3. Gibah SQUAD

2353 Kata
"Sahabat sejati bukanlah mereka yang memiliki banyak persamaan, tapi mereka yang memiliki pengertian terhadap setiap perbedaan." ---- One Hyde Park Penthouse. 66 Knightsbridge, London SW1X 7LA, Inggris Raya. Edward berjalan terburu-buru ketika mendengar bel di apartemen-nya berbunyi berulang kali. Masih mengenakan piyama tidur, ia dengan santai membuka pintu dan mendapati seorang pria berdiri dengan raut wajah yang kesal. "Jangan bilang kau baru saja bangun tidur?" tanyanya menyelidik. "Mau jam berapa lagi kita berangkat? Kau sendiri yang meminta kami semua untuk hadir," ucap pria itu bersungut-sungut. Bukannya merasa bersalah, Edward malah tertawa. "Astaga, Rich. Kenapa kau ini hobi sekali marah-marah. Ku pikir setelah menikah sifat pemarahmu itu bisa hilang. Ternyata sama saja." Richard memutar bola matanya jengah. Habis sudah kesabarannya. "Tidak usah banyak bicara. Cepat mandi! Ku tunggu kau sekarang juga di lobby." Richard kemudian pergi begitu saja tanpa menunggu sahabatnya itu menyahut terlebih dahulu. Edward dan Richard sebenarnya memang bertetangga. Mereka berdua memilih One Hyde Park Penthouse sebagai tempat tinggal sedari beberapa tahun silam. Edward memang punya alasan tersendiri menjatuhkan pilihan pada tempat itu. Di samping lokasinya yang premium, penthouse ini memiliki fasilitas yang fantastis. Dilengkapi dengan kaca anti peluru, kamar rahasia, dan penjagaan 24 jam dari keamanan yang dilatih oleh pasukan khusus kerjaan Inggris, menjadikan penthouse ini pilihan terbaik untuk dirinya yang memang anak seorang konglomerat. Untuk yang belum tau siapa Sebastian Edwardo Cullen, dia adalah pria berdarah Skotlandia yang berumur 30 tahun. Memiliki postur tubuh tinggi semampai, mata hazel serta rahang yang tegas. Pribadinya yang supel serta humble membuat Edward begitu gampang menarik perhatian orang banyak. Tapi, karena menganut paham bebas serta membenci yang namanya komitmen, menjadikan Edward hingga detik ini tidak memiliki hubungan serius dengan seorang wanita mana pun. Ini yang membuatnya kesulitan memenuhi permintaan Alexander untuk segera menikah. Pusing memikirkan permintaan ayahnya, Edward mengajak para sahabatnya bertemu untuk bertukar pikiran. Dan sekarang, ia tengah bersiap menghampiri Richard di lobby Apartemen untuk pergi bersama-sama menuju English Shooting International. Hari ini mereka berencana menghabiskan waktu dengan melakukan olahraga menembak. "Ku pikir kau akan mengajak Nathania." Edward membuka percakapan saat mereka sudah dalam perjalanan menuju lokasi lapangan menembak. "Sudah dari pagi-pagi sekali, Mama menjemput Natha dan Elea untuk ikut dengannya. Aku bahkan di suruh pulang larut malam agar beliau puas menghabiskan waktu dengan cucu dan menantunya." Sambil mengemudikan mobilnya, Edward tertawa. Membayangkan mungkin saja ibunya akan melakukan hal yang sama kalau ia menikah dan memiliki anak nantinya. "Kenapa tidak menginap saja di rumah kedua orang tuamu? Dari pada repot antar jemput seperti saat ini?" "Astaga, Ed. Untuk apa aku menginap di rumah Mama? Bukannya kami satu kota. Bahkan lokasi tempat kami tinggal tidak berjauhan." Edward lantas mencibir. "Dasar anak durhaka. Harusnya kau kasihan dengan Uncle Rob dan Auntie Cassandra, mereka berdua pasti sangat senang di masa tuanya seperti sekarang lebih sering dikunjungi oleh anak, menantu