Hari minggu janji yang diucapkan untuk bertemu di tempat dan jam yang sama, membuat Hendry sangat bersemangat. Ia sudah menelpon Ollie dan mengingatkan kembali janjian mereka. Dan Ollie-pun telah setuju untuk memenuhi janjianya yang terpaksa dilakukan, hanya karena Hendry memiliki alasan-alasan yang membuatnya berjanji untuk bertemu dan datang.
Hendry datang dua puluh menit lebih cepat dari jadwal mereka bertemu, ia sudah mengelilingi dan melihat-lihat buku apa saja yang baru dan barangkali ada yang ingin ia beli. Suasana hatinya benar-benar berubah sekarang, ia lebih banyak tersenyum dan bersikap lebih terbuka dengan rekan-rekan kerjanya.
Setelah sepuluh menit lewat dari janji yang mereka sepakati, Hendry mulai gelisah dan sedikit gusar. Sambil melirik jam di pergelangan tangannya, dan berkali-kali memandang ke pintu masuk. Ollie belum juga datang, ia bertanya-tanya. Apakah Ollie tidak jadi datang? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Ia teringat kembali nafas yang terdengar saat ia menelpon Ollie dua malam sebelum hari ini. Hendry benar-benar gelisah dan mengira-kira sendiri apa yang terjadi.
Setengah jam lewat dari janji bertemu Hendry melihat Ollie berjalan cepat menuju ke toko buku sambil melihat jam di tangannya. Mukanya sedikit pucat, dan seperti kehabisan nafas. Setelah mendekati pintu masuk, Hendry melihat Ollie mengatur nafas dan mulai berjalan masuk sambil mengedarkan pandangan mencari sosok Hendry.
Ollie melihat Hendry berjalan menghampirnya, dan memandang wajah Hendry seperti marah. Setelah dekat dan cukup terdengar oleh Hendry, Ollie berusaha menjelaskkan ”Maaf. Telat. Tadi beres-beres rumah dulu, jadi lupa waktu dan... ya akhirnya telat.” Sambil tersenyum malu.
”Bukan ke tempat lain dulu!” goda Hendry tetap memasang wajah serius.
”Tidak...! tidak ada janji yang lain hari ini.” Ollie menyakinkan Hendry dan seluruh badannya bergerak untuk menyakinkannya.
Dan tingkah itu membuat Hendry tidak tahan untuk tidak tersenyum lebar. Melihat itu, Ollie sadar bahwa Hendry hanya menggodanya.
”em.... jadi tidak marah. Mengapa memasang wajah yang begitu sangar.” Rajuk Ollie. ”Aku berusaha cepat ke sini sampai ngos-ngosan malah di sambut begini. Aku mau pulang!”
”Mau kemana?” Hendry menangkap lengan Ollie dan menariknya untuk masuk lebih jauh ke dalam toko buku. Ia melihat tas yang Ollie sandang tidak diselempangkan seperti biasanya, tetapi hanya di sandang di bahu. Itu membuat Hendry menarik tas tersebut dan menyandangnya. Tas yang dipakai Ollie lebih mirip tas cowok dari pada tas cewek.
”Hei... kembalikan!”
”Ini untuk berjaga-jaga biar kau tidak melarikan diri.”
”Aku tidak melarikan diri kok. Janji!” Ollie mengangkat kedua jarinya seperti bersumpah.
”Percaya kok. Tetapi biar aku yang pegang tasnya. Supaya kamu lebih ringan.”
Ollie menyerah, ia sudah tahu percuma berdebat kalau ia tidak bakal menang dalam hal ini. Hendry sepertinya sudah mengantisipasi apa saja yang bakal dikatakan atau dilakukan oleh Ollie. Dengan menyandera tasnya, Ollie tidak akan bisa kemana-mana semua barangnya ada di dalam tas itu.
Mereka menyusuri deretan etalase yang ada, namun Ollie tidak satupun mengambil buku. Hal itu membuat Hendry heran ada apa dengannya, biasanya kalau pergi ke toko buku tidak lama ia pasti sudah memegang sebuah atau beberapa buku untuk dibelinya.
”Tidak beli buku hari? Tidak ada yang menarik?” Hendry memandang Ollie penuh selidik.
”Tidak juga, mungkin besok atau minggu depan saja.”
”Buku mana yang menurutmu menarik?” Hendry mengambil buku yang tadi dilihat Ollie, membaca secepatnya dan menoleh ke Ollie yang sedang mengangkat alis melihatnya. ”Ada apa dengan alis itu?”
”Pertanyaan yang aneh.” Ollie berjalan kembali meninggalkan Hendry.
”Itu menandakan bahwa kamu lagi menduga-duga apa yang aku lakukan. Apa yang kamu kira?”
”Tidak ada. Soalnya jarang ada cowok yang memilih bacaan romantis, biasanya kalau tidak misteri ya horor.”
”Apakah itu tidak memvonis? Melihat belum tentu membeli. Sudah selesai belum melihat-lihat? Kalau sudah kita keluar.”
