7. Seluk Beluk Naomi

2130 Kata
"Karena rezeki telah tertakar. Dan jodoh tidak akan tertukar. Ia tidak memilih kepada siapa yang cepat tapi kepada siapa yang tepat." ----- Edward sedang duduk di kursi kerjanya sembari membaca dengan teliti laporan yang baru saja diserahkan oleh Hans. Kening pria itu berkerut dalam, mencoba untuk memahami satu persatu informasi yang tercetak di tiap lembaran yang ia baca. "Naomi Hazel, pernah tinggal bertahun-tahun di panti asuhan Saint Luca?" Edward menatap Hans seakan tidak percaya. Ada tanda tanya besar kini muncul di benaknya. Untuk apa seorang Naomi Hazel yang notabene anak konglomerat Dylan Arley, harus menghabiskan waktu bertahun-tahun di panti asuhan. Di seberang pria itu, ada Hans yang mengangguk penuh yakin. "Seperti yang kau baca. Tapi, aku akan jelaskan secara rinci supaya kau bisa lebih paham." Hans menegakkan posisi duduknya. Bersiap untuk memberikan penjelasan kepada Edward. "Jadi, beberapa tahun silam, Dylan Arley dan Patricia Hazel dipaksa bercerai karena alasan yang klise. Keluarga besar Dylan tidak mau menerima Patricia karena wanita itu berasal dari strata sosial kelas bawah." "Maksudmu? Di paksa cerai padahal mereka sudah memiliki anak? Apa ini tidak berlebihan?" Hans mengedikkan kedua bahunya. "Menurut informasi yang ku dapat, Dylan dan Patricia sengaja menikah secara diam-diam. Lalu tak berapa lama, wanita itu melahirkan anak perempuan bernama Nathalie. Awalnya mereka hidup bahagia lebih-lebih saat Patricia hamil anak kedua dan melahirkan seorang putri bernama Naomi. Dari sini, masalah mulai berdatangan. Victoria yang merupakan ibunda dari Dylan pada akhirnya tahu kalau anak lelaki satu-satunya menikahi wanita yang berasal dari strata sosial berbeda." "Ah, kenapa orang zaman dulu terlalu kaku. Menganggap diri mereka hebat karena berasal dari keturunan A, B dan C." Edward kembali melayangkan protes. Tiba-tiba ia merasa beruntung karena terlahir dari keluarga yang tidak begitu memusingkan masalah strata sosial. Walaupun sadar diri ia terlahir dari keluarga bangsawan, Alexander sendiri memberinya kebebasan memilih pasangan hidup. Asalkan wanita itu berasal dari keluarga yang baik-baik. Sekarang saja ia sedang bernasib sial hingga ayahnya memutuskan untuk turun tangan mencarikan calon istri. Mendengar protes dari mulut Edward, di posisi duduknya Hans mendengkus sebal. "Oh, ayolah, Ed. Biarkan aku menceritakan semuanya terlebih dahulu. Kenapa kau begitu suka memotong pembicaraan?" Edward terkikik geli melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh Hans. Memang tabiatnya memotong pembicaraan orang lain. "Baiklah, aku minta maaf. Silahkan lanjutkan ceritamu." Hans menghela napas sekali kemudian melanjutkan ceritanya lagi. "Victoria kemudian memaksa putranya untuk bercerai. Bahkan yang lebih mengejutkan, Patricia diculik lalu dibuang jauh dari kota London. Sedang kedua anaknya sendiri sengaja dipisahkan lalu dititipkan di Saint Luca tanpa sepengetahuan Dylan." "Astaga..." Mata Edward membola sempurna. "Kenapa orang tua Dylan begitu jahat. Apa wanita tua itu tidak berpikir kalau yang ia pisahkan adalah cucu kandungnya sendiri?" Hans berdecak pelan. "Yang lebih ironis, setelah Patricia diculik, Dylan di paksa untuk menikahi Caroline, wanita pilihan ibunya. Malang, Caroline tidak bisa memiliki keturunan. Setelah itu, aku yakin kau bisa menebak bagaimana jalan cerita selanjutnya." Edward tersenyum tipis. "Si nenek tua itu pasti 'memungut' kembali cucu-cucu yang sudah ia buang. Benar, begitu?" Hans kali ini tertawa sembari bertepuk tangan. Tebakan yang ia berikan pada Edward, di jawab benar oleh pria itu. "Exactly! Victoria membawa kembali cucunya. Mengumumkan kepada dunia kalau Nathalie dan Naomi adalah bagian dari keluarga besar Arley. Tapi, kau juga harus