dan cucu. Lagipula, jarang-jarang kalian semua bisa berkumpul bersama seperti sekarang, kan?" Mendengar sindiran Edward yang terang-terangan, Richard sontak langsung menoleh dan medengkus. "Sebaiknya kita berhenti dulu di swalayan yang ada di depan sana." tunjuk pria itu. "Ada yang ingin kau beli?" Edward benar-benar menurunkan kecepatan mobilnya. Bersiap untuk menepikan kendaraan yang ia kemudikan di salah satu swalayan besar yang akan mereka lewati. "Tentu saja." Richard mengangguk pasti. "aku bermaksud untuk membelikanmu sebuah cermin agar kau bisa berkaca. Bagaimana bisa kau menyuruhku pulang, sementara kau sendiri tidak pernah mengunjungi kedua orang tuamu." "Bajingann!" Edward langsung mengumpat keras. Sindiriannya dibalas telak oleh Richard. Sementara ia mendengkus kesal, pria di sebelahnya malah tertawa puas. "Aku akan membalasmu, Rich," gumamnya kemudian. Richard tidak perduli dan masih saja tertawa sampai mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. Di sana, sudah ada Kenzie dan Kiano yang sedang sibuk memilih senjata untuk digunakan dalam olahraga menembak. "Kenapa lama sekali? Kami berdua sudah sejam menunggu," protes Kiano. "Aku bahkan sudah menghabiskan dua cup coffe karena lelah menunggu kalian." Kenzie yang berdiri di samping Kiano ikut menimpali. Mendengar protes dari teman-temannya, tentu saja Richard langsung membela diri. Ia terang-terangan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Edward. "Dia penyebabnya. Asal kalian tahu, pria itu bahkan belum mandi saat aku menggedor pintu apartemennya." Seperti biasa, Edward hanya bisa meringis lalu tertawa. Di antara mereka berempat memang dirinya yang terkenal paling suka terlambat. "Maafkan aku. Sebagai gantinya, aku yang bayar sewa lapangan dan mentraktir kalian makan siang di Chiltern Firehouse, bagaimana?" Kenzie mengangguk setuju. "Baiklah, kesalahanmu di maafkan kali ini. Cepat pilih senjatamu." Edward dan Richard langsung menuju ruang penyimpanan senjata. Memilih satu persatu senjata api mana yang akan mereka pakai untuk latihan kali ini. Mereka berempat memang menyukai olah raga menembak semenjak masa kuliah. Apalagi Kenzie dan Kiano. Kedua pria itu paling mahir menggunakan berbagai jenis senjata api dari laras pendek hingga laras panjang sekali pun. Untuk latihan kali ini saja, Kenzie, Edward dan Richard menjatuhkan pilihan yang sama pada pistol Glock Meyer 22 buatan Austria. Sedangkan Kiano memilih senjata laras panjang H&K MP5 keluaran Jerman. Hampir dua jam lebih mereka menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Kiano dan Edward yang terlihat paling bersemangat untuk saling adu nilai. "Aku menyerah ... " Edward berseru sembari mengangkat kedua tangannya. Kiano menoleh lalu tersenyum puas. Sementara Edward menghampiri Kenzie dan Richard yang sudah lebih dulu duduk di kursi tunggu, Kiano sendiri memilih untuk membilas dirinya yang penuh akan peluh. "Kalian berdua memang gila!" Kenzie geleng-geleng kepala melihat kelakuan Edward dan Kiano yang begitu asyik hingga lupa waktu. "Ini seru, Ken. Aku seperti bertarung melawan mafia." Edward menyeringai. "Seharusnya kau yang menjadi adik Kiano, agar bisa berhadapan dengan mafia secara langsung. Kelakuan kalian sama." Richard yang duduk tepat di sebelah Kenzie ikut ambil suara. Tapi, yang dikatakan pria itu benar. Edward memang lebih cocok