4

1577 Kata
”Ollie, kapan kau akan menikah? Umurmu hampir kepala tiga, sampai kapan kau akan seperti ini terus. Kalau Ayah lihat kau tidak punya teman, tidak pernah bergaul. Jangan terlalu pemilih dalam mencari jodoh!” diskusi dengan orang tuanya terutama ayah, membuatnya sakit hati dan berurai air mata.           Pernyataan itu terlalu menyakitkan dan terlalu tajam menusuk hatinya, bukannya selama ini dia tidak terpikir. Namun Tuhan belum berkehendak mempertemukan aku dengan orang yang terhubung benang merah dengan diriku ini batin Ollie.           ”Yah, aku tidak terlalu pemilih, tetapi bolehkah aku mempunyai harapan bahwa orang yang akan bersama seumur hidup denganku bisa memahami seperti apa diriku ini. Aku bukannya tidak berpikir dengan umur dan kondisiku ini, aku sangat berharap akan bertemu jodohku. Tetapi apakah kita harus memaksa? Memaksa kemana? Orang yang paling sangat tidak enak hati itu pastinya aku, bukan Ayah, Ibu atau saudara yang lain.” Jawabnya emosi dengan mencoba menghapus air mata yang mengalir dengan lengan baju karena diskusi ini membuat dia lelah secara fisik dan mental.           Elusan lembut tangan di pundaknya menandakan bahwa ibu sangat tahu seperti apa rasa yang dia rasakan saat ini. Dengan mencoba menjelaskan maksud ayah bahwa itu bukan hal yang mudah bagi ayah untuk memulai. Tetapi setiap diskusi yang berlangsung tentang masalah rentan ini akan membuatnya tambah frustasi.           ”Untuk teman, apakah aku tidak mempunyai teman dan tidak bergaul, padahal aku memiliki kakak angkat di kampus, apakah selama ini ayah tidak tahu bahwa aku selama sekolah tidak pernah di rumah kecuali hari libur. Itupun terkadang aku lewatkan dengan temaan-teman sekolah di ekskul atau jalan ke tempat wisata.” Jelas Ollie masih sakit hati, walupun tidak ingin melukai orangtuanya tetapi beban dengan di cap orang tua sendiri seperti ini sangat tidak nyaman.           Melihat Ollie sudah berlinangan air mata dan tersedu sedan, akhirnya diskusi ini selesai dengan menyisakan perasaan canggung. Apakah bila bicara sekarang akan aman dan tidak menoreh kembali pembicaraan tadi. Tanpa melihat lagi ayahnya meninggalkan ruangan tengah tempat diskusi berlangsung.           Ruangan tengah di keluarga Ollie merupakan ruangan untuk keluarga berkumpul dan mencurahkan kasih sayang, baik sekedar bercanda ria dan saling mengolok-olok saudara atau hanya saling bercengkrama tentang kegiatan hari itu.           Malam ini sepertinya aku akan tertidur dengan beruraian air mata terlebih dahulu sebelum terlelap batin Ollie. Mungkin besok akan terlihat sipit mataku ini, atau lebih tepatnya bengkak karena sebelum tidur menangis tidur. Sambil berdiri dan hendak menuju kamar dia berkata pada ibunya yang merasa perasaannya terbelah antara ayah dan dirinya yang sudah menangis ”Aku mau tidur, Bu!”           ”Iya, sayang. Jangan menangis sebelum akhirnya tertidur, tidak baik. Besok kau juga akan kerja.” Beliau mengingatkan Ollie biar tidak terlalu larut dengan perkataan ayah.           Ibu mengerti benar tentang dirinya yang lebih perasa dibandingkan saudaranya yang lain. Kalau saudaranya yang lain mungkin tidak terlalu ambil pusing apa yang terjadi, tetapi Ollie sedikit lebih lama sembuh dengan guncangan emosi seperti ini. Ibunya takut kalau-kalau akan terjadi perang dingin di meja sarapan besok.           Perasaan ibu yang membenarkan sebagaian perkataan ayah dan juga tidak menutup hati bahwa Ollie tidak sepenuhnya benar seperti yang ayah tuduhkan. Ollie mempunyai kehidupan yang normal, namun memang karena terbilang orang yang pendiam merubah pandangan orang baru kenal dengannya dan berpandangan sebaliknya.           Pandangan pertama semua teman-temannya mulai dari sekolah SMP sampai kuliah selalu menganggap Ollie sebagai pribadi yang dingin, tidak tersentuh, dan sangat dewasa atau jauh dari sifat mereka yang have fun. Teman-teman mengerti seperti apa Ollie, biasanya setelah melakukan kegiatan lapangan yang membutuhkan keahlian fisik. Ollie yang di mata mereka, seperti anak lemah, terlalu dewasa, dingin dan tidak tersentuh berubah padangan seratus delapan puluh derajat, ternyata tidak seperti itu kalau diajak ngobrol nyambung dan bahkan sedikit lebih gila apalagi bila menyangkut dengan alam.           Pertemanan yang dijalin melalui pemahaman ini bahkan lebih dinikmati daripada berteman tetapi dengan embel-embel kepura-puraan bahwa mereka peduli dan mereka senang dengannya. Ollie merupakan pribadi yang susah untuk memulai dan terkadang lamban dalam membaur dengan lingkungan sekitar, tetapi hal itu dikarenakan kebanyakan dari mereka yang terlalu cepat mengangap bahwa dia sombong karena tipe orang pendiam. Bicara yang diperlukan saja dan bahkan terlalu asyik dengan kerjaan yang ia lakukan.           Apakah hal ini yang menjadikan Ollie belum menikah di usia hampir kepala tiga? Atau jodoh yang akan datang kepadanya terlambat karena sesuatu alasan yang tidak terduga? Kebanyakan orang memandang rendah keadaan dirinya seperti ini, tetapi dia tetap punya keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan jodoh yang terbaik buatnya, jodoh yang benar-benar sayang dan dapat memahami Ollie seperti dia memahami dirinya sendiri. Orang yang akan melunturkan sikap pendiamnya.           Perenungan kembali masalah pelik dalam kehidupannya membuat Ollie tertidur sambil menangis, nasehat yang diberikan oleh ibu terabaikan tanpa berpikir harus bagaimana esok untuk kerja dengan kondisi mata bengkak. ”Aku memaafkan dirimu ayah, aku tahu dirimu mencemaskan keadaanku, tetapi apakah tidak bisa lebih halus menyampaikan kepada diriku ini. Aku bukan sengaja menjawab dengan begitu emosi tadi.” Ollie bergumam sebelum tertidur dengan linangan air mata.           Ollie berusaha selalu dan berharap akan selalu memandang setiap orang dari sisi terbaik yaang mereka punya. Dan memaafkan perbuaatan mereka yang dilakukan terhadapnya siapapun itu apalagi orangtuanya, walaupun terkadang itu sangat sakit dan menyakitkaan. Hal ini dia lakukan dengan sepenuh hati agar ketenangan jiwa yang dia perlukan unuk mengarungi hidup yang begitu rumit jika dipandang sulit, dan akan sangat mudah jika pandangan kita terhadap kehidupan ini mudah.           Ollie hanya sebentar pulang saat ini karena ada libur, tetapi besok ia akan kembali ke kota yang berjarak tiga jam perjalanan dan langsung ke kantor. Walaupun itu berarti ia akan berangkat dengan mata sedikit bengkak, dan semoga orang yang melihatnya akan beranggapan karena kurang tidur saja. ∞           Hendry mendapat libur pertamanya hari minggu ini, ia akan mengunjungi kembali desa tempat ia bersekolah dulu. Dan tentu saja rumah Violet juga berada di sana, ia akan memulai melacak dimana keberadaannya. Apakah di desa tempat tinggal orang tuanya atau tidak. Hendry akan memastikannya sehingga bisa membuat langkah selanjutnya apa yang akan dia perbuat.           Rumah Violet sudah dipugar, tidak seperti waktu kecil dulu. Tidak tampak rimbun dengan banyaknya pohon buah-buahan yang mengelilinginya, sekarang berganti dengan tanaman bunga yang ditata dan berada yang diperluas.           Rumah itu sepi, Hendry sempat ragu apakah ia akan bertemu kembali atau harus memulai pencarian sedikit lebih lama lagi untuk dapat melihatnya. Dengan sedikit melamun di pintu pagar saat mengamati bagian rumah itu, ia dikejutkan suara sapaan dari samping kirinya.           ”Cari siapa nak?” suara lembut seorang ibu menyadarkannya.           