Tak terasa sebulan terjalin persahabatan antara mereka, walau hanya sebagai teman. Namun bagi Ollie, ini merupakan hal yang langkah, karena ada pria yang akrab dengannya. Ollie merasa seperti mempunyai kakak laki-laki, yang menjadi pelindung saat mereka lagi pergi ke suatu tempat. Walaupun hanya untuk acara jalan-jalan singkat, nonton atau hanya makan.
Kalau masing-masing sibuk dan tidak bisa bertemu, biasanya Hendry menelpon Ollie untuk menanyakan kabar atau sekadar untuk mengobrol ringan. Pada akhirnya itu menjadi kebiasaan rutin setiap malam, walaupun hanya untuk beberapa menit.
Pertemuan yang diadakan di kantor Ollie dua minggu kemarin, benar-benar membuatnya tidak bisa istirahat yang cukup. Setelah semuanya selesai, perasaan lega membuat Ollie hanya memikirkan untuk tidur yang banyak. Malam yang tenang, cuaca yang sejuk membuat ia cepat terlelap. Namun tidurnya terganggu dengan adanya bunyi dering ponselnya. Ia tersentak terbangun dan bertanya-tanya suara apa yang membuatnya terbangun, lalu mendengar kembali nada panggil ponselnya. Ollie mengambilnya melihat siapa yang menelponnya sebelum mengangkatnya.
”Halo!” jawab Ollie dengan suara serak.
”Hai, kau kenapa?” suara Hendry terdengar was-was.
”Bangun tidur.”
”Jam segini sudah tidur?” nada heran mempertanyakan mengapa tidur cepat ”Kira-kira menggangu tidak?”
”Em... ada apa? Bukannya kemarin kau sudah tahu bahwa aku sibuk, jadi malam ini hanya satu yang ingin aku lakukan tidur nyenyak sampai pagi.” Ollie bergumam dengan mata yang terpejam mengantuk.
”Iya, aku tahu dua minggu kemarin kamu sibuk. Besok ada waktu? Kita jalan-jalan.” Hendry mengajak Ollie untuk ketemuan.
”Iya.” Jawab Ollie setengah tidak sadar apa yang dikatakan Hendry, ia hanya mengiyakan apa yang ditanyakan kembali kepadanya.
”Aku jemput besok ya”
”Hem.” Dan ponsel Ollie terlepas dari tangan ia tertidur.
”Kau masih di sana?” hening tidak ada jawaban, Hendry tersenyum dan mengatakan ”Tidur yang nyenyak sayang! Have a nice dreams.”
Hendry meletak ponselnya kembali ke meja, dan berbaring ke tempat tidurnya sambil tersenyum. Ia merenung bahwa ia kemari untuk mencari gadis masa kecilnya, Violet untuk membuat impiannya selama ini menjadi nyata.
Namun dalam perjalanannya, ia susah untuk menemukan keberdaan Violet. Bahkan orangtua Violet juga saat ia tanya tidak ingat alamat tempatnya. Dan karena waktu itu ia memberi alasan akan menyerahkan bahan untuk Violet itu membuat ia tidak bisa menanyakan alamat tempatnya berkerja. Hendry juga telah memceritakan keadaannya kepada ibunya, dan pendapat ibunya mengatakan bahwa kemungkinan Ollie adalah orang yang sama.
Namun itu sangat mustahil, batin Hendry. Violet cenderung orang yang feminim, selalu mengenakan rok atau gaun yang lagi tren. Tetapi Ollie, ia lebih suka memakai celana gunung, baju kaos dengan jaket di luarnya, dan sepatu olahraga. Walaupun Hendry belum pernah sekalipun melihat Ollie dalam pakaian kerjanya. Mereka benar-benar berbeda, tidak mungkin kalau Ollie adalah Violet, ia tidak akan berubah sejauh ini soal berpakaian. Mereka sepintas terlihat mirip, dan Ollie benar-benar orang pertama yang mampu menarik perhatian dan merasa nyaman berada didekatnya saat masa dewasa Hendry. Hendry hanya ingin menikmati hubungannya dengan Ollie seperti air mengalir, sampai takdir menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah merenung agak lama, Hendry akhirnya menghubungi ibunya. Pada dering kelima sebelum sambungan telepon terputus, akhirnya ada suara diujung sana.
“Assalamu’alaikum, sayang ibu. Apa kabar?” suara ibunya terdengar senang.
“Wa’alaikumsalam. Hendry baik, mom.” Jawab Hendry dengan bersungut. “Ibu bisa tidak jangan menggunakan nada seakan Hendry ini anak kecil.”
“Kamu tetap anak kecilnya ibu, yang tertuakan kakakmu.” Ibunya tetap menggodanya, seperti kebiasaannya kepada Hendry.
“Tetapi Hendry kan udah besar, Mom. Masa masih diperlakukan seperti anak kecil terus.” Hendry masih kesal dengan nada ibunya.
“Kamu tetap anak kecilnya ibu, walaupun umur berapapun kamu.” Ibunya tetap keras kepala, kalau dia ingin memperlakukan anak-anaknya seperti masih kecil. Kejailan ibunya bukan hanya kepada Hendry tetapi kepada kakaknya juga. namun keusilan ibunya hanya terjadi di rumah, saat di luar rumah kalau ada anaknya diperlakukan dengan buruk dia tidak akan segan-segan menjadi singa betina yang akan melindungi anaknya dari apapun.
Sekesal apapun Hendry pada ibunya, setiap perdebatan masalah ini dia tidak akan menang. Dia tidak marah sama sekali, hanya memasang wajah cemberut saja. Di seberang telepon dia mendengar ibunya tertawa menang perdebatan mereka. Sebelum suara berubah menjadi serius.
“Ada apa kamu menelepon? Rindu sama ibu atau ada masalah yang mau kamu ceritakan?”
“Rindu dengar suara ibu. Rindu saat ibu melakukan kejailan kepada Hendry walaupun ibu tahu bahwa Hendry udah dewasa.”
“Tetapi, bukan itu saja sepertinya?” tebak ibunya tepat sasaran.
“Mengapa ibu berkata seperti itu?”
“Ibu tahu anak-anaknya. Sembilan bulan kalian ada di perut ibu, suasana hati kalian bisa ibu tebak dengan baik. Apalagi saat mendengar suaramu sekarang.”
“hehehe...” hendry tertawa karena ibunya menebaknya dengan benar. “Ibu selalu bahkan sebelum Hendry berbicara seperti biasa.”
“em..ibu mendengarkan. Ada apa?”
“Hendry bingung, seperti yang pernah kita bicara dahulu. Hendry sebenarnya masih ingin mencari keberadaan Violet, tetapi semakin hari rasa itu perlahan menghilang. Keberadaan Ollie perlahan menghapus keberadaan Violet. Padahal Hendry selama ini tidak seperti ini.” Hendry mendesah lelah. “Hendry entah mengapa memiliki perasaan saat memandang Ollie, bahwa dia adalah orangnya yang selama ini Hendry cari.”
Setelah hening lama ibunya memancing anaknya untuk meneruskan “Tetapi....”
“Tetapi dia tidak sama dengan Violet yang dibenak Hendry.”
“Nak, wajah seseorang bisa berubah saat dia dewasa. Apakah kamu sudah menyelidiki siapa Ollie sebenarnya? Apakah kamu sudah bertanya siapa nama lengkapnya?”
Terdengar suara tertawa kecil diujung telepon yang didengar ibunya. “Saat bersama Ollie, Hendry seakan lupa waktu. Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk mengetahui siapa Ollie sebenarnya.” Setelah mendesah kembali Hendry mengeluarkan uneg-unegnya. “Sepertinya Hendry sedikit takut, Bu. Bagaimana kalau ternyata Ollie bukanlah Violet.”
“Jadi kamu menganggap bahwa Ollie ini adalah Violet?”
“Tidak juga. Hendry senang menghabiskan waktu bersama dengannya. Terasa lengkap rasanya hidup Hendry, jika bersama dengannya.”
“Anak ibu benaran jatuh cinta sepertinya nih.” Ibunya mulai membuat suasana lebih ceria kembali.
“Mungkin.”
“Kok mungkin sih? Kamu tidak tahu perasaan kamu sendiri?”
“Hendry masih terbebani dengan janji yang sudah Hendry buat dahulu.”
“Itu terjadi saat kalian masih sangat kecil, ibu rasa Violet juga tidak akan ingat juga akan hal itu. Bagaimana seadainya Violet sudah menjadi milik orang lain?” hening tanpa jawaban dari Hendry sehingga ibunya melanjutkan. “Kalau menurut ibu, kamu mantapkan saja hatimu, untuk membuka kembali lembaran baru dengan Ollie. Apalagi kamu mengatakan bahwa saat bersama dengan Ollie kamu merasa lengkap, itu berarti bahwa kamu sudah menemukan siapa orang yang pantas mendampingimu.”
“Kalian juga belum akan menikah dalam waktu dekat ini juga kok. Jadi mantapkanlah hati kalian berdua akan seperti apa hubungan yang akan kalian jalani kedepannya.” Ibunya menasehati Hendry karena kegalauan anaknya ini. “Sudah dulu, ini sudah malam. Kamu istirahat sekarang, jangan terlalu banyak pikiran. Jalani saja pelan-pelan. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Thanks mom, you’re the best, always.”
Hendry akhirnya lega, setelah mendapatkan wejangan dari ibunya yang selalu dapat dia handalkan. Dia akhirnya bisa istirahat dengan baik dan dapat tidur dengan nyenyak malam ini.