menjadi adik Kiano. Mereka memiliki kepribadian, hobby serta sifat yang sama. "Tidak akan!" Kiano yang baru saja kembali dari toilet langsung menginterupsi ucapan Richard. "Bisa gila kalau aku punya adik yang cerewet seperti dia." tunjuk Kiano ke arah Edward yang tengah santai menyesap minuman cola di tangannya. "Kai, tidak bisakah kau memakai baju terlebih dahulu?" Bukannya menanggapi pembicaraan teman-temannya, Edward malah protes dengan penampilan Kiano yang bertelanjang dadaa. Pria itu dengan santainya berjalan dari toilet menghampiri mereka semua yang sedang duduk. "Oh, ayolah. Aku sedang berkeringat. Kalau tubuhku sudah kering, aku pasti memakai kaosku," ucap Kiano membela diri. "Astaga, itu badan atau tembok jalanan? Kenapa penuh sekali coretan di sana?" Edward geleng-geleng kepala melihat deretan tato yang tergambar di tubuh milik Kiano. Pria itu memang suka memakai tato. "Kalau aku jadi tante Luna, mungkin aku sudah mencoret namamu dari kartu keluarga, Kai. Penampilanmu benar-benar seperti preman." Lagi-lagi Edward mencibir. Benar kata Kiano, bisa gila dia kalau punya adik yang banyak omong seperti Edward. Karena tidak ingin membuang banyak waktu, Richard menghentikan perdebatan antara Edward dan Kiano. Mereka kemudian bergegas menuju mobil untuk melakukan makan siang di Chiltern Firehouse, Restoran terkenal yang menjadi favorit seluruh warga di kota London. "Jadi, apa yang harus kita bahas di sini?" Kiano bertanya saat mereka sudah berada di restoran sembari menunggu makanan dihidangkan. "Sebelumnya, aku mau minta maaf dulu pada Richard. Sepertinya aku terkena karma." Sontak saja ucapan Edward ini membuat yang lainnya mengernyit heran. "Sebenarnya, ada apa?" Merasa karena namanya yang disebut, Richard langsung bertanya. "Sebulan lagi, AlphaBeta harus mengumumkan CEO yang baru. Kau tahu sendiri, Ayahku anak pertama keluarga Cullen dan sialnya aku juga penerus pertama. Itu sebabnya, mau tidak mau, suka tidak suka, akulah yang akan menerima jabatan CEO tersebut." "Apa yang menjadi masalah?" Kiano menyela penjelasan Edward. "Ck, dengarkan aku dulu." "Baiklah, aku mohon maaf," sahut Kiano. "Syarat utama menjadi CEO AlphaBeta adalah pria yang sudah beristri. Bagaimana bisa aku menjadi CEO kalau calon istri saja aku tidak punya. Kalian tahu sendiri aku orang yang tidak mempercayai sebuah komitmen. Celakanya, ayahku hanya memberi tenggang waktu sebulan. Kalau tidak, aku akan bernasib sama dengan Kenzie, dijodohkan dengan wanita pilihan kedua orang tuaku," jelas Edward panjang lebar. "Kenapa tidak pasang iklan saja di media online atau televisi. Buat pengumuman kalau Edward Cullen mencari calon istri. Masalah selesai," seloroh Kiano tanpa dosa. Pria itu seakan tidak perduli dengan apa yang menjadi masalah Edward sekarang. Edward menatap Kiano penuh kesal. Kalau bukan kakak dari sahabatnya saja, mungkin ia akan menendang pria itu keluar dari restoran. "Ya, dan setelah memasang iklan, aku membuat malu seluruh keluargaku?" Edward berucap dengan sinis. "Jangan gila, Kiano Winata. Lebih baik kau mati saja, dari pada memberikan saran yang tidak bermanfaat seperti tadi." "Memangnya kau tidak memiliki kekasih sama sekali?" sekarang giliran Kenzie yang bertanya. Raut wajahnya yang semula santai berubah serius sekarang. Edward menggelengkan kepala. "Tidak ada. Kau tahu sendiri. Aku tidak suka berlama-lama menjalin hubungan dengan wanita. Mereka itu merepotkan. Hanya bisa menghabiskan uangku saja." "Wanita incaran sekali pun, kau tidak punya?" Kenzie kembali mencecar pertanyaan. Edward bergeming. Mengingat-ingat kembali apakah ada wanita yang sedang diincar hingga tak berapa lama ia mengangguk. "Ada. Aku sedang mencari wanita yang berhasil memerkosaku." "What!" Ketiga sahabat Edward kompak memekik heran. "Jangan gila, Ed. Jangan karena pusing mencari calon istri, lantas kau menjadi tidak waras seperti sekarang," protes Richard. Edward tertawa demi mendengar tuduhan Richard kepadanya. "Astaga, aku berkata yang sejujurnya. Minggu lalu, selesai pesta lajang yang Marvin adakan di Liverpool, aku bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Naomi. Ceritanya panjang. Intinya, wanita itu memaksaku untuk tidur dengannya. Aku sudah berusaha menolak tapi ia tetap saja menggodaku. Dan kalian harus tahu sesuatu..." Edward menjeda kalimatnya. Membuat para sahabatnya semakin penasaran. "Sesuatu apa? Jangan setengah-setengah kalau bercerita!" Kiano yang terlihat paling tidak sabar. "Wanita yang meniduriku ternyata masih perawan. Sebenarnya aku bingung. Harusnya ini ku sebut keberuntungan atau sebuah kesialan." "Tentu saja ini sebuah keberuntungan, Ed!" sahut Kiano cepat. "Bukannya kau bilang wanita itu cantik. Lalu dia yang memaksamu untuk menikmati keperawanannya. Lantas sial dari mananya?" Bukannya senang, Edward malah mengembuskan napas frustrasi. "Masalahnya, setelah tidur denganku. Wanita itu pergi begitu saja. Aku merasa terhina. Bagaimana bisa, setelah puas memakai tubuhku, esok harinya ia mencampakkanku begitu saja." "Ha...ha..ha..." ketiga sahabatnya kompak tertawa. Lebih-lebih Kiano, mata pria itu sampai berair saking tidak tahannya menertawakan nasib Edward. "Kau berbicara seolah-olah kau korban di sini. Harusnya kau merasa untung kalau wanita itu tidak menuntut pertanggung jawaban darimu." sambil tertawa, Kiano menanggapi cerita Edward. "Kau lihat sendiri nasibku. Meniduri wanita saja tidak pernah, tapi malah di suruh bertanggung jawab atas kehamilan seseorang." Tentu saja semua orang akan kasihan pada Kiano. Pria itu memang tidak pernah meniduri satu wanita pun di dunia ini. Tapi nasib sial membuatnya harus bertanggung jawab atas kehamilan Anne, wanita yang mengaku pernah ditidurinya. Belum lagi, Kiano harus berusaha menjaga Anne dari serangan para Mafia yang ingin menculik wanita itu. Sungguh kompleks sekali permasalahan yang sedang dihadapinya. "Jadi, kau sudah menyelidiki siapa wanita yang kau ceritakan ini?" Kenzie kembali bertanya. "Aku sudah minta tolong pada Hans untuk menyelidiki siapa sebenarnya Naomi. Aku harus melakukan perhitungan dengannya," jawab Edward berapi-api. "Kau sudah memilih orang yang tepat untuk dimintai tolong. Aku berharap masalahmu cepat selesai dan kau bisa segera menemukan calon istri." Kenzie berucap dengan tulus. Sementara Richard dan Kiano turut mengamini ucapan pria bermata sipit tersebut. **** Edward mengempaskan tubuh kekarnya di sofa. Baru beberapa menit yang lalu ia sampai di Penthouse setelah seharian menghabiskan waktu bersama para sahabatnya. Baru saja ia ingin memejamkan mata, terdengar suara bel berbunyi. Melirik jam yang terpasang di sudut dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Berpikir sejenak, siapa yang sudah bertamu semalam ini. Dengan langkah gontai, Edward membawa kakinya mendekati pintu. Mengintip terlebih dahulu dari balik layar interkom, ia mendapati wajah Hans di sana. Cepat-cepat Edward membuka pintu dan menyuruh pria itu untuk masuk. "Bagaimana? Kau sudah mendapatkan informasinya?" Edward terihat benar-benar tidak sabar. Mereka berdua tengah duduk di kursi ruang tamu sekarang. Hans mengangguk kemudian mengeluarkan map berwarna biru dari tas yang ia bawa. Menyerahkan beberapa lembaran kertas untuk Edward periksa. "Nama wanita itu Naomi Hazel Arley. Dia putri tunggal keluarga Arley." "Tunggu dulu!" potong Edward. "Maksudmu dia anak Dylan Arley? Pemilik jaringan hotel Arley?" Hans mengangguk. "Benar, dia anak tuan Dylan Arley dan ayahmu sangat mengenal baik keluarga itu." "Astaga." Edward memijat pelipisnya. "Jadi aku merenggut kehormatan anak tunggal keluarga Arley? Aku harus bagaimana ini?" Hans hanya mengedikkan kedua bahunya. Memangnya apa yang bisa ia lakukan sekarang. "Menurut catatan yang aku dapat, wanita itu terkenal suka bergonta ganti pasangan sepertimu. Ya, katakanlah ia seorang Playgirl." "Tapi aku yang merenggut keperawanannya, Hans. Ah, tidak, harusnya ini bukan salahku." Edward langsung meralat ucapannya. "Dia yang memaksa untuk tidur denganku." "Bukannya dia sedang mabuk berat kemarin? Bisa saja, ia melakukan hal gila itu karena di bawah pengaruh alkohol." Edward mengangguk setuju. "Iya, aku tahu dia memang mabuk berat. Masalahnya, saat kami sudah sama-sama sadar, aku bahkan menawarkan diri untuk bertanggung jawab. Tapi wanita itu menolaknya. Memang apa kurangnya diriku?" Kali ini Hans tertawa. "Mungkin saja kau bukan kriterianya, Ed. Ada sebagain orang yang phobia dengan pria kaya atau pria tampan. Siapa tau, dia mengidap salah satunya." "Tidak mungkin!" "Tapi, saat aku mencari informasi, ada sumber yang menyebutkan Naomi pernah tinggal di panti asuhan. Aku sempat heran, tapi narasumber itu tidak memberikan penjelasan lebih." Kening Edward bekerut dalam. "Kenapa bisa anak orang kaya tinggal di panti asuhan? Apa dia anak yang di adopsi keluarga Arley?" Sekali lagi Hans mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, tapi kalau kau mau, aku akan menyelidikinya untukmu." "Baiklah, lakukan saja yang terbaik. Aku akan membayarmu lebih untuk ini semua." Setelah Hans berpamitan untuk pulang. Edward kembali membaca satu per satu lembaran informasi mengenai Naomi. Di sana tertera biodata diri, alamat, nomor handphone, latar belakang, hingga hal terkecil mengenai wanita itu. Dari semua lembaran yang Edward baca, pria itu bisa menarik kesimpulan bahwa Naomi bukanlah orang biasa dan benar-benar patut untuk diperhitungkan. Pantas saja ia menolak ku beri uang. Kalau dia sendiri ternyata anak orang kaya. Edward kemudian mengulum senyum. Menarik. Jadi, wanita yang tidur denganku seorang Playgirl? Aku akan membuat perhitungan denganmu, Naomi. ----- . . JUDUL n****+ : PLAYBOY VS PLAYGIRL LINK : https://m.dreame.com/n****+/XN1DCbBuh7rak1kM3COfPg==.html . . Urutan baca n****+ BlackHorse Series . 1.Hate You but Love You : Kenzie Winata. 2.Love You My Secretary : Richard Delano 3.Playdate : Kiano Winata 4.Playboy vs Playgirl : Edward Cullen. 5. My Devil Billionaire : Arsene Geraldo 6. Not a Sugar Daddy : Hans Ulrich 7. Perfect Mission : Noah Aldevaro
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN