Bola basket yang menggelinding keluar lapangan, seolah disengaja. Ilka tak mau repot mengorbankan waktunya untuk memungut benda tak bermutu. Insiden pagi tadi membuatnya masuk dalam daftar kesialan awal. Mulai karena dianggap terlalu berlebihan dalam hal bersolek yang faktanya adalah ulah sahabatnya Loli dan juga umpatannya yang kelewat kencang sampai kesiswaan turun tangan. Dan kini dia disini berdiri dengan tidak elit sambil kedua tangan memegangi alat kebersihan di tepi lapangan. Dan dari sudut ia berdiri, Ilka dapat jelas melihat bocah tengik yang memegang dadanya tadi pagi tengah asyik bermain basket. Meskipun kejiadian itu sebuah kecelakaan sebenarnya, tapi Ilka tak bisa tenang.
"Lihat Senior yang berdiri disana cantik ya."
"Kira-kira, ukurannya berapa ya ?"
Samar Ilka mendengar bisikan laknat dari siswa yang notabene juniornya yang baru ditingkat awal. Mendengus, dan tak mau peduli. Biarlah anjing menggonggong Kafilah berlalu. Hukumannya akan jauh lebih berat bila dirinya peduli pada bocah tak bermoral yang sibuk memperdebatkan ukurannya.
"Kau tahu, bahkan ketika aku memegangnya-"
Ilka berbalik mendengar suara tak asing yang turut campur tangan dalam perbincangan tak senonoh. Dan betul saja, laki-laki pagi tadi yang bicara. Entah mengapa ada dorongan kuat untuk melenyapkannya. Kakinya bergerak sendiri. Ilka tak mengerti mengapa ia tak bisa saja bertingkah tak peduli seperti biasanya.
"-tidak sebanding telapak tanganku. Lihat, bisa kalian bayangkan betapa datarnya-"
Jemari Ilka dengan cepat menarik pergelangan tangan bocah itu. Dengan sigap, keras dan tangkas dia menarik tubuh laki-laki itu menjauh dari kedua siswa lain yang nampak terperangah.
"Ikut aku sekarang."
Tanpa menoleh Ilka melancarkan aksi. Bermaksud memberi peringatan pada bocah tanpa nama yang lebih tinggi darinya. Hingga tiba dia di dalam gudang olahraga, secuil cahaya yang masuk dari celah pintu membentuk siluet wajah pemuda itu.
"Ada apa Senior Ilka?"
Membelalak, tentu saja itu bukan respon seharusnya yang dia perlihatkan. Namun begitu namanya terucap dari bibir pemuda itu nyatanya ada yang bergejolak. Darimana bocah tengik itu tahu namanya ?
Sebuah senyum misterius terpatri di wajah sang junior. Seolah memenangkan kembali pertandingan yang dimulai Ilka.
"Darimana kau-"
"Tahu saja."
Pemuda itu mendekat, memojokan Ilka hingga terantuk pada dinding. Dalam kegelapan Ilka tak bisa berbuat apapun. Semua pergerakannya tiba-tiba terkunci. Kedua kakinya dihimpit kaki pemuda itu. Kedua tangannya tercekal dengan sebelahnya berada diatas kepala. Kuat. Ilka tak bisa melakukan pergerakan, meski otaknya terus membunyikan lonceng tanda bahaya. Apalagi ketika wajah pemuda itu kian mendekat. Hembusan napasnya menerpa, panas dan membuat bulu kuduknya berdiri.
"Lepaskan ! Apa maksudmu ?!"
Ilka setengah membentak, takut dan putus asa nampak jelas pada air mukanya. Berontak sekuat raga namun tak ada hasil. Nihil.
"Ah~ Kenapa Senior ketakutan ?"
Nada suara yang mengada-ngada. Ilka semakin ketakutan.
"Jangan bercanda ! Kelakuanmu itu-"
Bebas, semua kekangannya terlepas. Ilka mengerjapkan mata. Laki-laki itu menatap lurus padanya. Tanpa dosa, seolah moment barusan tak sedikitpun mendebarkan hatinya. Lantas kekakuan itu bertahan sepersekian detik sampai si pemuda meninggalkan Ilka sendirian. Ada apa dengan dirinya ?
"Senior terlalu serius. Jadi tidak menyenangkan."
Hah ?
***
Frustasi, beberapa benda bertebaran di lantai apartement. Ilka melipat kedua tangannya. Lapar. Meyedihkan. Berkali-kali dia meremas perutnya sendiri. Bahkan minum air sebanyak mungkin. Ini malam dan mencari pekerjaan di tengah malam bukan pilihan bagus. Kecuali jika pekerjaan yang kau maksud adalah menjadi Geisha. Tapi tak mungkin, Ilka tak sudi makan dari hasil melayani nafsu bejad laki-laki bangkotan.
Uangnya habis dan bodohnya dia tak sadar. Dia butuh bantuan, segera tangannya menyambar ponsel yang tergeletak. Nama Loli melintas sesaat ketika otaknya yang sudah berbelit dengan makanan bekerja seadanya. Tapi tidak ada lagi hal yang terpikirkan. Bicara cepat dan singkat. Maksud mengundang si Pendek datang ke Apartementnya membawa makanan dan berdiskusi soal pekerjaan. Meski dia tahu tingkahnya sudah keterlaluan karena mengganggu waktu tidur sang sahabat.
"Jadi apa yang kau maksud keadaan darurat dan kau sekarat ?"
Loli berkacak pinggang dengan wajah sebal lima puluh lima derajat. Melaju dengan kecepatan gila karena khawatir dengan sahabatnya yang sudah kehabisan napas seolah akan mati detik itu juga sama sekali tak nampak seperti dirinya. Dan lagi kini sang subjek duduk di depannya dengan wajah yang bersyukur karena makanan berlimpah yang dibawanya secara asal dari supermarket, bahkan gadis itu mengabaikannya.
Ilka melahapnya dengan singkat. Mengindahkan ceramah panjang Loli yang berusaha menekan amarahnya serendah mungkin. Ketika semua hidangan tandas, kini wajah Ilka menatap sahabatnya serius. Walaupun sang lawan hanya menatapnya dengan sebal.
"Uangku habis. Nanti aku ganti."
Ilka berucap dengan datar. Seolah permintaan menguras energi dan pengorbanan Ilka tak memiliki harga.
"Itu saja yang ingin kau katakan ?"
"Ya, hanya itu."
"SI BODOH ! Jika tak siap hidup sendiri kenapa kau disini ? Cuma gara-gara si b******k kau lupa bekerja dan menyianyiakan nyawamu ! BESOK KEMBALI KERJA DAN GANTI UANGKU YANG KAU HABISKAN MALAM INI !"
BRAAKKK
Pintu depannya dibanting keras. Kemarahan si gadis monster. Ilka hanya berkedip beberapa kali.
Sejak kemarahan puncaknya Loli enggan bertegur sapa. Bahkan tak pernah bicara. Ilka putus asa.
Bahkan selama seminggu dia hanya makan air saja. Tidakkah begitu menyedihkan ?
"Loli, maafkan aku. Semua tempat menolakku. Aku tak punya pekerjaan. Bantu aku !"
Ilka memohon kembali. Ini sudah seminggu sejak Loli memusuhinya. Dan saat dia mencari peluang, tak satupun menerimanya. Karena itulah dia menyerah. Dia tak bisa sendirian. Dia butuh Loli.
"Ya, kau tahu aku tak benar-benar marah. Aku hanya sangat sebal dengan tingkahmu. Aku punya satu. Dia teman ibuku dia butuh pengasuh. Gajinya lumayan jika kau minat aku akan bilang padanya."
"AKU MAU !"
***
"Loli apa ini ?"
Ilka berbisik dengan wajah super bete. Setelah persetujuan tanpa pikir panjangnya, Ilka segera saja menuju rumah besar alamat calon majikannya. Dan begitu bel pintu di bunyikan dia diterima dan disambut dengan ramah tamah oleh seseorang yang sama sekali tak disangka. Figur sopan santun yang melekat erat kini sedang diperankan oleh si bocah tengik yang selalu mengusilinya disekolah.
"Oh, Senior ada yang bisa kubantu ?"
Senyum menyebalkan dia ukir diwajahnya yang rupawan namun enggan tuk terakui.
"Ya, um.. Siapa yang akan kuasuh ?"
Basa-basi dengan bocah tak menarik hati Ilka. Yang terpenting segera bertemu dengan anak kecil yang dibilang Loli lalu pulang.
"Aku."
Bisu. Seketika pula Ilka kehilangan minat untuk bicara. Persetan soal uang atau dirinya yang kelaparan dia sudah tak peduli.
"Maaf ?"
"Senior bertanya siapa yang harus Senior asuh bukan ?"
Ilka mengangguk.
"Orangnya Aku."
Memutar arah, dia butuh pintu keluar. Otak pemuda itu mungkin sudah miring atau hal lain. Yang jelas Ilka tak mau terlibat.
"Mau kemana Senior ?"
Ilka tak menoleh, Suara Zion yang mengudara bukan perkara yang bisa menghentikannya.
Namun ketika langkahnya tiba di depan pintu. Lengannya ditarik paksa, dan bermaksud menoleh untuk menghentikan langkah sebuah kecupan tiba-tiba mendarat di bibirnya. Pemuda itu mencuri ciuman pertamanya. Mata Ilka melotot.
"Senior Aku menyukaimu."
Sebuah bisikan yang lembut menerpa gendang telinganya. Ilka mengerjapkan matanya. Bukankah tadi sebuah pernyataan cinta ?
Lelucon apa lagi ini ?
To be Continued