Bab 8

1197 Kata
"Ayah yakin mau pulang? Ayah belum sembuh betul. Jadi harus pulih dulu baru boleh pulang." Viona langsung mencecar sang ayah, begitu mendapat aduan dari dokter yang menangani pria paruh baya itu. "Ayah tidak betah, Vi. Jadi Ayah mau pulang. Lagipula, besok kata ibumu ada syukuran untuk pernikahan kakakmu. Entah kapan dia menikah, tiba-tiba saja sudah syukuran saja," keluh sang ayah. Memijat pelipisnya sendiri. Baru selesai masalah kegagalan pernikahan Viona, kini ia malah dihadapkan pada pernikahan Adinda. "Loh, nikah? Kok bisa? Bukannya Ayah yang seharusnya menjadi wali, baru dia bisa menikah?" Sumpah demi apapun. Viona sangat-sangat terkejut mendengar penuturan sang ayah, tentang pernikahan sang kakak. Abraham menghela nafas panjang. "Adinda hadir di antara ayah dan ibunya, sebelum kami menikah. Sehingga ayah tidak bisa menjadi wali nikah untuk kakakmu itu." Mata Viona terpejam kuat. Ini lagi-lagi harus didengar dari mulut sang ayah. Rasanya ia ingin marah kepada ayahnya sendiri, karena telah membohongi ibunya. Sudah menikah dengan ibunya Adinda, dengan dalih susah memiliki anak. "Dan bisa jadi dia bukan anak kandung Ayah, Vi." Abraham menatap nanar kepada Viona. "Rasanya cukup aneh tiba-tiba saja sudah tidur dengan ibumu itu. Sedangkan Ayah tidak ingat apa-apa. Dan anehnya lagi, usia kandungannya lebih cepat dibandingkan di malam itu. Sejak itu ayah …." "Yah, cukup. Aku tidak lagi ingin membahas ini semua. Seperti yang Ayah ketahui, aku terpaksa melupakan luka yang Ayah torehkan untuk ibu. Kalau bukan karena sakit, aku sudah menjauh sangat jauh dari Ayah. Aku …." "Viona," tegur Davin seraya menggelengkan kepalanya. Ia tidak suka Viona mengungkit kesalahan sang ayah di masa lalu. Lagipula, mendengar cerita singkat dari Abraham dan kelakuan Feni, membuatnya yakin Adinda bukanlah anaknya sang ayah mertua. Pasalnya, Adinda tidak memiliki kemiripan apapun dengan Abraham. Bahkan tidak mirip pula dengan Feni, sang ibu. Sangat berbeda dengan Viona yang mewarisi mata, hidung, dan bibir Abraham. Menegaskan bahwa Viona adalah putri kandungnya. "Ayah selamat," keluh Viona. Menelan kembali kata yang ingin diucapkannya. Hanya karena teguran dan tatapan Davin semata. Abraham benar-benar tidak menyangka, pria yang tidak diketahui ditemukan di mana, tapi sudah bisa mengubah sikap Viona yang keras kepala. Jujur saja, meski Viona sangat menyayangi dan mengkhawatirkan keadaannya, tetap saja putrinya itu masih menyimpan banyak luka di masa lalu. Kehilangan sang ibu, dan masuknya Feni dan Adinda di dalam kehidupan mereka yang telah memecah kasih sayang Abraham kepadanya. "Kalau Ayah tidak betah disini. Kita bisa mengajukan untuk rawat jalan saja. Tentunya dengan dampingan medis dari pihak rumah sakit ini," tutur Davin, seraya mengusap rambut panjang Viona. "Kamu yakin rumah sakit mau, Mas? Aku takut kondisi ayah semakin buruk kalau dibawa pulang. Disini saja ayah bandel minta ampun, apalagi di rumah," keluh Viona. Sang ayah yang kumat karena kegagalannya, tentu saja menghadirkan rasa bersalah yang sangat besar bagi dirinya sendiri. Ia tidak ingin ditinggal pergi, luka Itu hingga kini belum pernah sembuh secara utuh. "Aku yang akan memastikan ayah tidak bandel selama di rumah." Menggenggam erat tangan Viona. "Yah, Ayah lihatkan? Aku sudah menjadi penjamin agar Ayah menjadi baik selama di rumah. Jadi aku mohon, agar Viona tidak memberikan hukuman padaku maka Ayah harus teratur makan dan minum obat. Tidak boleh bolos melakukan check up rutin ke rumah sakit. Harus sesuai dengan syarat dan ketentuan yang sudah diatur." Davin beralih kepada sang ayah mertua yang sedari tadi senyum sendiri melihat pengantin baru itu berbicara. Sangat jelas terlihat di matanya Davin adalah sosok suami yang tegas, tapi tak menggunakan kata-kata yang kasar dalam mengajarkan hal baik kepada Viona. Jangan lupakan tangannya yang selalu menggenggam tangan Viona, selama mereka berbicara. "Ayah berjanji kepadamu, Vin. Dan untukmu, Vi. Sepertinya Ayah mendapatkan teman." Abraham sedikit tertawa untuk mengejek sang putri yang tampak kesal sekarang. Karena Davin malah berada di pihak sang ayah saat ini. "Ya, sudah. Pengajuan aku terima. Kita pulang hari ini, tapi tetap dengan peraturan dan persetujuan dari pihak rumah sakit." Abraham terkekeh. Baru kali ini ia menang berdebat dengan Viona. Tentu saja merupakan prestasi yang sangat ia banggakan. "Oh, ya. Ini nggak ada yang jagain Ayah?" Hampir satu jam di ruang rawat sang ayah, akhirnya Viona sadar juga tidak ada seorangpun yang menjaga disana. Abraham menggeleng. "Setelah kamu dan Davin pergi, ibu dan kakakmu juga pergi. Mereka tidak pernah lagi kembali setelah itu. Hanya saja kakakmu menghubungi ayah tadi subuh menanyakan di mana kamu berada. Kenapa kamu tidak pulang tanpa kabar pula." "Kenapa Ayah tidak bilang kalau tinggal sendirian? Aku dan mas Davin bisa datang menemui dan menemani Ayah disini." "Ayah tidak sendiri. Disini ada banyak dokter dan perawat. Kalau ayah katakan padamu, nanti kamu malah tidak bisa membuatkan cucu untuk Ayah." "Ih … Ayah ini. Malah bahas cucu. Lagian nggak mungkin langsung jadi, Yah. Baru sekali bikin." "Yakin kamu cuma sekali? Kamu janji sudah dari subuh. Nyatanya tengah hari baru datang." . Abraham menyindir. "Nggak, Yah. Sumpah." "Ehem, aku panggil dokter dulu, ya, Vi. Biar Ayah diperiksa dan kita bisa pulang." Davin yang malu sendiri karena pembahasan Viona dan sang ayah, akhirnya memilih pergi untuk memanggil dokter. Sekalian untuk membayar tagihan rumah sakit sang ayah mertua. Dan betapa terkejutnya Davin saat melihat berapa tagihan rumah sakit sang ayah mertua. *Enam puluh lima juta?" Ia memastikan sekali lagi kepada pihak yang bertugas di bagian rumah sakit. Pria yang seusia dengan Davin itu mengangguk. "Itu sudah termasuk rawat jalan pasien selama dua minggu, dengan dampingan seorang dokter dan perawat. Termasuk obat dan biaya lainnya." "Baiklah." Davin menyerahkan kartu debit yang ada di dompetnya untuk membayar biaya rumah sakit tersebut. "Semoga ini cukup sampai bulan depan,* gumam Davin dalam hati sebelum memasukkan kembali kartu debitnya. Mengingat jumlah tabungannya yang tidak sampai lima puluh juta, setelah membeli rumah untuk kedua orang tuanya di kampung dan membeli mobil untuknya sendiri. Perusahaan milik Davin yang bergerak dalam tekstil, baru saja berkembang satu tahun belakangan ini. Ia baru memiliki rumah yang ditempati sekarang dan mobil yang mengantarkannya kesana kemari. Dan sekarang, tabungannya terkuras karena membayar biaya rumah sakit ayah mertuanya sendiri. *** "Aku tidak enak kamu langsung membayar tagihan rumah sakit ayah, Mas." Viona mengusap tengkuknya. Seraya berjalan beriringan masuk ke rumah bersama Davin yang sedang mendorong sang ayah di kursi roda. "Kenapa tidak enak? Bukankah kamu adalah istriku? Dan tentu saja ayah juga bagian dari hidupku," sahut Davin tulus. Sangat-sangat tulus dari dasar hatinya yang paling dalam. "Memang benar Viona istri kamu, Vin. Tapi kalau dipikir-pikir belum saatnya kamu menanggung biaya yang sangat besar itu. Rasanya tidak enak menyusahkan menantu sendiri." Abraham menimpali. "Tidak apa-apa, Yah. Biaya rumah sakit itu tidak sebanding dengan kehadiran Viona dalam hidupku." "Kamu benar-benar beruntung mendapatkan pria seperti Davin, Vi. Dan sepertinya kegagalanmu dengan Haris, merupakan jalan yang sangat baik bagi masa depanmu." Dengan tatapan yang berbinar, Abraham menyampaikan isi hatinya. Semakin membuat Davin dan Viona sama-sama bersyukur bisa dipertemukan setelah mengalami patah hati yang amat besar. "Ayah benar." Jawab Davin dan Viona serentak. Sama-sama dalam keadaan kedua pipi yang memerah pula. "Mas, jangan bercanda!" keluh seorang gadis yang berlari menyusuri seorang pria, yang berlari menuju ke arah ruang tamu. Membawa sebuah ponsel di tangannya. Disusul oleh gadis yang tidak lain adalah Adinda, yang langsung memeluk si pria untuk merebut ponsel tersebut. Seketika Viona dan Abraham tersentak. Melihat siapa pria yang kini sedang dipeluk Adinda. "Mas Haris," gumam Viona dengan mata yang mulai berembun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN