Bab 6

1005 Kata
"Pagi …," sapa Davin. Mengecup pucuk kepala Viona, yang menggeliat di bawah selimut tebal. Mata Viona menyipit. Melihat siapa pria yang sudah menyapanya subuh-subuh begini. "Ka-kamu?" "Aku? Aku kenapa?" tanya Davin polos. Menunjuk dirinya sendiri. "Ah, ya, kamu." Viona menarik kedua sudut bibirnya. Akhirnya ingat siapa pria tampan berkemeja biru langit, yang kini menyapanya. "Aku yakin kamu lupa siapa aku." Davin sedikit terkekeh, agar Viona tidak terlalu canggung padanya. Menikah secara mendadak dan langsung melakukan malam pertama, tentu saja membuat Viona sempat lupa siapa dirinya. "Tidak perlu diklarifikasi, Vi. Suamimu ini paham bagaimana rasanya menikah secepat kilat seperti kemarin." Merapikan rambut Viola yang tampak berantakan. "Meski demikian, aku akan tetap menjadi suami sungguhan untukmu." "Kenapa begitu?" Viola mengubah posisinya menjadi miring. Menatap langsung kepada Davin yang setengah berbaring di sampingnya. Dengan jari-jari yang terus bergerak merapikan anak rambutnya. "Bukan kenapa-kenapa. Hanya saja ini terlalu kebetulan dari sekian banyak kebetulan yang ada." "Kamu semakin membuatku tidak mengerti." Memukul pelan lengan Davin. "Ya, gimana, ya. Kamu menyeretku agar menggantikan posisi calon suamimu yang lari. Disaat aku baru selesai mengunjungi wanita yang aku cintai." "Tunggu. Itu artinya kamu memiliki kekasih?" Viona langsung beringsut duduk. Meski harus menahan sakit di pangkal pahanya. "Kenapa kamu …." Davin menarik kedua sudut bibirnya. "Dengarkan aku dulu. Aku belum selesai berbicara, jangan dipotong dulu." "Aku nggak motong. Aku cuma kaget kalau kamu itu ternyata memiliki kekasih. Seharusnya kamu menolak menikah denganku dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu juga sudah," "Sudah selesai?" Davin menghapus jejak basah di bibir Viona. "Aku baru tahu kalau istriku ini cerewet dan suka ngomel." "Jangan membujuk. Apalagi merayu. Aku sungguh merasa bersalah kepada kekasihmu. Dan lagi, bisa-bisanya kamu terima tawaran aku untuk membuat rumah tangga ini utuh. Kamu mau poligami? Kamu ini …." Davin menangkap pergelangan tangan Viona yang menunjuk batang hidungnya. Membawa istrinya itu ke dalam pelukannya. "Vi, dengar. Aku tidak memiliki kekasih. Aku memang mengunjungi wanita yang aku cintai, tapi dia bukan kekasihku. Dia adalah istri dari sahabatku yang baru saja selesai melahirkan. Setelah mengunjungi mereka berdua dan memastikan wanita itu hidup bahagia, aku berjanji akan melepaskannya pergi. Aku akan melebur cinta ini dan belajar mencintai wanita lain. Dan ketika niat tulus itu keluar dari mulutku, kamu datang. Menjadikan aku suami darurat agar ayahmu tak kecewa untuk kesekian kalinya." "Jadi kamu patah hati?" Viona mengurai pelukannya. Menatap Davin yang tampak memaksakan sebuah senyuman untuk menutup lukanya sendiri. Entah sebesar apa luka pria itu, Viona tidak tahu. Tapi ia tahu ada luka yang amat besar di dalam hati Davin. *Ini tidak layak dikatakan sebagai patah hati. Ini lebih cocok disebut cinta yang bertepuk sebelah tangan." "Maukah kamu menceritakannya padaku? Maksudku, kalau kamu butuh teman untuk bercerita kamu bisa bicara padaku." Viona segera meralat ucapannya. Takut dikira lancang karena ingin tahu masa lalu Davin. Padahal mereka baru saja ingin memulai. "Tidak apa. Aku memang ingin menceritakannya padamu. Lagipula, kamu sudah bertemu dengannya.. Dia wanita yang kemarin aku kenalkan." "Yang kemarin itu?" Davin mengangguk. "Aku sudah lama jatuh cinta padanya. Tapi, hingga detik ini dia tidak pernah menganggapku ada meski jarak kami sangat dekat." "Itu pasti sakit." "Itu tidak sakit lagi sekarang. Kamu merupakan obat bagiku, yang dikirim Tuhan ketika aku benar-benar ikhlas melepaskannya." "Makanya tadi kamu bilang ini terlalu bagus jika dikatakan sebuah kebetulan?" "Benar. Aku lebih suka menyebutnya sebagai takdir. Kamu jodohku, dan memang begini caranya kita bersatu." "Kamu benar. Diantara kegagalan yang aku alami, hanya ini membuat ayah drop. Hanya ini yang memaksaku agar tetap menikah meski tanpa Haris." "Dan diantara banyak pilihan, kamu dengan percaya diri memintaku untuk menjadi pengantin pria pengganti. Apakah itu masih kurang untuk dijadikan bukti kalau kita berjodoh?" Davin menaikkan kedua alisnya. "Kamu benar." Menatap lekat pada Davin. Dari air wajahnya Viona melihat pria itu tidak main-main dengan ucapannya. Dan itu sudah dilihat Viona semenjak bertemu dengan Davin. Pria ini, pria yang menerima tawarannya untuk menikah dengan sangat tulus. Tanpa ada syarat yang diajukan. Bahkan mau menolak uang sogokan dari ibu tirinya agar berlaku sama seperti Haris, yang tiba-tiba saja tidak datang di hari pernikahan mereka. Padahal untuk mencapai hingga titik itu, Viona mati-matian belajar mencintai Harusnya. Namun, nyatanya apa? Haris pergi begitu saja. Dan kini pun datang seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal luka yang dirasakan Viona sangat besar. "Mas," lirih Viona. Menekan kepala Davin agar lebih dalam menyesap ujung dadanya. Ia begitu candu dan mendamba setiap sentuhan yang suaminya itu lakukan. Entah siapa yang memulai. Kini Viona sudah duduk di pangkuan Davin, dengan tubuh yang bergerak gelisah. Merasakan gelenyar aneh, hingga Viona berkedut di bawah sana. Mendamba Davin masuk secara utuh seperti tadi malam. "Angkat dulu, Vi. Siapa tahu itu penting," serak Davin, menahan hasratnya yang telah sampai di ubun-ubun. Baru saja Viona ingin duduk dengan mengarahkan dirinya yang tegak sempurna ke dalam lorong kenikmatan, ponsel gadis itu sudah berbunyi. Membuyarkan semua harapan yang telah terkumpul di dalam otak Davin. "Vi …." Davin menggeram. Saat Viona abai pada ponselnya yang ada di kepala ranjang. Alih-alih meraih ponsel, Viona justru duduk sehingga Davin masuk secara utuh. Sangat dalam hingga punggung Viona melengkung, merasakan nikmat yang amat sangat. "Aku baru tahu ternyata istriku nakal," goda Davin, menggesekkan hidung mancungnya di salah satu ujung gundukan yang telah memerah karena ulahnya. "Aku nggak nakal, Mas. Hanya saja kamu telah membuatku gila. Aki ingin lagi dan lagi." Balas Viona dengan nafas yang memburu. Ketika ia bergerak untuk mencari kenikmatan untuk mereka berdua. "Sepertinya kamu harus angkat dulu, Vi. Ini dari ayah," Davin menyerahkan ponsel Viona. Agar mengangkat panggilan sang ayah, yang telah dua kali diabaikan. Viona mengangguk. Segera menuruti apa yang dikatakan Davin. Tanpa memiliki niat untuk turun dari pangkuan suaminya itu. Davin hanya menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya sang istri menerima panggilan penting dengan penyatuan yang masih utuh diantara mereka berdua. Sehingga Davin hanya bisa pasrah menanti Viona selesai. Seraya menunggu, Davin memeluk Viona dengan sangat erat. Takut sang istri kelepasan mendesah disela pembicaraannya, Davin berusaha keras mengabaikan dua ujung merah muda yang telah menegang itu. Menggoda untuk dikulum disesap sekuat tenaga. Tapi, saat ini ia memilih untuk menempelkan pipi di bulatan nan empuk itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN