"Hallo, Ayah," sapa Viona begitu panggilan terhubung.
"Halo, Sayang. Akhirnya kamu mengangkat panggilan Ayah, Vi," sahut sang ayah cepat. Sangat jelas dari suara pria paruh baya itu khawatir dengan kondisi putrinya.
"Kenapa, Yah? Ada yang terjadi? Bagaimana keadaan Ayah? Apakah baik-baik saja?" cecar Viona cepat.
"Tidak ada apa-apa, Sayang. Ayah hanya khawatir padamu. Dinda mengatakan kamu tidak ada di rumah. Tidak pulang semenjak berpamitan pergi ke rumah Davin. Nomormu dihubungi pun sangat sulit. Ayah takut kamu kenapa-napa, Vi," tutur sang ayah.
"Ah, begitu. Aku pikir ada apa, Yah. Ayah, dengar. Aku tidak apa-apa. Aku baik, bahkan lebih dari kata baik itu sendiri. Aku … " Viona menatap Davin yang tengah bersandar di dadanya. "Aku sengaja nggak pulang, Yah. Aku menginap di hotel bersama suamiku. Kami … bulan madu, Yah. Jadi nggak menghiraukan yang namanya panggilan telepon."
"Bulan madu?"
Viona mengangguk meskipun sang ayah tidak bisa melihat apa yang sedang ia lakukan. "Iya, Yah. Tapi Ayah tenang saja, aku dan mas Davin sebentar lagi pergi ke rumah sakit untuk menemui Ayah."
"Ayah tunggu kalian berdua disini."
"Baik, Yah. Ayah baik-baik, ya, disana. Sebentar lagi aku datang. Ini mau sarapan dan berkemas dulu."
"Baik, Sayang. Kamu kamu juga, jaga diri baik-baik."
"Iya, Yah Aku tutup panggilannya, ya." Viona berpamitan. Menutup panggilan yang sedang berlangsung.
"Kenapa, Vi?"tanya Davin. Mengadahkan kepalanya begitu Viona meletakkan kembali ponselnya di kepala ranjang.
"Nggak kenapa-napa, Mas. Ayah hanya cemas kita belum pulang ke rumah dan nggak ada kabar sama sekali," tutur Viona mengusap rahang tegas Davin.
"Kalau begitu ayo kita berkemas dan temui ayah di rumah sakit."
Bersiap untuk menuntun Viona turun dari pangkuannya.
Viona menggeleng.
"Kenapa? Nanti ayah cemas."
"Mau ini dulu." Menggerakkan pinggulnya agar Davin yang masih bersarang di dalam tubuhnya bisa merasakan jika ia ingin menuntaskan hasrat yang telah terlanjur muncul.
Tidak peduli Davin sudah selesai mandi, yang jelas Viona ingin ini dituntaskan terlebih dahulu.
"Kita lanjut di kamar mandi," bisik Davin, seraya meninggalkan jejak basah di telinga Viona.
Viona mengangguk. Segera melingkarkan tangannya di leher Davin, saat pria itu ingin bangkit dan menggendongnya. Tanpa melepaskan penyatuan mereka di bawah sana.
Begitu sampai di kamar mandi, Davin menurunkan Viona tepat di bawah shower. Ia menyalakan shower tersebut, setelah melepaskan kemeja biru langit yang masih membalut tubuh atletisnya.
Naluri Davin langsung menuntunnya untuk mendekat. Bersimpuh di hadapan Viona dan meminta istrinya itu untuk membuka kedua pahanya lebar-lebar.
Viona menahan tangan Davin yang menuntun pahanya agar terbuka. "Mas mau apa?" tanyanya bingung.
"Buka dulu. Agar kamu tahu apa yang aku inginkan." Menyentuh Viona yang sudah basah sedari tadi.
"Ta-tapi, Mas."
Viona menggigit bibir bawahnya.
"Aku janji ini lebih nikmat."
Viona menahan nafas. Mengikuti apa yang dikatakan Davin. Dibawah guyuran air yang mengalir dari shower, Viona membuka kedua pahanya lebar-lebar.
Matanya membulat ketika Davin mendekatkan wajahnya dan mengalungkan tangannya di pinggang. Menahan agar Viona tidak terjatuh ketika ia menyesap di bawah sana.
"Ah, Mas … " Tubuh Viona menegang. Saat mulut hangat Davin mulai menyentuh dan menyesap di bawah sana. Tidak main-main, lidah Davin yang basah masuk. Mengaduk Viona dan menikmati cairan beningnya yang tak pernah berhenti keluar.
"Mas," lirih Viona tercekat. Merasakan sensasi nikmat yang berkali-kali lipat lebih nikmat daripada yang tadi.
"Kamu suka?" bisik Davin.. Merapikan rambut basah Viona yang disirami air shower.
Viona mengangguk. Pelepasannya kali ini benar-benar sangat nikmat. Sampai-sampai ia tak lagi sanggup berdiri dan memeluk erat Davin agar tidak terjatuh ke atas kerasnya lantai kamar mandi.
"Masih sanggup?"
Viona mengangguk. "Ini belum." Mengusap Davin yang masih berdiri dengan pongahnya. Menantang Viona yang telah kelelahan. Tapi, belum merasakan keganasan yang dibawah sana, rasanya belum cukup.
Meski lelah, ini harus tetap dijalani dan dilalui. Meski tubuh berkata tidak, tapi hasrat Viona mengatakan, ya. Meminta Davin agar tetap masuk dan memberikan kepuasan bagi mereka berdua.
Davin menarik kedua sudut bibirnya. Menggendong Viona dan meletakkannya dengan hati-hati ke dalam bathtub yang telah berisi air hangat. Busa sabun pun sudah ikut menjadi pelengkap untuk memanjakan tubuh mereka.
"Katanya mau …."
"Aku segera datang." Davin langsung menyusul Viona masuk ke bathtub. Menuntunnya untuk duduk di atas pangkuan, dengan mengarahkan miliknya yang telah mengeras sempurna.
Viona mendesah, dikala Davin yang besar dan kekar masuk. Menusuk hingga membentur Viona di dalam sana. Desahan itu semakin kuat dan nyaring, diiringi dengan suara tepukan air di dinding bathtub. Disaat Viona mulai bergerak naik turun secara teratur.
Davin tidak ingin membiarkan dua gundukan kenyal Viona menganggur n Ia menyesap dan meremas lembut secara bersamaan. Semakin membuat Viona hanyut dalam permainan yang membakar seluruh tubuhnya. Membuang segala luka yang telah ditorehkan Haris. Kini berganti dengan awal baru yang amat serius dengan Davin.
"Jadi kita pacarannya setelah menikah." Davin mengeratkan genggamannya di tangan Viona.
Pria itu tampak tak ingin berjauhan dari Viona, meski mereka kini duduk bersebelahan. Meski Davin harus mengemudi. Tapi tetap saja enggan melepaskan Viona.
"Iya, Mas. Aku rasa begitu. Tapi itu lebih baik. Kalau mau ngapain aja, tak lagi menimbulkan dosa apalagi fitnah dari orang lain. Kita bisa melakukan apa saja."
"Kamu benar," sahut Davin singkat, seraya mengecup punggung tangan Viona sekilas. Dengan tatapan yang lurus ke depan, fokus pada jalan raya yang ada di hadapannya.
"Mas," seru Viona setelah cukup lama mereka berdua saling diam.
Davin pun menoleh sekilas. "Kenapa, Vi? Apakah ada yang ingin kamu sampaikan? Katakan saja, aku tidak akan marah apalagi memberikan respon lebih."
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku harap kamu dengarkan aku dulu sebelum marah atau menolak."
"Katakan saja."
"Begini." Viona mengubah posisinya menjadi menatap Davin.
"Ya?"
"Setiap seorang gadis menikah, pasti akan ikut kemanapun suaminya pergi. Termasuk aku."
"Tidak perlu dilanjutkan." Davin melepaskan genggamannya dari tangan Viona karena mereka sudah sampai di halaman rumah sakit.
Davin tidak lagi bisa mengemudikan mobilnya dengan satu tangan, karena ia harus mencari untuk memarkirkan mobilnya di area parkir rumah sakit.
"Kenapa?"
Air wajah Viona menegang mendengar ucapan Davin, yang tidak ingin mendengar ia melanjutkan ucapannya. Padahal ini sangat penting, menyangkut kesehatan sang ayah yang masih membutuhkan perhatian khusus.
"Tidak perlu tegang begitu." Davin mengusap pipi mulus Viona. "Kamu tidak perlu melanjutkan karena aku sudah tahu apa yang kamu inginkan. Apa yang kamu mau dan yakin itu semua terbaik untukmu, ayah, dan kita."
Viona kembali bersemangat. "Coba katakan apa yang aku inginkan."
"Kamu ingin kita tinggal di rumah ayah, agar bisa mengawasi kesehatan ayah. Ayah yang masih belum pulih secara utuh, tentu saja harus berada di dalam pengawasan kamu. Benar begitu?"
Viona mengangguk cepat. Langsung memeluk Davin dengan erat. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku benar-benar sangat beruntung bisa bertemu dan menikah denganmu."
"Jangan begitu. Sebagai suami ini sudah menjadi tugasku, menjagamu dan melindungi ayah." Mengusap rambut panjang Viona. "Ayo kita temui ayah. Aku takut beliau terlalu lama menunggu kita."
Viona hanya mengangguk. Mengurai pelukannya dan menatap kepada pria yang baru dikenal, baru pula menikahinya, tapi tak ada satupun sikap buruknya yang terlihat. Viona berharap Davin terus seperti ini, hingga ajal menjemput mereka.