerald kencani. Dan itu perkataan tersebut sudah keterlaluan. Gerald mungkin akan membiarkan mereka menghinanya tapi tidak nama keluarganya. Gerald mengigit bibirnya hingga membentuk satu garis lurus lalu tersenyum licik. “Maaf biar ku jelaskan!" Gerald maju ke depan dengan berani. "Lihatlah barang branded yang kalian pakai semuanya hey, itu semua uangku. Apakah aku pernah meminta satu sen uang dari kalian? Tidak pernah! aku juga tidak pernah bilang bahwa kalian satu-satunya. Sial! Jangan pernah berada di hadapanku lagi!” Gerald mengatakan dengan angkuh. Sejenak keheningan menyapa ruangan, semua wanita menganga mendengar hinaan kekasih mereka. Lalu setelah mereka terkejut, bencanapun dimulai. “Gerald? Kau tidak apa-apa? Aku rasa kau butuh operasi.” Lucy menatap dengan perasaan yang luar biasa khawatir, bahkan beberapa kali ia menyentuh pelipisnya sendiri untuk merasakan sakit yang diderita kakaknya. “Ini tidak seberapa dari pada latihan yang kualami dulu.” Gerald menyipit menatap tiga saudara lelakinya yang duduk di pojok sofa sambil menahan tawa. Gerald beruntung ini masih hari duka orang tuanya. Jika tidak, dia yakin Anthony, William dan Richard akan tertawa hingga tawa mereka memenuhi ruang keluarga sampai 30 menit kedepan, atau mungkin lebih. Bahkan untuk sekarang suara tercekat akibat menahan tawa begitu terdengar jelas dari mereka bertiga. “Apa yang kau lakukan pada mereka sih?” tanya paman Gerald, Ben Bernneth. Sesekali Paman Ben mengeleng-geleng karena terlalu syok dengan luka lebam yang diterima Gerlad. “Hanya salah paham biasa Paman.” Gerald berusaha menjawab sesingkat yang dia bisa. Dia tidak mau menambahi deretan omelan yang akan terjadi jika mengatakan secara rinci. “Aku harap kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat Gerald.” “Ya.” Pengacara Kim menatap semua orang dengan pandangan tajam.“Oke aku akan membaca isi wasiat dari ibumu. Sebulan lalu beliau sempat menemui saya sebenarnya. Aku tidak tau ini pertanda atau apa, tapi beliau mengubah cukup banyak tentang pembagian harta keluarga. Dan membuat surat wasiat untu kalian. Kalian boleh melihat surat wasiatnya untuk memastikan bahwa itu benar tulisan ibu kalian.” Pengacara Kim mulai memamerkan surat wasiat dari Kyle Bernneth yang tidak hanya berisi tanda tangan Kyle tapi juga cap sidik jarinya. “Kalian sudah sepakat bukan? Bahwa ini benar-benar dari ibu kalian.” Mereka semua mengangguk dengan antusias. “Baiklah kalo begitu, sejujurnya aku juga punya bukti rekaman dari ibu kalian. Tapi ibu kalian menyuruhku untuk tidak memutarnya jika tidak diperlukan. Jadi untuk menghemat waktu. Aku akan mulai membacakan isi surat wasiat tersebut untuk kalian. Aku harap kalian bisa menerimanya dengan baik, melaksanakannya tanpa memberatkan kalian sedikitpun.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN