Ilka mengacak rambutnya. Memejamkan mata dan berusaha tidur adalah hal yang ia coba lakukan sejam lalu. Pemikiran yang terasa berat semakin menjauhkan kantuk. Meskipun kini dia berbaring di kasur mahal sebetulnya. Menatap lampu gantu hingga pagi menjelang, alhasil ia tak bisa tidur sedikitpun. Kantung mata hitam tercetak alami. Kini wajahnya sudah mirip mayat hidup.
Tapi topiknya bukan soal itu. Semua dimulai ketika kemarin tanpa pikir panjang ia menerima tawaran laki-laki itu untuk bekerja. Awalnya ia akan langsung pulang. Namun laki-laki itu bersikeras ingin agar dia tinggal sebagai syarat. Masa yang telah lalu dia hilangkan sejenak. Bagaiamanapun Ilka dengan segala pemikirannya kini harus berusaha bekerja se-professional mungkin sekarang. Ada kewajiban yang mesti dia tanggung. Pernyataan cinta, bekerja sebagai pengasuhnya. Tidakkah merupakan rangkaian ironi ?
Tak ambil pusing, setelah persiapan tuntas. Dia menuju kamar si bocah tengik yang telah resmi menjadi tuannya. Pintu kayu mahoni yang menjadi pembatas dia sentuh dengan hati-hati. Jantungnya berdebar dua kali lipat dari biasanya, memasuki kamar laki-laki jelas bukan sesuatu yang patut baginya. Tapi mau bagaimana lagi. Sebagai pelayan tentu saja hal seperti itu lumrah.
"Dia masih tidur ?"
Ilka berbisik, setelah berhasil memasuki kamar serba maskulin. Matanya menatap keseluruhan interior ruangan yang Ilka pikir bagian dari kepribadian sang tuan. Ada ring basket disudut dinding dan poster yang tertempel. Tatanan yang tidak rapi jelas terlihat dari banyaknya barang bercecer, sampah dan majalah tergelatak seenaknya. Namun dengan segala pemandangan perusak mata ia malah tak tahu mesti berbuat apa dan justru memilih bersandar di depan pintu. Memandang lurus laki-laki yang lebih muda darinya dari tempat ia berdiri. Laki-laki itu terlelap meski sinar mentari mengusiknya. Wajah yang damai. Ilka tersenyum, meski kemudian ingatannya melambung tepat pada peristiwa kemarin. Pipinya memanas. Pernyataan cinta pertama dalam hidupnya. Ya, sebab meskipun pernah berpacaran. Yang mengakui perasaan pertama kali adalah dirinya.
"Ada apa Senior ? Mengintipi aku tidur ?"
Suara yang masih serak khas bangun tidur, Ilka terperanjat dari khayalannya. Menatap sang sumber suara dengan tatapan sebal. Menutupi sebuah khayalan liar yang melintas.
"Sa-sarapan sudah selesai."
Ilka menutup mulutnya. Disaat berusaha membangun harga diri. Dia malah terlihat gugup, sungguh sangat tidak elite.
"Senior pikir aku akan percaya begitu saja ?"
Laki-laki itu mengubah gesture, dia kini duduk diatas ranjang sambil bertopang dagu, memandang Ilka yang masih berada diposisinya. Seolah dengan menatapnya bisa menjadi sebuah penghiburan.
"Apa maksudmu ?"
Ilka berusaha menyangkal. Di pipinya sudah timbul kemerahan. Dan Laki-laki itu justru semakin tertantang untuk menggodanya.
"Ya, kupikir Senior berdiri disana beberapa puluh menit lalu sambil tersenyum. Apa yang seperti itu bukan bagian dari mengintip ?"
Skakmatch ! Ia berseru ketika dengan telak dia membuat sang seniornya tak berkutik. Jelas ada kemarahan dari rautnya, namun itu tak masalah. Dia menyukai semua reaksi alami yang diberikan gadis itu.
"Lupakan ! Aku tidak akan mau masuk ke kamarmu lagi !"
Belum habis Ilka keluar pintu. Sepasang tangan besar merangkulnya dari belakang. Kikuk. Ilka tak terbiasa berada dalam situasi intens semacam ini. Pipinya memanas, bagaimana bisa bocah kelas satu membuat perasaannya campur aduk ?
"Senior pikir aku akan membiarkanmu begitu saja ?"
Dagu pria itu terantuk pada bahu Ilka. Napasnya yang hangat sedikit menggelitik.
"Aku masih menunggu jawaban Senior loh."
Laki-laki itu berbisik, sedikit menjilat perpotongan leher si gadis sebagai penutup permainan menyenangkannya.
"Ap-"
Merinding, Lekas Ilka melepaskan kungkungan yang mengurungnya. Pipinya sudah semerah tomat sekarang. Menepis dan menendang tulang kering pria tinggi itu nyatanya adalah sebuah refleksivitas yang tiba-tiba. Menutup sebelah wajahnya Ilka berlalu. Dia sangat malu. Penggoda yang jahil.
"Jangan mempermainkanku bocah bodoh !"
Dari balik ruangan Ilka berseru. Sementara didalam sana sang pemuda berjongkok menatap lantai. Kakinya yang berdenyut dia abaikan begitu saja.
"Ah, dia benar-benar sangat lucu."
Sebuah senyuman terpatri pada air mukanya yang maskulin. Senyuman tulus.
***
"Loli bodoh ! Apanya yang pengasuh ?!"
Tiba di sekolah Ilka segera saja memborbardir si pendek untuk buka suara. Pasalnya seolah tanpa dosa dia menatap Ilka heran. Bukankah sudah jelas ? Ingin rasanya Ilka mencongkel mata pinky gadis itu. Ah, tapi tentu saja hal itu melanggar kemanusiaan. Dan kesalahan terfatal adalah dirinya dia yang terpaksa mengambil pekerjaan. Walau sudah tahu resikonya.
"Pengasuh ? Oh, yang kemarin. Aku lupa bilang kalau teman ibuku sudah memiliki babysitter. Maaf."
Kini kemarahan berganti menjadi sebuah tanda tanya besar. Lupa mengabari ? Cepat Ilka merenggut sebuah kertas laknat yang merupakan catatan alamat yang diberikan Loli padanya kemarin. Membuka kemudian memperlihatkannya sekali lagi pada sang kawan.
"Apa alamat yang kau beri padaku benar ?"
Sesungguhnya Loli tak begitu peduli soal itu, namun menatap keseriusan dari wajah sang sahabat membuatnya penasaran sekaligus curiga.
"Iya, kupikir begitu."
Ilka gemas sekaligus kesal. Respon yang ia terima sangat diluar dugaan. Sangat santai dan justru ia merasa semakin depresi.
"Ini angka nol kan ? Yang ini angka lima kan ?"
Menatap Loli, Ilka tak habis pikir ekspresi sahabatnya malah berubah kesal. Loli kemudian mengambil kertas lusuh itu kemudian menelitinya.
"Jangan bilang kau tidak baca tulisanku. Jelas itu angka tiga."
Terkejut dengan itu, Ilka cepat menyambar kertas ditangan Loli. Matanya membelalak. Salah alamat ? Ingin rasanya menjambak rambutnya sendiri. Ketika otaknya berputar, justru semua yang teringat malah hal memalukan.
"Ini tiga ?"
Ilka mengulang, sebagai bentuk protes dengan ketidakpercayaan.
"Ya."
"Oh, man !"
Kini dirinya merasa menjadi pribadi paling bodoh. Lemas, dia terpuruk dimeja sang sahabat. Menarik atensi sekaligus banyak tanda tanya. Namun belum pula terucap seorang guru datang dan mengintrupsi pagi ribut yang telah menjadi rutinitas.
***
"Senior Ilka aku mau menagih bekal makan siang yang kau janjikan."
Pemuda bertubuh tinggi tiba-tiba berteriak memecah sunyi. Kontan Ilka mendekat cepat kearah pemuda itu dengan setengah menyeretnya dari jangkauan penglihatan publik. Bukan soal pamor atau hal lain. Hanya saja rumor tak sedap pasti akan datang jika ia tak waspada. Mengingat pula jika laki-laki dihadapannya tak memiliki watak yang dirasa Gentleman.
"Jangan masuk kelasku ! Siapa pula yang menjanjikanmu makan siang ?"
Ilka protes keras pada si kepala batu yang nampak tak terganggu. Dia malah menatap Ilka datar dengan posisi tubuh bersandar pada dinding.
"Senior, aku ingin kau memanggil namaku."
"Hah ? Apa yang kau bicarakan ? Kita sedang tidak membahas soal itu."
Dalam sekali gerakan Ilka berpindah. Tiba-tiba ia dipojokan didinding dengan kedua tangan pemuda itu mengungkungnya. Sangat dekat, Ilka mengakui jika ia terjebak dalam situasi paling menegangkan seumur hidupnya.
"Panggil namaku atau aku akan menciummu."
Suara pemuda itu menegas, dalam bimbang otaknya tak mampu berpikir jernih. Ia terjebak dalam pilihan yang sulit. Ketika wajah pria itu semakin mendekat. Lima centi, tiga centi, dua centi, satu centi.
"Zion."
Lirih, Ilka berucap sambil memejamkan matanya. Dia tak mampu menebak apalagi menatap lawan bicaranya. Tubuhnya kaku namun tak menolak. Sebuah respon yang mengherankan.
Dari balik kegelapan mata gadis itu. Zion menyunggingkan sebuah senyum kecil. Matanya berbinar dan pipinya sedikit memanas. Targetnya sedikit berbelok. Dan ia memilih mengecup puncak kepala gadis itu.
"Ilka Maryjoana."
Sebuah bisikan manis yang membuat si pemilik nama merinding. Kakinya melemas. Entah darimana datangnya, ia tak tahu. Yang jelas dalam lubuk hatinya terdalam dia menikmatinya.
"Jangan membuka matamu dulu."
Ilka mendengar suara laki-laki itu gugup. Namun karena keanehan itu dia justru tertantang membuka mata. Dia melihatnya. Sosok Zion si tukang penggoda tengah tersipu. Jelas, pemandangan langka dan membuat Ilka gemas.
"Kau benar-benar laki-laki yang membingungkan."
To be Continued