Mirna cepat-cepat pergi dari rumah Anwar pagi itu setelah sarapan dan merapikan diri. Dia tidak mau berpapasan dengan Paula saat meninggalkan rumah. Mirna sebal dengan sikap Paula yang keterlaluan. Padahal dia tidak melakukan apapun yang menyinggung Paula dan malah berusaha bersikap sebaik-baiknya.
Ternyata ketidakberuntungan Mirna di hari itu berlanjut. Dia ditakdirkan satu kelas dengan Paula. Mirna terkejut saat Paula dan teman-temannya muncul di kelas dan duduk di bangku paling depan. Paula dengan pongahnya mengusir mahasiswa yang duduk di bangku yang dipilihnya. Tampak mahasiswa itu berjalan bersungut-sungut dengan wajah sebal pindah ke bangku belakang. Duduk di dekat Mirna.
Kuliah hari itu diawali dengan perkenalan. Masing-masing memperkenalkan diri dengan menyebut nama, asal sekolah dan alasan memilih kelas internasional.
Kini giliran Mirna yang berdiri memperkenalkan diri.
"I am Mirna Elenoir Rusdi. I went to a public senior high school in Semarang (Aku Mirna Elenoir Rusdi, sebelumnya aku bersekolah di SMA Negeri di Semarang)," mulai Mirna.
Paula terkejut. Dia menoleh ke belakang.
Mirna melanjutkan kata-katanya.
"I got a scholarship offered in this program and I am really interested in accounting. Thanks (Aku mendapat beasiswa yang ditawarkan di program ini dan aku sangat tertarik mempelajari akuntansi),"
"Is it full scholarship (Kamu mendapat beasiswa penuh)?"
"Yes, Magda,"
Dosen yang bernama Magda mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencatat sesuatu di ipad yang ada di pangkuannya.
"Must be very clever (Kamu pasti pintar sekali),” gumam Magda dengan senyum hangat.
Tampak para mahasiswa menoleh ke arah Mirna yang kembali duduk perlahan. Mereka melempar senyum kagum ke arah Mirna. Meraih beasiswa di sebuah perguruan tinggi termahal sangatlah tidak mudah. Penuh perjuangan dan sangat menguras otak. Belum lagi mereka yang mendapat beasiswa harus tetap mempertahankan nilai terbaik agar beasiswa tidak dicabut. Mereka adalah orang-orang terpilih yang nantinya memiliki jaminan masa depan di mana saja.
Mereka tidak saja kagum dengan sosok Mirna sebagai peraih beasiswa penuh, tapi juga kagum dengan penampakan Mirna. Mirna memiliki wajah cantik dan tidak membosankan jika dipandang, matanya bulat dan indah, memikat. Tak ada perhiasan yang menempel di tangannya, meskipun hanya sebuah jam tangan. Mirna dan penampilan sederhananya.
Mirna tersenyum tipis mendengar suara Paula yang sedang mendapatkan giliran memperkenalkan diri. Suaranya terdengar sangat tegas dan bersahaja.
Awal kuliah yang cukup berkesan bagi Mirna, meski paginya dia mendapat ketidakberuntungan. Mirna sangat antusias dengan apa yang disampaikan Magda. Hampir seluruh pertanyaan yang dilempar Magda di kelas, dapat Mirna jawab dengan baik. Magda pun terkesan dengan Mirna. Di akhir kelas dia sempat berseloroh "Awal nama M memang terlahir pintar dan cakap, Me Magda, dan M lain Mirna". Mirna jadi tersanjung dengan pujian Magda. Tapi dia tidak besar kepala.
***
Saatnya makan siang di kantin. Mirna seperti sebelumnya memesan makanan yang murah saja. Dia mendatangai kantin Bu Ike.
"Bu. Aku boleh beli lauknya aja? Jadi nggak yang pake nasi. Aku udah bawa nasi dari rumah," ujar Mirna sopan.
"Oh. Boleh, Dik. Mau soto lagi?"
"Nggak, Bu. Sop ayam. Hm … perkedelnya satu,"
Bu Ike tersenyum melihat Mirna.
"Bawa botol nggak?" tanyanya.
Mirna mengangguk.
"Kalo mau lebih murah ada lo. Tapi harus ke luar dari kampus. Kamu pake mobil atau motor?" ujar Bu Ike yang sedang mempersiapkan makanan yang Mirna pesan.
"Oh. Ojol, Bu. Masih baru di sini,"
"Oalah. Jadi mahal dan capek lo. Kalo kamu punya kendaraan tinggal pergi cus di kantin murah di luar. Tapi yaaa … kebersihannya nggak terjamin," tutur Bu Ike kemudian.
Sop ayam dan perkedel sudah ada di tangan Mirna.
"Ini kok dua, Bu?" tanya Mirna yang melihat ada dua perkedel di dalam bungkusan makanannya. Padahal dia memesan satu perkedel.
"Satunya gratis,” jawab Bu Ike.
Mirna tersenyum lebar. Dengan semangat dia melangkah menuju meja makan setelah tidak lupa membayar makanan dan mengucapkan terima kasih ke Bu Ike.
Dengan semangat pula Mirna menghabiskan makan siangnya.
"I am Mirna Elenoir Rusdi. I went to a public senior high school in Semarang."
Mirna terperangah mendengar suara yang sangat dikenalnya, yang meniru kata-katanya saat perkenalan tadi di kelas. Suara yang dibuat-buat dan mengejek.
Paula duduk di hadapan Mirna dengan wajah bengis.
"Sial gue satu kelas sama lu!" ketus Paula.
Untung makanan sudah habis disantap Mirna. Hanya ada satu perkedel yang belum termakan. Kalau tidak, sudah hilang selera makan Mirna melihat wajah bengis mengesalkan.
"Mau kamu apa?" ketus Mirna sebal.
"Mau gue? Sudah jelas gue nggak suka lu. Lu mikir! Gue bakalan bertahun-tahun liat muka lu setiap hari dan setiap waktu. Belum lagi di rumah," balas Paula.
Mirna mendengus kesal.
"Tenang aja, Paula. Aku nggak akan lama di rumah kamu. Aku pindah nanti. Kalo kelas ya gimana? Mau aku pindah juga? Kamu kan punya Papa banyak duit, kamu aja yang pindah," balas Mirna cuek.
Paula berdecak sebal.
"Bangga gitu dipuji-puji Magda dan dilirik cowok-cowok. Senyum-senyum malu lagi. Nipu muka lu! Sok imut lu!" bentak Paula.
"Idih. Nggak jelas banget kamu, Paula. Ngomong ke mana-mana. Iri ya sama aku?"
"Iri? Ngapain iri sama orang kampung kayak lu?"
"Trus kenapa kamu ngikutin aku ke sini?"
Paula terdiam dengan wajah cemberut. Dia lirik kantin Bu Ike yang sepi pembeli.
"Heh. Makan murah lu ya. Kalo nggak kuat bayar makan, jangan kuliah di sini,"
"Terserah aku mau makan apa. Bukan urusan kamu!"
"Segala urusan lu, jadi urusan gue, t***l! Lu tinggal di rumah gue!"
Mirna diam menggeram. Percuma membalas kata-kata Paula yang semakin menyakitkan.
Paula tersenyum penuh kemenangan melihat Mirna cemberut dan mata berkaca-kaca.
Dia ambil sisa perkedel Mirna dan mengunyahnya.
"Enak juga makan murah … nyam nyam nyam,” decaknya dan pergi.
Barulah Mirna menangis tersedu-sedu sambil menutup wajahnya dengan tas.
***
Mirna menghabiskan waktu hingga menjelang malam di kampus. Ternyata suasana menjelang malam cukup ramai di kota Tangerang. Berbagai macam makanan murah berjejer dijual di pinggir jalan. Mirna pun memutuskan makan bakso Malang yang tampak ramai dengan pelanggan.
Perut Mirna pun kenyang dan suasana hati perlahan tenang. Mirna lagi-lagi tidak memikirkan sikap dan kata-kata Paula tadi siang. Mirna bertekad tetap akan mengatur perasaan dan pikirannya sewaras mungkin. Dia harus fokus belajar dan menyelesaikan kuliah dengan baik agar pekerjaan yang dia idam-idamkan tercapai di waktu mendatang. Ah, lagipula beberapa hari lagi dia akan ke luar dari rumah Anwar. Mirna yakin beban pikirannya pasti akan berkurang. Perihal sikap Paula yang masih ketus di kampus, Mirna merasa masih bisa menanganinya, dia bisa saja mengadukannya ke pihak kampus jika merasa tidak nyaman. Mereka tentu lebih adil dan bijak mengambil sikap.
Pukul tujuh lebih, Mirna baru tiba di rumah.
Mirna terpaksa memencet bel rumah karena pintu rumah sudah terkunci di awal malam.
"Darimana, Kamu?" tanya Anwar dengan wajah masam.
Mirna kaget. Tidak menyangka sikap tidak ramah Anwar. Kok marah? Paula sebelumnya pulang larut malam dan Anwar sama sekali tidak memarahinya. Kenapa Anwar memarahinya?
"Kampus, Om. Trus singgah makan bakso," jawab Mirna sekenanya.
Anwar memundurkan tubuhnya agar Mirna memasuki rumahnya. Wajahnya masih menunjukkan ketidaksenangan.
Mirna awalnya ragu masuk. Namun karena letih luar biasa, dia cepat-cepat memasuki rumah dan melangkah menuju kamarnya.
"Lain kali kasih pesan ke Om kalo telat pulang atau ke mana. Jangan bikin Om was-was. Tangerang ini rawan kriminal. Kamu kan baru di sini," ujar Anwar sebelum Mirna membuka pintu kamarnya. Suaranya tidak seketus sebelumnya.
Mirna mengangguk tipis.
"Punya nomor kontak Om kan?" tanya Anwar lagi. Dia iba melihat Mirna yang terlihat sangat lelah.
Mirna mengangguk lagi. "Punya," jawabnya pelan.
Bersambung