tau sesuatu ...." sebelum Hans melanjutkan ucapannya, terlihat jelas di mata Edward, pria itu memajukan posisi duduknya. "Nyonya Arley mengatakan pada dunia kalau Nathalie dan Naomi adalah anak yang dilahirkan dari rahim Caroline." Edward tahu benar siapa keluarga Arley. Frederic dan Victoria Arley adalah sepasang suami istri yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga kaya raya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, kalau keluarga Arley selalu menikahkan anak keturunan mereka dengan pasangan yang sepadan atau dari kalangan konglomerat lainnya. Ini semua dilakukan untuk menjaga kelangsungan bisnis serta harta yang selama ini mereka punya. Menikahi wanita atau pria dari strata rendah sama saja menorehkan aib bagi keluarga besar. "Oh My God!" Edward berdecak keras. "Wanita tua ini benar-benar licik, Hans. Lalu bagaimana tanggapan Nathalie dan Naomi? Maksudku, apa mereka tahu kalau dalang semua kekacauan ini adalah nenek mereka sendiri? Ya, walaupun sebenarnya wanita itu tidak pantas dipanggil nenek," selidik Edward. Pria itu terlihat semakin antusias mendengar semua berita yang Hans ceritakan padanya. "Entahlah, aku belum menyelidiki sampai sana. Yang aku tahu, nyonya besar Arley sudah meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu. Di susul Caroline tiga tahun berikutnya dan Nathalie setelahnya." Kali ini Edward benar-benar terkesiap mendengar berita yang Hans lontarkan. "Sebentar ...." pria itu menginterupsi. "Kau bilang, Nathalie sudah meninggal?" Hans tidak langsung menjawab. Memilih untuk meraih terlebih dahulu secangkir kopi yang memang dihidangkan untuknya. Meneguk hingga tandas, lalu menganggukkan kepala. "Iya, seperti yang kau dengar. Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu Nathalie meninggal. Menurut berita karena kecelakaan mobil." Raut wajah Edward mengelam. "Kasian sekali Naomi." Ia berpikir sejenak, mungkin saja rentetan masalah ini yang menyebabkan Naomi berbeda dari wanita-wanita pada umumnya. Terlihat sekali wanita itu tipe seseorang yang begitu tertutup. "Tapi ngomong-ngomong, soal ibu kandungnya, apa ada yang tahu bagaimana nasibnya sekarang?" Dengan penuh sesal, Hans menggelengkan kepalanya. "Sayang sekali tidak ada yang tahu kabar keberadaan Patricia hingga detik ini. Apakah wanita itu masih hidup atau mungkin sudah meninggal." "Kau sama sekali tidak memiliki fotonya? Asal kau tahu, aku jadi semakin penasaran dengan latar belakang keluarga Naomi." Hans mendesah pelan. "Untuk saat ini aku tidak punya. Tapi, kalau kau memang butuh, aku bisa menyelidiki lebih dalam soal Patricia. Aku janji akan mencarikan informasi selengkap mungkin untukmu." Sudut bibir Edward tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Mungkin bisa dikatakan senyum penuh kepuasan. Memang tidak salah ia memilih Hans untuk menyelidiki kasus ini. Pria berbadan besar itu tidak pernah tanggung-tanggung dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. "Aku percayakan semuanya padamu, Hans." **** Mengingat nanti malam ada pertemuan penting, Naomi memutuskan untuk pulang kerja lebih awal. Ketika ia menjejakkan kakinya di rumah, seorang maid bergegas menghampiri. Meraih tas kerja yang sebelumnya ia bawa untuk disimpan ke ruang kerja milik Naomi. "Apa Papa sudah pulang?" tanya Naomi sembari melepas stiletto hitam yang ia kenakan sebelumnya. "Tuan besar ada di ruang kerjanya. Sudah pulang dari tadi siang." Naomi mengangguk sekilas. Beranjak berdiri lalu membawa dirinya untuk menyusuli Dylan yang sedang berada di ruang kerjanya. Mengetuk pintu sekali, Naomi langsung melangkah masuk. Mendapati Dylan tengah duduk santai sembari memandangi foto yang tersusun rapi di atas meja kerjanya. "Papa sedang apa di sini?" Naomi menarik kursi persis di hadapan Dylan lalu mendudukan