”Sudah, mari kita pergi.” Mereka berjalan menuju keluar setelah dekat dengan kasir langkah Ollie terhanti karena tarikan tangan Hendry pada lengannya.
”Tunggu dulu. Aku bayar ini dulu.” Hendry mengacungkan beberapa buku yang diambilnya ke Ollie. Ollie melihat buku yang tadi sempat dibacanya agak lebih lama dibandingkan yang lain, dan sempat dibaca oleh Hendry tadi, juga ada di tangannya.
Melihat alis Ollie kembali menaik, Hendry berujar ”Ini bukan untukku, tapi untukmu.” Dan pernyataan itu membuat mata Ollie melotot. ”Aku tahu kau suka baca buku, jadi aku tidak bakal rugi karena membelinya. Karena kamu pasti membacanya, mungkin bisa sedikit spesial nanti!” Hendry mengedipkan matanya dan melangkah menuju kasir dan kembali menoleh kearah Ollie sambil tersenyum penuh arti melihat wajah Ollie yang berubah menjadi salah tingkah.
Orang yang aneh pikir Ollie sambil melihat-lihat buku yang ada di dekat kasir sambil menunggu Hendry melakukan transaksi. Mengapa aku merasa benar-benar nyaman dekat dengannya? Seolah-olah ia sudah lama kenal dan mempunyai keterikatan di masa lalu. Tetapi Ollie tidak pernah ingat siapa Hendry jika pernah bertemu. Kapan? Dimana? Ollie melirik kearah Hendry berada, tepat saat mengambil barang yang dibelinya.
Memandang Hendry mendekat kearahnya, benar-benar suatu pemandangan yang menarik. Dan Ollie mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan menyadari bahwa banyak orang khususnya wanita juga memandang kearah Hendry. Dan membuat Ollie melihat dengan cermat apa kira-kira yang menarik perhatian mereka kepada Hendry.
Hendry memiliki tampang yang tampan, dengan rambut hitam mengkilat yang dipotong rapi, badan atletis, hidungnya mancung, kulit gelap, mata hitamnya tajam, dan rahangnya tercukur rapi, ia sepertinya harus bercukur setipa pagi agar tetap dengan berpenampilan rapi. Itu semua bukan kekurangan darinya tetapi menjadi daya tarik untuk orang melihat ke arahnya, belum lagi aura yang terpancar dari dirinya.
Hendry tiba didekat Ollie dan memandang wajahnya dengan serius, jarak yang tersisa saat Hendry berhenti dihadapan Ollie hanya selangkah lagi. Dengan jarak yang begitu dekat, membuat Ollie harus mendongak untuk memandang wajah Hendry. Tinggi Ollie 160 cm cukup tinggi dibandingkan kebanyakan temannya, dengan orang lain Ollie hanya perlu menatap sejajar, tetapi dengan Hendry membuat ia harus mendongak untuk menatapnya. Tinggi Hendry sekitar 180 cm tebak Ollie. Saat ia menurunkan pandangan dan pandangannya sejajar, ia hanya menatap pundak Hendry.
”Ada yang menarik dengan diriku?” Hendry tersenyum dan membuyarkan lamunan Ollie. Melihat Ollie tergagap dan salah tingkah, membuat Hendry tertawa lembut.
Ollie tidak menjawab dan langsung melangkah keluar, yang cepat segera di susul oleh Hendry hingga berjalan sejajar. ”Kau belum menjawab pertanyaanku?” Hendry menoleh kearah Ollie dan terlihat wajahnya yang bersemu merah. ”Ku anggap itu sebagai ia.” Hendry tersenyum lebar saat Ollie menoleh dan melototkan matanya.
Setelah pertemuan mereka, Ollie memang menganggap bahwa Hendry tampan. Tetapi setelah ia memperhatikan dengan teliti, Hendry lebih jauh menarik dari pendapatnya semula. Walaupun dengan kulit lebih gelap, itu semakin membuatnya terlihat gagah. Sosok lelaki yang bisa menjadi impian semua wanita, pikir Ollie.
Karena berjalan tanpa memandang arah yang dituju hanya mengikuti alur jalan yang diarahkan Hendry, mereka sampai di dekat food mart. Hendry menarik lengan Ollie memasuki kantin tersebut menuju konter, untuk memesan makanan. Hendry menempatkan Ollie berdiri didepannya, dan memandang menu yang ada.
”Kau pesan apa?” Hendry seolah-olah ia bicara dari atas kepala Ollie.
”Sate saja.” Jawab Ollie spontan tanpa pikir panjang karena terganggu dengan suara Hendry.
”Minumnya mau apa?”
”Air putih.” Jawab Ollie pelan.
”Kami pesan sate dua porsi, air putih, jus mangga satu.”
”Adik anda tidak pesan minum lain, Mas?” tanya pelayan dengan senyum mengembang di bibirnya.
”Tidak pesan jus?” tanya Hendry melihat Ollie dari samping bahunya.
”Jus tomat saja.”
”Jus tomat satu.”
”Itu saja.” Tanya pelayan kembali
”Iya.” jawab Hendry, mendengar suaranya yang singkat dan sedikit kaku membuat Ollie berpaling dan melihat Hendry dengan penuh selidik sambil mengangkat alis matanya.
”Ini bonnya. Bayar di kasir nanti kembali kemari untuk menyerahkan slip dan nomor mejanya.” Pelayan itu menyerahkan bonnya sambil tetap tersenyum untuk menarik perhatian Hendry.
Hendry mengambil bon tersebut dan berjalan ke kasir untuk membayarnya sambil menggerutu. Di kasirpun sepertinya kejadian yang sama terulang ketika mereka menempati meja Ollie tidak tahan untuk tidak tertawa geli.
”Kenapa tertawa seperti itu?” bentak Hendry tidak senang.
”Memang apa yang terjadi sehingga sikapmu berubah begitu?” Ollie menantang Hendry masih tertawa geli keluar dari mulutnya.
”Ada apa dengan semua mata mereka, apakah tidak bisa menebak bahwa kau bukan adikku.” Gerutunya sambil melemparkan pandangan sekilas kepada wanita-wanita tadi. Dan kembali memandang Ollie dengan serius. ”Aku lebih suka kalau kau yang bersikap seperti mereka, dan itu baru saja terjadi tadi.” Hendry menggoda Ollie tentang kejadian sebeluum mereka tiba di sini.
Mendengar penjelasan Hendry, Ollie langsung terdiam dan memusatkan pandangan ke meja. ”Sepertinya lebih aman kalau aku menjadi adikmu?” Ollie berkata lirih.
”Iya, tentu saja. Adik ketemu gede dalam arti luas.” Setelah mengatakan itu Hendry terdiam. Mengapa ia berkata seperti itu, bukankah ia ke kota ini untuk mencari Violet. Kemanakah kira-kira keberadaannya sekarang? Pikiran itu membuat Hendry muram dan memandang meja sambil berpikir.
Melihat perubahan itu membuat Ollie bertanya-tanya. Ada apa dengan Hendry? sikap yang semula ceria dan suka menggoda itu tiba-tiba lenyap tak bersisa dan tertinggal hanya wajah lelah akan sesuatu.
Untuk memecah keheningan Ollie berkata dengan hati-hati ”Kau tidak apa-apa? Apakah semuanya baik-baik saja?”
Mendengar suara Ollie yang hati-hati itu membuat Hendry kembali memandangnya. Dan wajah itu seperti cerminan suara yang dikeluarkannya tadi. ”Iya, tidak apa-apa. Tadi hanya terpikir soal yang aku cari.” Nada menenangkan Hendry membuat wajah itu lega dan mulut yang membentuk huruf O lucu dengan kepala yang manggut-manggut.
”Aku pikir kau terserang sesuatu?” Ollie tersenyum jahil kearahnya.
”Apakah aku terlihat sakit.” Hendry bertanya serius sambil menatapnya, dan menunjukkan rasa humornya belum kembali.
”Bukan sakit penyakit. Tetapi sindrom hilang sejenak untuk mengembara ke berbagai tempat yang jauh, alias melamun berat.” Sambil mencondongkan badan ke depan Ollie mengucapkannya dengan sedikit berbisik.
Setelah memahami bahwa Ollie bermasud bercanda untuk menghilangkan kesalnya terhadap hal tadi, dan kata-kata yang terlontar tadi. Hendry tergelak sedikit lebih keras sehingga pengunjung yang berada di sekitar tempat duduk mereka melihat ke arah mereka.
”Yeah... ternyata cepat juga sudah kembali ke alam nyata. Jangan terlalu berisik. Bikin sensasi.” Ollie memperingatkan Hendry sambil cemberut karena menjadi pusat perhatian orang-orang.
”Maaf, sedikit terbawa suasana. Kau terlihat sangat lucu.” Hendry masih berusaha meredakan tawanya.
”Memang saya badut?” Ollie memberengut dan hal itu membuat Hendry lebih berusaha untuk tidak tertawa lepas kembali.
Pesanan mereka tiba, mengalihkan pembicaraan mereka dan mereka menikmati makanan mereka dengan obrolan ringan. Seperti minggu kemarin, setelah keluar dari tempat mereka makan langsung menuju ke parkiran sebelum berpisah sempat mengobrol singkat.
”Mengapa membawa kendaraan? Kau kan ke sini janjian denganku jadi bisa sekalian aku antar pulang.” Hendry sedikit kecewa karena Ollie membawa kendaraan sendiri.
”Biasanya kalau jalan aku suka tidak membawa kendaraan. Tetapi tadi sudah terlambat, daripada kelamaan menunggu angkot, ya.... lebih baik bawa kendaraan sendiri.” Jelas Ollie sambil mengangkat bahunya. ”Mungkin lain waktu.” Ollie tersenyum menyakinkan.
”Baiklah, nanti aku hubungi. Sampai jumpa lagi.” Hendry tersenyum. Dan merekapun berpisah menuju kendaraan masing-masing.