6. Rasa Kelam

2054 Kata
"Biar waktu yang menyembuhkan setiap luka. Biar air mata yang membasuh jiwa. Aku tetap di sini menunggumu hingga reda semua rasa, hingga sembuh semua luka." ----- "Naomi ... tolong a-ku ... " "Tolong temukan pria ini untukku." Suara wanita itu terdengar parau. Napasnya naik turun bahkan terlihat begitu payah. Naomi mendekatkan telinganya. Mencoba meraba apa yang diucapkan wanita disebelahnya. "Pria siapa? Lalu untuk apa aku mencarinya, Kak?" tanyanya bingung. Ia benar-benar tidak paham apa maksud dari ucapan Nathalie. Setitik air mata jatuh di pelupuk mata Nathalie. Susah payah ia mencoba untuk menjawab pertanyaan adiknya. Tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan. Sekujur tubuhnya bahkan sudah terasa kaku. "Karena hanya kau yang mampu menemukannya." Kali ini Naomi menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Tidak! Kau harus sehat dan mencari pria itu sendiri," sahutnya tegas. Ia terang-terangan menolak apa yang di minta oleh Nathalie. "Aku sudah tidak punya waktu lagi ... " Nathalie berucap lirih. Suaranya semakin melemah. "Kartu nama pria itu ada di dalam tasku. Ku mohon, carilah dia untukku." Naomi meraih pergelangan tangan Nathalie, menggenggamnya begitu erat seakan takut untuk ditinggalkan. "Kenapa harus aku yang mencarinya, Kak? Apa dia yang menyebabkan ini semua? Apakah pria ini yang menyakitimu?" Naomi terus mengejar ketika kondisi Nathalie semakin lama semakin melemah. "Tolong ... berjanjilah untuk menemukannya. Pria ini adalah orang yang ... " Belum lagi sempat Nathalie menyelesaikan kalimatnya, napas wanita itu tercekat. Lantas tak berapa lama hilang kesadaran hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Dalam kondisi terguncang, Naomi meraih tas tangan milik Nathalie. Mencari dengan seksama kartu nama yang di maksud oleh kakak kandungnya. Lantas akhirnya menemukan sebuah kartu nama dan sapu tangan milik seorang pria yang membuatnya marah besar hingga sekarang. **** Naomi terbangun dengan keadaan kepala yang begitu berat. Setelah kesadarannya terkumpul dengan sempurna, buru-buru ia menegakkan tubuh, meraih gelas air putih yang tersedia di atas nakas lalu meneguknya hingga tandas. Entah, sudah tidak terhitung lagi mimpi buruk menghampiri di setiap tidurnya. Kematian Nathalie beberapa tahun silam nyatanya meninggalkan teka-teki besar yang harus dipecahkan. Ia sangat yakin, wanita yang menjadi kakak kandungnya tersebut meninggal atas sebab yang tidak wajar. Naomi ingat benar pernyataan dokter waktu itu. "Ada banyak luka memar di sekujur tubuhnya. Menurut hasil visum, kakak anda mengalami kekerasan fisik yang cukup berat. Kalau diperhatikan dengan seksama, sudut bibir bagian bawah bahkan robek. Mungkin saja ia terkena tamparan yang begitu keras. Di perkuat dengan adanya jejak tangan di pinggiran pipinya. Naomi bisa merasakan bagaimana sakitnya Nathalie diperlakukan layaknya binatang. Bahkan, fakta lain yang dibeberkan tim dokter mampu membuat jantungnya terlepas dari rongga d**a. "Yang perlu anda ketahui, nona Nathalie tidak meregang nyawa sendirian. Ada calon bayi di dalam perutnya yang turut menjadi korban." Naomi bahkan hampir gila demi memastikan pernyataan yang satu ini. "Maksud dokter?" "Iya, kakak kandung anda dalam kondisi tengah mengandung. Bahkan usia kandungannya sudah menginjak usia empat bulan." Demi mendengar fakta itu, Naomi hanya bisa terduduk lemas. Merutuk takdir kenapa begitu jahat kepada Nathalie. Wanita yang selama ini menyayanginya, melindungi bahkan begitu menjaganya. Kenapa harus Nathalie? Wanita yang selama ini selalu bersikap baik kepada siapa pun. Naomi sendiri bersusah payah meminta tim dokter merahasiakan semua fakta ini dari Dylan. Mengarang cerita bahwa Nathalie meninggal atas sebab kecelakaan. Ia tidak ingin ayahnya yang saat itu tengah menjalani perawatan pasca operasi jantung tahu kondisi yang sebenarnya. "Aku bersumpah akan membunuh b******n itu, Kak!" gumam Naomi. Ia mencengkram erat bingkai foto yang menggambarkan dirinya dan Nathalie tengah berpelukan. "Tapi ... sebelum dia mati, aku harus membuatnya menderita dulu. Aku mau pria itu merasakan sakit seperti yang kau rasakan. Aku ingin pria itu tahu rasanya mencintai lalu tiba-tiba sakit karena kehilangan." Dendam begitu menguasai Naomi. Tekadnya sudah bulat. Segala rencana bahkan sudah ia susun rapi demi melihat pria yang sudah menyakiti kakaknya menderita. Ya, Naomi ingin memastikan sendiri, dirinya lah yang menghancurkan pria itu sampai berbentuk abu. Selesai membersihkan diri dan meminum obat, Naomi memutuskan untuk turun ke lantai dasar. Sudah ada ayahnya yang tengah duduk menikmati sarapan sendirian. Bermaksud untuk bergabung, ia lantas menghampiri Dylan. "Morning, Dad," sapa Naomi sembari mencium pipi ayahnya. "Morning, Darling. Bagaimana tidurmu?" tanya Dylan seraya menyuap America sandwich di tangannya. "I didn't sleep well, last night." Dylan menghentikan kegiatan makannya lantas mengernyit heran. Tapi tak berapa lama raut wajahnya kembali normal. "Mimpi buruk? Atau karena kau mabuk lagi?" Naomi hanya mengedikkan kedua bahunya. Tidak menjawab secara pasti apa penyebab ia tidak tidur dengan nyenyak. "Papa sudah katakan, kurangi kebiasanmu minum-minuman keras. Beruntung semalam ada pria baik yang mengantarmu. Kalau saja orang jahat menyakitimu, atau mungkin melakukan tindak kriminal yang berbahaya, Papa bisa gila karena kehilanganmu." "Pria baik?" tanya Naomi. Sekarang giliran dirinya yang memperlihatkan raut wajah heran. Dylan mengangguk. "Iya, security dan maid mengatakan kalau kau diantar seorang pria semalam." Naomi terdiam sesaat, mencoba menebak siapa kira-kira pria yang mengantarkannya pulang. Ia benar-benar lupa dengan kejadian semalam. Terlalu larut dalam sakit karena mengingat Nathalie, membuatnya memutuskan untuk menghabiskan waktu di American Bar. Yang ia ingat semalam minum begitu banyak vodka setelah itu ia lupa apa yang terjadi padanya. Naomi menarik napasnya dalam kemudian berkata-kata. "Biarkan saja. Aku tidak perduli dengan siapa yang mengantarkanku. Yang terpenting sekarang, aku baik-baik saja. Bahkan bisa menemani Papa sarpaan pagi ini." Dylan melempar senyum kemudian meraih tangan Naomi. "Sure. Itu yang terpenting. Ngomong-ngomong, kalau keadaanmu hari ini belum begitu sehat, sebaiknya kau beristirahat saja. Biar pekerjaanmu di handle sekretaris." Naomi mengangguk, menyetujui perintah Dylan. Setelah memastikan kondisi anaknya yang stabil, pria itu memutuskan bersiap untuk berangkat kerja. **** Sudah lebih dari tiga puluh menit Kenzie dan Richard duduk di hadapan Edward. Mereka bahkan terlihat seperti nyamuk yang tidak dianggap keberadaannya. Beberapa jam yang lalu mereka bertiga memang membuat janji untuk makan siang bersama di sebuah restoran langganann. Tapi saat sampai, yang Kenzie dan Richard dapati adalah Edward yang bersikap aneh. Pria itu sedari tadi hanya duduk diam sembari memerhatikan sesuatu. Kenzie bahkan meyakini bahwa apa yang sedang dilihat sahabatnya tersebut adalah sebuah foto seseorang yang tersimpan di ponselnya. Gerah karena sudah terlalu lama diabaikan, membuat Richard mau tidak mau menegur rivalnya tersebut. "Ed, ku rasa kau perlu ke dokter," ucap Richard membuka percakapan. Edward melarikan tatapannya dari ponsel berpindah ke Kenzie dan Richard secara bergantian. "Kenapa harus ke dokter? Memangnya siapa yang sakit?" tanyanya penuh heran. Richard berdecak keras. "Kau yang perlu penanganan dokter. Sudah setengah jam lebih aku memerhatikan kau tersenyum tanpa sebab seperti orang gila." Hina Richard. Ia memang jago untuk urusan mencibir. Edward mendelik tidak terima. "Kurang ajar! Aku begini karena terlampau senang, Rich. Entah kenapa, semakin hari aku semakin yakin kalau wanita yang aku tiduri tempo hari memang Tuhan kirimkan untukku." Richard memajukan tubuhnya, mengulurkan tangan kanannya demi memegang kening Edward. Memastikan suhut tubuh pria tersebut. "Sepertinya kau memang benar-benar sakit, Ed." Kenzie yang awalnya diam akhirnya ikut terkekeh menanggapi kelakuan Richard kepada Edward. Ia bahkan paham apa yang membuat sahabatnya begitu senang. Sedang jatuh cinta kah ia saat ini? Seorang Edward Cullen, pria yang sebelumnya tidak mempercayai sebuah komitmen tiba-tiba jatuh cinta. Sungguh sesuatu hal yang seharusnya dirayakan. Mssih dalam keadaan tidak percaya, Kenzie memajukan kursi yang ia duduki lalu melayangkan pertanyaan. "Apa yang membuatmu begitu yakin wanita itu cocok untukmu?" Edward melempar senyum. "Berapa kali wanita berusah payah menghindar tapi berkali-kali juga Tuhan mempertemukan kami. Apa itu bukan jodoh namanya?" Ia terlihat bangga di setiap untaian kalimatnya. "Semalam, kami bahkan tanpa sengaja kembali bertemu." Di posisi duduknya, Richard tersenyum sinis. "Itu bukan jodoh, Ed. Hanya kebetulan saja," Ia memang senang mengacaukan kebahagiaan pria di hadapannya. "Sialan!" Tepat ketika ia selesai mengumpat, Edward refleks mengerutkan dahinya. Melihat pada tatapan Kenzie yang sulit untuk ia artikan. "Kenapa?" tanya Edward kemudian. Kenzie menarik napasnya sekilas. "Aku harap kali ini instingmu soal jodoh benar adanya. Aku hanya tidak ingin kau salah dalam mengambil keputusan. Kalau kau lupa, kau bahkan tidak mengenal wanita ini sebelumnya." Pernyataan Kenzie membuat Edward terkesiap. Ekspresi jenaka yang selalu melekat pada dirinya seketika menghilang. Ucapan Kenzie memang ada benarnya. Naomi adalah sosok yang sebelumnya tidak ia kenal sedikit pun. "Aku sudah meminta Hans untuk menyelidikinya. Tidak ada yang aneh dengan Naomi. Kalau kalian mau tau, dia adalah anak bungsu dari Dylan Arley." "Pemilik jaringan hotel Arley?" tanya Richard. Edward mengangguk yakin. "Benar, dia anak konglomerat Arley," sahut Edward. "Kalau memang begitu informasi yang kau dapatkan, harusnya bibit bebet bobot wanita itu cukup jelas dan masuk kriteria sebagai pendamping keturunan bangsawan Cullen." Kali ini Kenzie yang menanggapi. "Iya, itu sebabnya aku ---" "Percuma, Ken," potong Richard dengan sengaja. "Bukan bibit bebet bobot yang seharusnya kau tanyakan. Tapi lebih ke masalah, apakah wanita itu mau menjadi istri seorang Edward Cullen?" Wajah Edward mengelam. "b******n! Kau berkata seolah-olah aku ini tidak pantas menjadi pendamping wanita mana pun, Rich." Richard dan Kenzie kompak menertawakan Edward. Pria itu tak berapa lama bangkit dari duduknya. Tapi sebelum pergi ia kembali berkata. "Akan ku buktikan pada kalian, kalau wanita itu memang benar jodohku. Kalau pun dia terus menolak, aku bersumpah akan membuatnya tergila-gila denganku. Bagaimana pun caranya akan ku lakukan." **** Setelah menghabiskan waktu makan siang bersama Kenzie dan Richard, Edward bergegas memacu mobilnya untuk pergi ke sebuah coffeshop yang ada di pinggiran kota London. Bukan tanpa alasan ia pergi ke tempat ini. Mengingat saat makan siang tadi, Hans mengiriminya informasi melalui pesan singkat kalau Naomi tengah menghabiskan waktu sendirian di sebuah coffeshop. Karena tak ingin kehilangan momen, Edward memutuskan untuk langsung menyusul. Benar yang dikatakan Hans, saat memasuki coffeshop, ekor mata Edward menangkap keberadaan Naomi yang tengah duduk sendiri tak jauh dari meja kasier. Cepat-cepat Edward membawa dirinya menghampiri. "Sepertinya kau memang senang menyendiri." Mata Naomi berkedip sekali. Wajahnya terlihat seperti biasa. Datar tanpa ekspresi. "Apalagi yang kau mau kali ini?" tanya wanita itu. Edward diam sejenak. Lantas lanjut berkata. "Aku hanya ingin mengembalikan tasmu yang tertinggal di mobilku." Ia lantas menyerahkan tas tangan milik Naomi yang memang tertinggal semalam. Beruntung benda itu bisa dijadikannya alasan untuk bertemu. "Oke..." Naomi meraih tas yang disodorkan Edward. "Thank you." singkat padat dan jelas. Hanya itu yang di ucapkan oleh Naomi. Mengembuskan napas panjang, Edward menyandarkan punggungnya pada kursi. "Kau memang wanita yang irit bicara? Atau bagaimana?" tanyanya penasaran. Tidak...tidak, Edward bahkan sangat penasaran kali ini. Apakah sikap ini hanya Naomi tujukan padanya. Atau memang dasarnya Naomi adalah wanita yang dingin. "Terserah kau mau berspekulasi seperti apa. Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu." Lagi-lagi Naomi menyahut sekedarnya. "Ya ampun Naomi. Sebenarnya aku punya salah apa denganmu? Aku bahkan mau bertanggung jawab atas perbuatan kita beberapa waktu lalu. Aku juga bersusah payah mencoba untuk meyakinkanmu. Sebenarnya, kenapa kau selalu menghindariku?" cecar Edward. Ada nada frustrasi terselip di kalimatnya. Wanita itu memilih menyesap greentea di tangannya baru menjawab. "Karena kau bukan kriteriaku, Mr. Edward Cullen. Jadi berhentilah mengikutiku." Naomi lantas bangkit dari tempat duduknya. Memilih untuk pergi meninggalkan Edward. Ketika ia sudah sampai di ambang pintu keluar, Edward turut bangkit lalu memanggil. "Naomi..." Wanita itu menoleh. Menautkan kedua belah alisnya penuh tanya. Tapi, alih-alih menyahut, Naomi hanya diam saja membiarkan Edward menyelesaikan kalimatnya. "Kau bisa terus menghindariku, tapi aku yakin Tuhan akan mempertemukan kita lagi setelah ini." Naomi hanya tersenyum masam menanggapi ucapan Edward. Memilih untuk memutar tubuhnya kemudian pergi tanpa beban. . . ===== note ===== Kalau ada yang suka ngomel-ngomel di kolom komentar dengan pertanyaan seperti ini : 1. Kak, kenapa sih updatenya lama? 2. Kak, kenapa sih repot banget harus kasih komentar. Jawab : 1. Dear, cerita ini belum 500 love, jadi aku blm dapat jadwal untuk update setiap hari. Bukan aku yg males update apalagi nulis. Makanya, kalau kalian emang suka ama cerita satu ini, jangan lupa di love/masukin pustaka. Biar love ku cepetan full. Jadi aku bisa segera lanjutin ceritanya. 2. Kenapa aku suka minta di komentarin? Ya buat apresiasi aja sih kalau kalian nyimak cerita ini. Laginya, komen gratis ini kan? Thankiss atas pengertiannya. Yang udh kasih love bahkan selalu support, terutama pembaca yang ngikutin semua ceritaku dengan sabar, LAFYAAA BANYAK BANYAK . Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silahkan follow/add. . . ====Note=== . Halo, Cerita ini eksklusif tayang/terbit di aplikasi Dreame/innovel dan hanya bisa di baca di sana. Jadi, jika kalian menemukan cerita ini dijual bebas dalam bentuk PDF oleh orang yang tidak bertanggung jawab, mohon bantuannya untuk melapor/memberitahu aku, yah. Karena tindakan tersebut bisa di proses secara hukum dan di tuntut untuk mengganti rugi. . Salam, Fhee
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN