"Mas,"
Viona menggeliat. Saat pipinya merasakan usapan yang begitu lembut di pipinya. Betapa ia bahagia, melihat sang suami sudah duduk di sampingnya.
Pria itu tampak sudah rapi dengan setelan kemeja merah maroon dan celana bahan. Aroma segar juga menguar dari tubuhnya, sebagai tanda Davin sudah selesai dengan aktivitas mandinya.
"Hari ini aku masuk kantor. Kamu bagaimana? Kalau masuk, aku akan mengantarkanmu."
Mata Viona menyipit. Menatap jam yang menggantung di dinding. Pukul tujuh pagi. Davin sudah rapi, tapi ia masih bergelung dibawah selimut.
"Maaf, Mas. Aku …."
"Jangan minta maaf. Aku tahu kamu butuh istirahat yang cukup. Dan setahuku istri hadir sebagai pelengkap, bukan sebagai asisten yang mengurus segala kebutuhanku." Mengusap pipi Viona dengan lembut.
"Kamu pria yang sangat istimewa," tutur Viona. Mengalungkan tangannya di tengkuk Davin. Mengecup sekilas kedua belah bibir suaminya itu.
"Jangan memancing jika kamu tidak ingin sarapan."
"Nanti malam aku akan berikan yang terbaik untukmu."
"Oh, ya?"
Viona mengangguk. "Aku akan buktikan. Sebuah kejutan akan tersusun rapi untukmu. Selagi aku masih memiliki cuti satu minggu lagi." Memiringkan kepalanya menatap Davin yang kini mengulas senyum.
"Aku tunggu."
Viona terkekeh. "Sambil menunggu kamu pulang, aku akan belajar banyak dari internet. Aku akan mencari tahu bagaimana caranya menggoda dan membuat suamiku ini tidak sanggup bergerak esok pagi." Melepaskan pelukannya dari tengkuk Davin.
Tahu suaminya itu akan berangkat bekerja, Viona segera beringsut turun dari ranjang. Akan tetapi, Davin segera menahan pergerakannya.
"Kamu mau kemana?" Duduk bersimpuh di hadapan Viona.
"Mau ke kamar mandi, Mas.. Aku akan mempersiapkan sarapan untuk suamiku."
"Kalau kamu tidak keberatan, kita sarapan di luar saja. Bagaimana? Sambil menunggu kamu selesai berkemas, aku akan memeriksa keadaan ayah."
"Sarapan di luar? Besok saja bagaimana, Mas? Aku ada sedikit rencana untukmu malam ini sebagai kado untukmu. Kalau aku ikut, nanti kamu malah bolak-balik mengantarkan aku pulang."
"Justru itu, Vi. Aku ingin mengajakmu sarapan di luar. Membawamu ke kantor untuk memperkenalkan kamu kepada seluruh karyawan yang ada disana. Makan siang pun kita akan bersama. Usai makan siang aku akan mengantarkan kamu pulang. Bagaimana?"
Viona diam sejenak. Berpikir apakah harus menerima tawaran Davin atau tidak.
"Tawaran diterima. Tapi nanti aku maunya pulang sendiri. Ada beberapa barang yang ingin aku beli."
Davin berdiri. Turut membawa Viona berdiri bersamanya. "Aku akan mengantarkan kamu ke mana tempat yang akan dituju. Bagaimana?"
"Si posesif," sindir Viona.
"Tentu saja. Istri secantik dan sebaik ini harus dijaga dengan sangat baik."
Mengecup bibir Viona sekilas.
"Si tukang gombal."
Kedua mata Viona menyipit.
"Gombalin istri sendiri akan mendapatkan pahala yang amat besar."
"Paling pintar membuatku meleleh seperti es yang mencair karena suhu hangat."
"Jangan lagi membalas. Aku bisa terlambat memeriksa keadaan ayah." Davin mengacak rambut Viona sebelum beranjak pergi keluar dari kamar. Jika diteruskan, ini tidak akan ada habisnya.
Viona tertawa. Melihat Davin yang beranjak pergi keluar dari kamar. Ia merasa sungguh beruntung bisa bertemu dan menikah dengan Davin. Andai saja bukan Davin, belum tentu Viona bisa hidup bahagia seperti sekarang. Bahkan ia tidak lagi ingat akan luka yang ditorehkan Haris.
***
"Kamu kenapa, Mas?" tanya Adinda, yang sedari tadi malam tidak suka melihat sang suami murung. Bahkan, Haris yang tidak pernah absen menyentuhnya, tiba-tiba saja enggan menggoda apalagi melakukan hubungan suami istri.
"Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya lelah. Daripada banyak bertanya lebih baik kamu ke dapur dan siapkan sarapan untukku."
"Aku tidak mau. Maunya sama kamu. Di dapur sudah ada pekerja yang mengurus segala macamnya. Kita tinggal turun dan sarapan. Sebelum itu …." Dinda menangkup kedua pipi Haris. Tidak peduli mood pria itu sedang buruk atau apalah. Cepat Ia memagut kedua belah bibir suaminya itu.
Haris menikmati pagutan yang dilakukan Dinda pada kedua belah bibirnya. Membuat rasa cemburunya terhadap Viona mulai menguap. Ini lah yang disukai Haris dari Dinda. Mau melakukan apa saja demi membuatnya baik seperti sedia kala.
"Mas," bisik Dinda. Dikala pagutan bibirnya dan Haris terlepas. Nafasnya tersengal karena Haris yang semakin menggebu dan tidak memberikan ia waktu untuk bernafas.
"Ya, sayang?" balas Haris tak kalah dengan suara lirihan Dinda. Suaranya terdengar berat dan serak. Kental akan hasrat yang telah menggebu hingga ubun-ubun.
"I love you, Sayang." Mengecup sekilas bibir Haris.
“I love you too, Sayang. Terimakasih kamu selalu paham dengan apa yang aku inginkan.” Haris mempererat pelukannya kepada Dinda. Perlahan, ia membawa tubuh istrinya itu berbaring. “Sayang ....”
“Mmm.” Gumam Dinda, sambil menyembunyikan wajahnya di dalam ceruk leher Haris.
"Apakah kamu masih mencintaiku?"
Dinda mengangguk. "Tentu saja.. Dan akan terus seperti ini."
“Berjanjilah padaku, kamu harus selalu setia dan menjaga cinta ini.”
“Aku berjanji, Sayang.” Balas Dinda.
Haris tersenyum senang dan meraih tengkuk leher Dinda. Perlahan, Ia melumat bibir Dinda dan menyusupkan tangannya ke dalam piyama yang digunakan oleh istrinya itu. Mata Dinda membesar saat merasakan tangan besar Haris yang telah menyentuh dadanya. Menghadirkan rasa nikmat yang amat dahsyat saat ini.
Dinda kembali menutup kedua matanya saat Haris memainkan ujung dadanya dan sesekali meremas dengan lembut. Sungguh pandai Haris dalam mencari titik kenikmatan di tubuh Dinda.
“Sekarang, sayang ... aku ingin. Cepatlah. Aku milikmu, dan akan selalu begitu."
“Aku juga milikmu, sayang. Kamu bisa memiliki aku seutuhnya.” Ucap Haris setelah melepaskan tautan bibirnya pada bibir Dinda. Pria itu benar-benar bdfgsfso tidak ada lagi drama yang harus dimainkan agar rasa cintanya tidak goyah sama sekali.
Haris bangkit dan membuka pakaiannya sendiri. Ia hanya menyisakan satu helai kain tipis untuk menutupinya di bawah sana.
“Hari ini, aku ingin membuktikan bahwa aku hanya untukmu. Dan kamu untukku, sayang.” Dengan cepat, Haris menindih tubuh Dinda dan kembali mengulum bibir istrinya itu.
“Mmhhh.” Dinda melenguh, saat Haris memasukkan tangannya ke dalam celana yang ia gunakan. Jari telunjuk Haris langsung memainkan tonjolan kecil yang ada di dalam sana, tanpa melepaskan tautan bibirnya pada Dinda tentunya.
Lenguhan Dinda semakin terdengar nyaring, saat Haris memasukkan jarinya kedalam sumber hasrat yang Ia miliki.
Disana Haris bisa merasakan Dinda yang telah mencapai puncak kenikmatan. Cairan licin sudah membasahi Dinda membuat Haris tidak sabar untuk saling menyatu dengan wanita yang sudah dua bulan ini menjadi istrinya.
“Jangan menyiksaku, Mas.” Umpat Dinda, sambil mengusap Haris yang telah membesar di balik celana dalam yang ia gunakan.
“Kamu yakin ingin sekarang, Sayang? Tidakkah ingin main-main terlebih ?” bisik Haris.
“Aku yakin, Sayang. Lagi pula kita harus menghemat waktu, bukan? Takutnya …."
Haris langsung mengulum bibir Dinda, dan segera membuat tubuh istrinya itu polos tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Ia sudah tidak mampu lagi menahan hasratnya sendiri. Karena Dinda sudah mengeluarkan dan memancingnya untuk bangkit dan menggeliat. Tidak peduli niat mereka yang ingin mengambil muka kepada sang ayah.
Hasrat lebih dahulu harus dituntaskan, jika dibandingkan dengan mengurus sang ayah, yang telah memiliki suster untuk mengurusnya.
Haris langsung menindih tubuh Dinda, ia kembali mengulum bibirnya dan menyapa terlebih dahulu sebelum masuk.
Tubuh Dinda melentik saat merasakan bibir basah Haris turun dan mengisap ujung dadanya.
“Ahh … sayang,”
“Sebut namaku, sayang ...,” lirih Haris,
“Haris ...” ucap Dinda terbata-bata saat Haris mulai masuk dan langsung membentur Dinda di dalam sana.
Tidak peduli dengan masalah besar yang telah menanti, Haris dan Dinda terus saja bergumul mencari kenikmatan, yang jarang mereka lakukan. Mengingat Haris harus berpura-pura menjadi kekasih dan menjadi calon suaminya Viona.