tubuhnya di sana. "Papa sedang menikmati teh chamomile yang baru saja diantarkan maid." Naomi tersenyum tipis. "Ayolah, Pa. Jangan berbohong. Papa pasti sedang memikirkan mereka, kan?" tunjuk Naomi pada jejeran foto yang ada di samping tangan kirinya. "Aku bahkan bisa menebak kalau Papa baru saja selesai menangis." Dylan tidak mengatakan apa-apa untuk membantah atau membenarkan ucapan Naomi. Entah kenapa, sore ini ia tiba-tiba terbawa suasana. Bahkan sampai meneteskan air mata setelah memandang lama deretan foto Nathalie dan Naomi saat masih kecil. Serta foto Patricia saat menikah dengannya. "Papa merindukan mereka," lirih Dylan. "Terlalu banyak dosa yang sudah Papa lakukan pada Mamamu dan Nathalie." Naomi menarik napasnya cukup dalam. Mengulurkan tangan kanannya demi meraih pergelangan tangan Dylan lalu menggenggamnya erat. "Pa, tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Semua ini terjadi bukan karena salah Papa. Dulu, ketika aku marah dengan keadaan, Nathalie selalu memperingatkan bahwa ini semua terjadi bukan karena salah Papa dan Mama. Nathalie bahkan memohon kepadaku untuk tidak membenci Grandma. Betapa baik hatinya putri Papa yang satu itu." Naomi berucap dengan mata berkaca-kaca. Menyebut nama Nathalie sama saja membuka kembali luka lama yang sampai detik ini belum mengering di hatinya. "Sekali lagi maafkan Papa," ucap Dylan penuh sesal. "Maafkan juga Grandma karena telah berbuat ini semua kepada kalian. Jujur, Papa masih berharap Mama mu hidup dan bisa ---" "Pa...." buru-buru Naomi memotong kalimat Dylan. "Kita cukup berdoa, kalau pun Mama memang masih hidup, semoga Tuhan menuntunnya kembali kepada kita." Naomi semakin mengeratkan genggaman tangannya. Mencoba untuk menghibur Dylan agar tidak semakin terpuruk. Walau sebenarnya ia tahu, detektif yang selama ini di sewa Dylan untuk menyelidiki keberadaan Patricia belum kunjung menemukan keberadaan wanita itu. Naomi bahkan sudah pasrah menerima kenyataan kalau Ibunya telah tiada. Ia ingat benar apa yang dikatakan detektif itu beberapa waktu silam. "Kami sudah mencoba untuk mencari ke seluruh Inggris Raya. Bahkan melebarkan pencarian hingga perbatasan Irlandia dan Skotlandia. Tapi ibu anda seperti hilang di telan bumi." Naomi mendesah frustrasi. "Maksud anda, tidak ada harapan kalau ibuku masih hidup?" Detektif itu menggelengkan kepalanya sekilas. "Maaf, tapi ternyata kasus ini lebih sulit dari apa yang kamu duga sebelumnya. Tidak ada satu pun petunjuk yang bisa membantu kami untuk menemukan ibu anda." "Ku mohon, tolong coba sekali lagi selidiki. Aku akan bayar sebanyak yang kalian minta. Tidak masalah kalau memang ibuku sudah meninggal, paling tidak, kami tahu di mana letak makamnya berada." Naomi memejamkan mata rapat-rapat ketika mengingat kembali percakapan antara dirinya dan para detektif waktu itu. Bahkan sebelum neneknya meninggal, wanita tua itu tidak sedikit pun memberi tahu ke mana ia membuang Patricia selama ini. Naomi pernah sekali bertanya, namun Victoria tetap bungkam. Memilih membawa rahasia itu abadi hingga ke liang kubur. "Naomi..." Dylan tiba-tiba berucap. "Terima kasih kau selalu bisa membuat Papa tenang." Ucapan itu cukup membuat Naomi merasa lega. Lebih-lebih ketika manik matanya menyusuri manik hazel milik Dylan dan meyakini keadaan hati pria itu mulai membaik. "Katanya malam ini Papa ingin mengajakku pergi ke pesta jamuan makan malam." Naomi mencoba membuka percakapan lain. Dylan teringat sesuatu, kemudian berkata-kata. "Ah, iya. Papa hampir saja melupakannya." Dylan melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "Masih ada waktu satu jam untuk kita bersiap-siap." Naomi mengurai genggaman tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya. "Kalau begitu, aku siap-siap dulu." Menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit, Naomi keluar dari kamarnya dengan menggunakan dress off shoulder berwarna hitam dipadu dengan cluth gliter warna senada. Rambut cokelat auburn miliknya dibiarkan tergerai hingga menutupi pundaknya yang polos. Naomi benar-benar terlihat anggun malam ini. Ia berdandan semaksimal mungkin agar Dylan tidak malu memperkenalkannya dengan seluruh rekan bisnis malam ini. "Kau sudah siap?" Dylan mengulurkan tangan kanannya ke arah Naomi. Bersiap untuk masuk ke mobil. Naomi mengangguk yakin. "Sudah, Pa." Mereka berdua kemudian berangkat menuju Hotel Hilton Park Lane yang ada di distrik kelas atas Mayfair. Hanya butuh waktu dua puluh menit hingga akhirnya mereka sampai di tempat acara. Hiruk pikuk, hingar bingar pesta ekslusif terlihat jelas di mata Naomi. Para konglomerat berkumpul menjadi satu. Saling bertegur sapa. Kadang tak jarang saling memamerkan kekayaan mereka masing-masing. Sudah hal yang sangat lumrah terjadi. Itu sebabnya, Naomi tidak begitu suka menghadiri acara seperti ini kecuali benar-benar dalam keadaan terpaksa seperti sekarang. Ia tidak ingin melihat Dylan bersedih dengan menolak permintaan pria itu. Sementara Dylan sendiri, semenjak masuk ke dalam Ballroom acara tidak hentinya melempar senyum ke seluruh tamu undangan. Sesekali berbincang kepada siapa saja yang kebetulan menyapanya. Pria itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan acara hingga manik matanya menemukan objek yang sedari tadi ia cari. Cepat-cepat Dylan menarik pergelangan tangan Naomi. Meminta putrinya tersebut mengikuti langkahnya. Lalu berhenti dikerumunan para pria yang tengah asyik berbincang. "Selama malam Dylan. Astaga, aku menunggu kedatanganmu dari tadi." Seorang pria tua bertubuh gempal mengulurkan tangannya mengajak Dylan untuk bersalaman. "Darren Alistair, Maafkan aku sedikit terlambat. Kau tahu sendiri, jalanan sangat macet di weekend seperti ini." Dylan menyambut uluran tangan pria di depannya. "Aku pun menunggumu, jangan lupa kau sudah janji ingin mengenalkan putrimu padaku," ucap pria tua lainnya. Dylan mengalihkan pandangannya lalu tertawa. Menanggapi ucapan pria yang berdiri sempurna di sebelah Darren. "Kau harus berkenalan dulu dengan putriku, Lex." Dylan menuntun Naomi untuk berdiri sejajar dengannya. "Namanya Naomi Hazel Arley, dia putri bungsuku." Naomi mengulurkan tangannya dengan sopan ke arah pria yang sedari tadi berbicara dengan Dylan. "Senang bertemu denganmu, Tuan." Pria tua itu tersenyum sembari menyambut uluran tangan Naomi. "Kau bisa memanggilku Mr.Alex. Ternyata kau lebih cantik dari apa yang sering Dylan ceritakan padaku." Derai tawa terdengar dari bibir Dylan. "Mana putramu? Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengannya." "Tunggu sebentar," ucap Alex. Kemudian pria itu melambaikan tangannya ke arah salah seorang tamu lain yang sedang berjalan ke arah mereka. Ketika pria yang di maksud sampai, Alex langsung memperkenalkan kepada Naomi dan Dylan. "Ini putraku. Pewaris tunggal AlphaBeta, namanya Sebastian Eduardo Cullen." Edward mengulurkan tangannya terlebih dahulu ke Dylan lalu setelahnya beralih ke Naomi. "Senang bertemu denganmu Naomi Arley. Sudah ku katakan, kita memang jodoh." Seringai penuh kemenangan terlihat jelas di wajah pria itu. . . (bersambung) Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silakan follow/add. . . ====Note=== . Halo, Cerita ini eksklusif tayang/terbit di aplikasi Dreame/innovel dan hanya bisa di baca di sana. Jadi, jika kalian menemukan cerita ini dijual bebas dalam bentuk PDF oleh orang yang tidak bertanggung jawab, mohon bantuannya untuk melapor/memberitahu aku, yah. Karena tindakan tersebut bisa di proses secara hukum dan di tuntut untuk mengganti rugi. . Salam, Fhee
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN