Anwar kembali lagi masuk ke kamarnya.
"Tunggu, Mirna!" serunya dari dalam kamar. Dia tampak meraih baju piyama dan memakainya dengan cepat.
Anwar lalu buru-buru menuju pintu kamarnya.
"Ya?" tanyanya sambil mengancing atasan piyamanya.
"Mau pamit, Om," ujar Mirna takut-takut. Kepalanya tertunduk. Tidak menyangka barusan dia melihat tubuh seksi Anwar 'seutuhnya'.
"Kampus? Kan Sabtu ini," decak Anwar yang masih tampak meringis menahan kantuk. Dia tidur terlalu larut semalam.
"Hm … bukan ke kampus, Om. Mirna mau pamit pindah ke kamar kos," ucap Mirna.
Anwar terkesiap. Dia tidak mengantuk lagi.
"Ha? Pindah?"
Anwar menggosok-gosok rambut ikalnya.
"Iya, Om,"
"Ck. Kamu … kenapa pindah?"
Mirna memandang Anwar heran.
"Ya kan udah satu minggu. Mirna kan sudah bilang ke Om kalo Mirna nanti pindah. Hari ini kamar kosnya sudah kosong,"
Anwar mendongakkan kepalanya.
"Papa kamu senang kamu di sini, Mirna,"
"Mirna kepingin mandiri, Om,"
"Kamu kan sudah mandiri selama ini. Om bebaskan kamu asal tetap kasih pesan kalo telat pulang dari kampus. Apa kurangnya rumah Om? Dekat dari kampus, bisa bareng Paula. Apa kamu kurang uang jajan?"
Mirna menggeleng.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Mirna lihat notif sekilas.
"Maaf, Om. Ojolnya udah ada di depan,"
"Mirna,” desah Anwar seakan ingin menahan Mirna pergi.
Mirna ulurkan tangan kanannya hendak menyalami tangan Anwar.
Anwar pasrah punggung tangan kanannya dicium Mirna.
"Terima kasih banyak, Om. Mirna nggak akan lupa semua kebaikan Om Anwar. Mirna ingin lebih mandiri," ucap Mirna seraya menatap wajah bingung Anwar.
Lalu cepat-cepat dia melangkah menuju pintu depan yang sebelumnya sudah dia buka.
"Mirna. Tunggu!" seru Anwar lagi. Dia susul Mirna yang sudah berada di teras depan rumahnya.
Mirna menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Anwar.
"Om antar. Barang kamu besar-besar nih. Ya?" bujuknya.
Mirna menggeleng tersenyum.
"Nggak usah, Om. Kosannya masuk lorong,"
"Ya, nggak masalah. Om antar sampai depan lorong, baru nanti kamu pesan ojek,"
Mirna tetap saja menolak tawaran Anwar.
"Susah kamu bawa barang segini banyak.
"Nggak banyak, Om. Ini masih bisa. Abangnya nggak masalah,"
Mirna melangkah dengan cepat menuju pagar rumah.
Anwar terlihat bingung. Dia berseru lagi ke Mirna.
"Tunggu, Mirna. Sebentar,"
Sambil berdecak Mirna serahkan dua tas besarnya ke abang ojol. Satu tas diletakkan abang ojol di hadapannya. Mirna mendekap satu tas lainnya.
"Bentar ya, Bang. Nanti aku tambah ongkosnya," ujar Mirna ke abang ojol.
Mirna lalu kembali melangkah menuju teras depan rumah, menunggu Anwar muncul dari rumah.
"Mirna. Ini dari Om, buat jajan,” ucap Anwar sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas.
Mirna terkesiap. Dia menyangka Anwar akan membangunkan Paula.
"Nggak usah, Om," tolaknya.
"Ambillah. Kamu jangan lupa kirim alamat kos kamu yang baru ke Om. Ya?" mohon Anwar sambil menyodorkan uang ke tangan Mirna.
Mirna menggeleng lagi. Dia lalu berbalik menuju pagar.
Anwar mengejarnya lagi sambil memanggil namanya.
"Ambillah. Kamu kalo ada apa-apa hubungi Om," ujar Anwar dengan wajah memohon.
Mirna tatap wajah Anwar dengan seksama sambil mendorong tangan Anwar yang masih memegang lembaran uang ke d**a Anwar.
"Nggak usah, Om. Mirna nggak mau. Om sudah baik sama Mirna," ujar Mirna dengan senyum manis. Lalu dia berjalan cepat menuju ojol pesanannya.
Anwar terkesima melihat Mirna yang sudah duduk dia belakang motor sambil mendekap tas besarnya.
Tak lama kemudian terdengar bunyi deru mesin motor menjauh dari rumah Anwar.
Anwar masih mengamatinya.
Anwar tampak berharap Mirna menoleh ke belakang. Tapi sepertinya Mirna benar-benar ingin pergi dari rumahnya. Setelah motor yang ditumpangi Mirna hilang dari pandangannya, Anwar kembali melangkah memasuki rumahnya.
Entah kenapa Anwar merasa sangat sedih saat menatap dapur rumahnya. Dia masih ingat setiap pagi botol minuman dan peralatan makannya yang dia bawa ke kantor selalu dibersihkan Mirna. Dapur selalu bersih sejak kehadiran Mirna. Gadis itu sangat rajin dan cekatan selama tinggal di rumahnya.
Anwar menghela napas panjang saat menatap pintu kamar Mirna. Kamar itu kosong lagi tanpa penghuni. Kamar itu sebelumnya adalah ruang kerja Bestari yang merupakan perancang busana. Sejak Rusdi menghubunginya, Anwar sulap ruang kerja itu menjadi sebuah kamar untuk anak perempuan. Peralatan Bestari dia pindahkan ke ruang workshop yang berada di lantai basemen, tempat Anwar menghabiskan waktu senggangnya untuk melukis.
Anwar padahal sangat berharap Mirna tetap tinggal di rumahnya. Paula sering bercerita bahwa Mirna kerap memasak sarapan pagi untuknya. Paula sering mengirim gambar sarapan paginya ke Anwar yang sudah berada di kantornya. Anwar pikir Paula dan Mirna bisa menjadi sahabat, seperti dirinya dulu yang bersahabat dengan Rusdi, Papa Mirna. Ternyata, ah, Anwar menggeleng tak mengerti.
"Dia memaksa pergi, Di. Aku kira dia ikuti saran kamu untuk menetap di rumahku saja," ujar Anwar saat sudah berada di dalam kamarnya. Dia langsung menghubungi Papa Mirna melaporkan perihal kepindahan Mirna.
"Sudah aku sarankan juga. Dia yang memang tidak menginginkan tinggal di rumah kamu, War. Mamanya juga sudah nanya-nanya. Katanya ingin mandiri. Aduh, jadi merepotkan kamu saja, War,"
Anwar terkekeh.
"Nggak, Di. Justru aku keberatan Mirna pindah. Tapi aku sudah bilang ke dia agar tetap menghubungi aku jika membutuhkan sesuatu. Dia bilang ok. Ck, tantangan punya anak perempuan yang sudah besar. Nggak Mirna, nggak Paula. Sama saja sepertinya,"
Terdengar tawa kecil Rusdi. Anwar sepertinya sudah menganggap Mirna sebagai anaknya.
"Hubungi aku kalo kamu ke mari jenguk Mirna. Rumahku selalu terbuka lebar untuk seorang sahabat lama seperti kamu," ujar Anwar.
"Haha. Tentu saja, War. Makasih banget, War. Sudah ... hm … jaga anakku,"
"Don't mention it,"
"Mirna ada ngucapin terima kasih?"
"Iya. Dia persis kamu, Di. Baik luar biasa,”
Anwar kembali mengingat Mirna yang menolak keras tawarannya untuk diantar dan sejumlah uang darinya. Anwar yakin Mirna dididik sangat baik dalam keluarganya.
***
Paula yang bangun kesiangan, membuka pintu kamarnya perlahan. Dia amati dapur yang tampak sepi-sepi saja. Tidak ada makanan yang tersedia di atas meja makan.
Paula melangkah malas menuju dapur. Dia ambil bungkusan roti dan gelas selai nanas dan membawanya ke meja makan. Dia lalu menyiapkan sarapan paginya sendiri.
Paula melirik sebentar ke arah pintu kamar Mirna yang tertutup rapat. Matanya kemudian tertuju ke jam dinding di dapur. Jam menunjukkan pukul sembilan.
Paula mencebikkan bibirnya. "Hm … mentang-mentang nggak kuliah, bangun siang juga dia," pikirnya.
Paula nikmati roti berisi selai nanas sebagai sarapan paginya Sabtu itu.
Bersambung