Melihat Paula yang duduk di depan meja makan, Mirna langsung meletakkan sepiring nasi goreng buatannya lengkap dengan telur dan daging ayam serta dua potong timun di atas meja makan. Dia biarkan Paula menikmatinya.
"Gitu dong. Harus cepat tanggap. s**u dong di dalam kulkas sekalian," suruh Paula.
Mirna dengan cepat melakukannya. Dia ambilkan satu kotak s**u dan menuangkannya di dalam gelas kosong di sisi piring nasi Paula.
"Good good good," ucap Paula dengan senyum sinisnya.
Mirna lalu mengambil satu piring nasi goreng untuk dirinya.
"Eh! Ke mana lu?" tanya Paula saat melihat Mirna melangkah menuju kamar dengan membawa piringnya yang berisi nasi gorengnya.
"Makan di kamar?" tanyanya lagi.
"Iya. Aku makan di kamar aja. Liat kamu bikin selera makan aku hilang!" balas Mirna sengit. Dia sama sekali tidak melihat wajah Paula. Dia buka pintu kamar dan menutupnya rapat-rapat.
Tampak Paula tersenyum sinis melihat pintu kamar Mirna yang sudah tertutup.
"Hm … enak," gumamnya sambil mengunyah.
Mirna sebenarnya tidak berniat menyiapkan sarapan untuk Paula pagi ini. Tapi karena Paula sudah duduk manis di meja makan di saat Mirna tengah memasak, Mirna pun mau tidak mau memasak nasi goreng lebih banyak. Mirna tidak mau kejadian sebelumnya terulang lagi di mana secara tiba-tiba Paula merampas makanannya, sedangkan dia sendiri kelaparan. Mirna tidak mau paginya bermasalah dan akan merusak suasana hati saat kuliah.
Mirna pikir selama dirinya berbuat baik, dia tidak akan mengalami kesulitan dalam hidup. Dia juga tidak akan berharap Paula akan berubah baik atau bersikap manis kepadanya. Mirna tidak mau terjebak dalam pikiran-pikiran buruk yang pasti menghambat langkahnya dalam menggapai keinginannya.
"Halo, Ma? Sehat dong, Ma. Ini siap-siap berangkat kuliah,"
Mirna mendapat panggilan dari Mamanya pagi itu. Dia tampak bersiap-siap.
"Uang masih cukup, Nak?"
"Masih, Ma. Paling nanti minggu depan aku perlu tambahan uang. Kan aku ngekos tuh, jadi pasti banyak yang aku perlukan,"
"Oh. Baiklah kalo begitu,"
"Uang tanda jadi udah aku bayar, tinggal sisa aja untuk bulan ini,"
"Nggak suka tinggal di rumah Om Anwar?"
"Haha. Suka sih, Ma. Di sini lengkap semua. Cuma nggak enak aja,"
"Anaknya gimana? Baik nggak?"
"Baik kok. Satu kelas dengan aku di kampus,"
"Pasti pinter dan cantik kayak anak Mama,"
"Iya. Cantik, tinggi, dan pinter,"
Mirna berusaha menutupi kenyataan yang dia hadapi di awal-awal tinggal di rumah Anwar. Dia tidak ingin mamanya mengkhawatirkannya.
Dan ternyata omongan Mirna mengenai Paula terbukti pada kuliah hari ini. Paula sedikit lebih aktif di kelas. Dia dengan tanggap menjawab pertanyaan dari dosen pengajar. Paula juga tidak mengganggu Mirna pada jam makan siang, karena sibuk dengan teman-temannya. Mirna harap Paula tidak lagi mengganggunya.
***
Pagi-pagi berikutnya, Mirna tetap menyiapkan sarapan buat dirinya dan Paula. Dia tidak perlu menyiapkan sarapan untuk Anwar karena pria itu selalu pergi kerja sangat awal. Anwar terkadang membawa bekal dari rumah berupa roti dan berbagai jenis selai, serta kopi panas yang dimasukkan ke dalam sebuah vacuum flask. Beberapa hari ini Mirna sering melihat kotak-kotak makanan bekas pakai dan botol stainless steel tahan panas di atas meja dapur. Mirna selalu mencucinya sebelum memulai menyiapkan sarapan pagi.
"Hm. Enak nih," gumam Paula saat melihat sarapan pagi yang sudah Mirna siapkan untuk dirinya, semangkuk bubur ayam lengkap dengan telur asin dan ati ayam. Segelas s**u almond juga tersedia di sisi mangkuk.
Paula duduk dengan perasaan senang. Dia lirik sebentar pintu kamar Mirna yang tertutup.
"Hm. Enak banget," decaknya sambil manggut-manggut.
Tak lama kemudian, pintu kamar Mirna terbuka.
Tampak Mirna sudah rapi dan cantik. Dia siap-siap pergi ke kampus. Dengan tanpa melihat ke arah dapur sedikitpun, Mirna berjalan cepat menuju pintu depan.
Paula yang masih menikmati bubur ayamnya tersenyum sinis melihat punggung Mirna.
"Paan sih. Sok cantik banget," gerutu Paula. Dia tidak senang dengan sikap tak acuh Mirna.
Namun beberapa saat kemudian, wajah Paula berubah menjadi sangat sedih.
"Mama,” lirihnya.
Dia tampak menahan tangis.
"Rindu Mama,"
***
Mirna semakin hari semakin semangat menunjukkan kecerdasannya di kelas. Dia tidak segan berbagi informasi mengenai perkembangan ekonomi global kepada teman-teman saat diskusi.
"Aku senang bisa satu kelompok dengan kamu, Mirna. Nggak seperti mahasiswa pinter lainnya yang pelit bagi-bagi tips dalam menganalisa sebuah artikel panjang. Kamu malah kayak motivator dalam menjelaskan. Aku jadi semangat belajar," ujar Rio, teman satu kelas Mirna. Mirna dan Rio berjalan beriringan menuju kantin kampus saat makan siang.
"Ya. Berbagi ilmu itu menyenangkan, Rio. Justru dengan berbagi, pengetahuan kita jadi malah bertambah. Kayak tadi tuh pas aku menjelaskan sesuatu, eh si Faith yang nyimak ikutan ngasih masukan. Aku jadi seneng nambah informasi. Coba kalo kita diem aja … yah, ilmu juga diam di tempat," balas Mirna dengan senyum lebarnya.
Rio tertawa kecil membenarkan pendapat Mirna.
"Eh. Kamu suka makan di sini?" tanya Rio ketika mereka sampai di kantin Bu Ike.
"Iya. Paling murah soalnya. Enak lagi. Trus bersih," jawab Mirna.
Rio mengikuti Mirna.
"Kok?" delik Mirna heran.
"Kenapa emangnya. Aku boleh duduk dekat kamu kan?" Rio balik bertanya.
"Boleh sih. Maksudku … kamu emang mau makan di sini?" tanya Mirna terheran-heran. Dari segi penampilan, Rio terlihat dari keluarga berada. Semua yang melekat di tubuhnya berharga mahal. Terlebih, kantin Bu Ike tidak seramai kantin lainnya yang menjual makanan siap saji dengan harga selangit. Mirna pikir selera Rio sama dengan mahasiswa asing pada umumnya, atau mahasiswa kaya raya seperti Paula yang makan makanan mahal.
Rio tergelak. Dia duduk di bangku yang ada di dekatnya seraya membuka ranselnya.
"Aku bawa bekal. Nggak pernah jajan. Masakan mamaku lebih enak," ujar Rio.
Mata Mirna membulat besar.
"Aku nanti juga bawa bekal pas sudah settle nanti di kamar kos baru,"
Rio membuka kotak makanannya yang berisi nasi dan ayam bakar kecap. "Emang sekarang kamu tinggal di mana?" tanyanya.
"Aku tinggal di rumah Paula,"
"Paula?"
"Iya."
"Kok bisa?"
"Papanya Paula itu sahabat papaku pas kuliah di Sydney. Jadi papaku nitip aku dulu di rumah Papa Paula. Tapi aku akan segera pindah kok dari sana,"
Rio mencebikkan bibirnya setelah mendengar pengakuan Mirna yang ternyata tinggal di rumah Paula.
"Kenapa, Rio? Kamu kenal dekat sama Paula?"
"Nggak dekat. Cuma dulu itu aku dan dia satu sekolah. Sombong dan sok orangnya. Tapi loyal sama teman kalo dia suka,"
Mirna manggut-manggut. Dia ingat Paula yang selalu ditemani lima temannya saat berada di kantin. Mereka berenam selalu duduk di bangku kantin yang sama. Paula tidak segan mengusir siapapun yang duduk di area khusus di sana.
"Boleh nyoba, Rio?" tanya Mirna. Matanya berbinar cerah melihat menu makan siang Rio.
"Boleh. Ambil aja," ucap Rio dengan senyum manisnya.
***
Sudah beberapa malam ini Mirna selalu makan malam di luar. Dia pun tidak lupa memberitahu kesibukannya selama di kampus kepada Anwar. Mirna bertekad menyelesaikan seluruh tugas kuliah sebelum jadwal deadline. Lagipula seluruh dosen sudah menjelaskan tugas kuliah di awal semester, dan Mirna tidak mau menyia-nyiakan waktu luangnya. Dia habiskan waktunya dari pagi hingga awal malam.
Namun hari ini Mirna pulang ke rumah lebih awal. Sore pukul lima dia sudah berada di kamarnya. Mirna langsung membersihkan diri dan siap-siap belajar lagi.
"Aaah," desah Mirna sambil menggeliat. Dia hentikan kegiatan mengetiknya. Sudah hampir dua jam dia duduk di hadapan laptop.
Mirna tersenyum melihat dua plastik bekas roti yang baru dia habiskan. Mirna merasa tidak perlu makan malam karena perut yang terasa kenyang.
Tiba-tiba ...
"Mirna,”
Mirna terkesiap. Suara Anwar memanggilnya dari luar kamar.
Mirna beranjak dari duduknya menuju pintu kamar dan membukanya.
"Iya, Om?"
Anwar tersenyum mengamati tubuh Mirna yang sudah berpakaian tidur.
"Udah mau tidur?" tanyanya.
"Iya, Om,"
"Masih jam 7,"
Mirna mengangkat bahunya.
"Makan malam yuk. Om barusan selesai masak steak daging. Paula lagi goreng kentang,"
Mirna menggeleng.
"Nggak, Om. Mirna kenyang," tolaknya.
"Ayolah. Emang makan apa? Kamu kan pulang sore,"
"Hm. Roti, Om. Dua bungkus, sama s**u coklat,"
Anwar menghela napas panjang. Dia amati isi dalam kamar Mirna. Matanya tertuju ke buku-buku yang berserakan di atas tempat tidur.
"Sibuk?" tanyanya.
Mirna mengangguk. Dia tampak ingin segera menutup pintu kamarnya.
"Paula … bikin ulah?" tanya Anwar pelan.
"Nggak, Om. Mirna kenyang,"
"Om sisain mau?"
"Nggak usah, Om. Habiskan saja,"
Anwar tampak kecewa tawarannya ditolak Mirna.
Apa boleh buat, Mirna benar-benar kenyang.
"Well. Ok. Nanti kalo kamu lapar malam-malam ... ada yang Om sisihkan di dalam freezer. Tinggal kamu hangatkan sebentar dan panggang," ujar Anwar dengan tatapan hangatnya.
Mirna mengangguk.
Anwar lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju ruang makan.
Tampaknya kentang goreng sudah siap disantap. Terdengar Anwar bersorak senang saat Paula meletakkan satu piring besar berisi kentang goreng.
Mirna ikut senang dengan keakraban keduanya. Dia tidak mau mengganggu.
Mirna tutup pintu kamarnya pelan-pelan, berharap besok menjadi awal yang sempurna. Hidup dan tinggal di kamar yang baru.
***
Pukul enam pagi Mirna sudah rapi dan cantik. Dia sudah siap pergi dari rumah Anwar menuju kamar kos yang akan dia sewa untuk beberapa tahun ke depan selama kuliah. Segala perlengkapannya sudah terbungkus rapi di dalam dua tas berukuran sedang.
Sebelum ke luar dari kamar, Mirna tatap sekali lagi keadaan kamar memastikannya tetap rapi seperti saat pertama kali dia inapi.
"Om Anwar,” panggil Mirna sambil mengetuk pintu kamar Anwar yang berada di samping kamarnya. Mirna ingin pamit pergi.
Mirna menghela napas panjang. Pintu kamar Anwar belum juga dibuka. Sepertinya Anwar masih tidur nyenyak.
Mirna ketuk pintu kamar Anwar sekali lagi. Kali ini agak keras.
"Hm … masih tidur … ck. Udahlah," gumam Mirna.
Mirna akhirnya mengirim pesan ke nomor kontak Anwar.
Baru saja terkirim, pintu kamar Anwar terbuka.
Mirna terkesiap menganga. Anwar masih bertelanjang d**a dan hanya memakai celana pendek tak bercelana dalam. Tampak miliknya masih menegang di balik celana pendek putihnya. Wajah Anwar awut-awutan.
"Oh. Sh*t!" umpat Anwar saat menyadari Mirna yang sekilas menatap bagian bawah tubuhnya.