Hendry melihat ibu Ollie berdiri di sebelahnya dengan memegang gunting tanaman dan berdiri di balik rumpun tanaman bonsai yang ditatanya. ”Violetnya ada di rumah, Bu?” Hendry berkata sambil tersenyum.           ”Violet baru berangkat saja ke kota, besok akan masuk kerja. Ia bekerja di sana. Anak ini siapa?” ibu Violet menjawab sambil memandang dengan penuh minat.           ”Saya temannya, bu. Berarti saya selisih di jalan dengannya.” Hendry menyembuyikan kenyataan bahwa ia mencari Violet.           ”Tidak ada janji mau ke sini?”           ”Tidak, bu. Saya pikir Violet masih ada di rumah karena kemarin libur. Kebetulan saya lewat tempat ini dan sekalian mampir. Saya belum pernah ke rumahnya di kota, apakah ibu dapat memberi tahu alamatnya! Ada berkas yang mau saya serahkan.”           ”Maaf nak, Ibu tidak tahu pasti alamatnya tapi ia tinggal di pusat kota. Maklum sudah tua sering lupa, kalau mau ke sana ibu biasanya naik travel yang langsung mengantar sampai depan rumahnya. Tidak Masuk dulu! Walaupun tidak ada Violetnya, istirahat di dalam.” Ibu Violet bergegas ke depan pintu pagar sambil melepaskan sarung tangan berkebunnya.           ”Tidak usah, bu. Saya juga sudah mau berangkat ke kota lagi, tadinya sekalian mau mengajak Violet bareng.” Hendry memberi alasan yang terdengar logis, walau dalam hati ia sedikit kesal karena selisih jalan. Walaupun masih pagi tetapi ternyata Violet sudah tidak ada di rumah dan ia belum bisa bertemu dengannya.           ”Benar tidak mau masuk dulu, sekalian istirahat sebelum kembali perjalanannya?”           ”Tidak usah, bu. Saya pamit dulu.” Hendry mengucapkan salam dan kembali ke mobil yang disewanya. Ia berharap dapat mengejar Violet, namun sepertinya mustahil. Violet menuju ke kota saat ia pergi menuju ke rumahnya.           Hendry pergi ke tempat yang sering dikunjungi Violet sabagai tempat untuk menyendirinya, dari bukit ini bisa memandang sejauh mata memandang hamparan hijau rumput yang terbentang. Semilir angin yang berhembus menyejukan suasana yang jauh dari keramaian.           Saat senja Hendry menuju pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa, ia seharusnya pergi ke desa kemarin sehingga dapat bertemu dengan Violet di rumahnya. Namun ada pasien yang tidak dapat diabaikannya dan memakan waktu yang lama. Ia sampai di tempat tinggal sementaranya sudah malam. Setelah menghabiskan banyak waktu berendam untuk menyegarkan diri kembali dan menghilangkan kekesalannya karena kejadian tadi siang. Setelah merasa suhu air mandinya telah dingin ia keluar dari kamar mandi dan merebahkan diri di tempat tidur dengan memakai jubah mandi.           Ia mendesah di tempat tidur, dan mengerang karena orang tua Violet kurang tahu dimana alamat tinggalnya di kota ini, dan ia beralasan untuk menyerahkan berkas sehingga ia tidak dapat menanyakan alamat kantornya. Mengapa ia tadi menyampaikan hal itu sebagai alasan, sehingga menutup ia untuk bertanya di mana tempat Violet bekerja. Hanya garis besar yang didapatnya bahwa Violet tinggal dekat pusat kota, sedikit mempersempit pencarian tapi itu tetap saja luas.           Hendry memikirkan cara bagaimana pencariannya di kota ini. Kota ini kecil tetapi tetap saja luas, dan kemungkinan bertemu dengannya bisa terjadi secara tidak sengaja atau bahkan tidak bisa bertemu. Tetapi pertanyaannya adalah apakah ia dapat langsung mengenalinya atau tidak saat ia kembali bertemu? Ia sudah sangat lama tidak bertemu dengan Violet. Apakah penampilannya tetap sama seperti dulu, dengan menggunakan gaun atau rok. Rambut yang dibiarkan tergerai bergelombang dan hanya jepit bunga di kedua sisi di atas telinga. Itu ingatan yang Henry punya tentang Violet kecilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN