Ujian semester pertama adalah tantangan yang agaknya cukup menguji kesabaran. Ilka terus saja mengelus d**a menghadapi Zion yang semakin terus mengintimidasi dan mempermainkannya. Semenjak pembicaraan di atap keduanya sudah bisa sedikit bergaul dengan 'akrab' meski di beberapa bagian Ilka akan mengomel jika perlakuan Zion padanya sudah berada pada tingkat yang berbahaya. Pun saat ini, ruangan sedikit casual itu sedikit beratmosfir kelam. Sebab sang pengisi yang seharusnya berisi satu orang malah kedatangan tamu tak diundang. Ilka meremas rambutnya kesal. Ini hari yang dikhususkannya belajar untuk ujian, tapi si bodoh malah seenaknya masuk dan berbaring dikasurnya. Menatapnya sambil terkadang memberinya sedikit kejahilan. Mulai dari mempermainkan rambut Ilka, menyentuh tangannya (Sampai membuat Ilka harus berteriak histeris sebab konsentrasinya buyar), hingga meniup telinga gadis itu sampai mengamuk. Ilka sadar sebaik apapun tingkat konsentrasinya ia takkan pernah menang melawan Zion dan gangguan kecilnya.
"Zion, aku harap kau mau pergi dari kamarku sekarang juga. Besok kita mulai ujian. Jadi aku ingin kau membiarkanku sendirian. Aku butuh waktu untuk belajar."
Ilka memandang pemuda tanggung itu dengan tampang putus asa. Setidaknya dengan sedikit memohon laki-laki itu akan mengerti dan pergi.
"Apa pentingnya ? Bagiku yang terpenting adalah aku bisa berada disisimu."
Bukannya memperbaiki suasana, Zion malah semakin memancing amarah si dara jelita. Ilka tidak membenci perkataan laki-laki itu -karena seseungguhnya sangat manis- tapi kondisi saat ini sama sekali tidak mendukung hatinya untuk sedikit terhibur.
"Zion, pergi sekarang juga !"
Menarik paksa lengan pemuda itu lalu mendorongnya hingga keluar pintu. Menatapnya sinis kemudian menutup pembatas itu dengan amarah, namun sebelum itu terjadi lengan laki-laki itu menghentikan niatnya.
"Aku tidak akan mengganggumu selama ujian di rumah maupun disekolah. Asal akhir minggu usai ujian kau harus berkencan denganku."
Syarat penuh intrik pemaksaan. Meskipun Ilka beralibi setidaknya untuk satu minggu kedepan ia bebas. Pemikiran menggoda itu lantas ia jadikan sebagai bentuk persetujuan dan malah balik menantang. Mereka berdiri berhadapan sambil saling tarik menarik.
"Oke, asal kau bisa menjadi nomor satu seangkatanmu. Aku akan mempertimbangkanmu."
Sebuah senyuman misterius lantas berkembang dalam kemewahan wajahnya. Meningkatkan setidaknya lima puluh persen ketampanannya. Namun itu tak berlaku bagi Ilka, dia justru merasa senyum itu malah membawa petaka dan hawa tak mengenakan. Pintu pun tertutup sempurna karena salah sati pihak penarik menyerah untuk bertahan.
"Baiklah sampai jumpa satu minggu kedepan dalam acara kencan kita."
Suara dibalik pintu menjadi akhir dari keduanya. Jujur saat itu juga bulu kuduk Ilka merinding tak terduga.
***
Waktu subuh ketika sang pemilik rumah tengah terlelap, Ilka mengendap menuju kamar sang tuan. Firasat yang menghantuinya sedemikian hebat tatkala ketika malam ia bermimpi cukup buruk. Meski sesungguhnya mimpi bukanlah acuan untuk membuat sebuah keputusan. Tapi Ilka yakin akan ada hal buruk yang terjadi jika ia tak segera memutar otak.
Ilka menggeledah peralatan sekolah Zion. Mengambil semua buku catatan yang sekiranya akan membawa pemuda itu menuju kemenangan. Ketika semua objek telah terkumpul dalam ranselnya ia segera berlalu meninggalkan kamar yang temaram tersebut.
Seragam sekolah yang ia kenakan. Aroma sejuk khas pagi hari ketika ia membuka jendel, membuat Ilka tentram bukan main. Pertama karena usahanya cukup sukses menjauhkan sang tuan dari keberhasilan (meski curang sebenarnya, namun tidak ada aturannya sehingga bisa disebut curang), dan yang kedua ia yakin hasil belajar seharian kemarin akan menjadi pondasi cukup kuat untuk mendapat nilai terbaik. Optimisme yang berkibar dalam benaknya membuat dirinya kian bersemangat.
Tak menunggu sang tuan atau bahkan menyiapkan sarapan. Ilka melaju santai menuju sekolahnya. Tentu saja persyaratan kemarin masih berlaku. Makanya ia tak perlu repot-repot memperhatikan Zion yang menurutnya masih tertidur pulas dikamrnya.
"Tidak mungkin."
Ketika langkahnya melewati kelas pemuda itu, Ilka hampir saja menjatuhkan bibir bawahnya kelantai seandainya ia adalah tokoh animasi. Tapi tentu saja itu tak terjadi, alhasil ia hanya mampu memasang wajah terkejut. Bagaimana tidak ? Zion yang kesehariannya begitu merepotkannya dipagi hari tiba lebih awal disekolah dengan tangan yang menggenggam buku tebal yang Ilka yakin telah dibuangnya subuh tadi.
Manik kelam pemuda itu melirik, lantas Ilka segera mengambil pose berpura-pura. Sebab takut bila pengamatannya berbuah seringaian khas tuannya atau bahkan mengantisipasi bila Zion mendekat dan mengganggu seperti biasa. Tapi tak ada respon yang dia tebak. Zion tak memandang apalagi mendekat. Laki-laki itu hanya menghembuskan napas dalam kemudian kembali membaca.
"Si Bodoh !"
Ilka berjalan dengan langkah yang sengaja ia keraskan hingga menimbulkan bunyi gema di lorong. Entah kenapa reaksi itu bisa sedemikian mengesalkannya. Ilka tak mengerti darimana datangnya hal tak patut semacam itu. Tapi, dia merasa kecewa.
Berlalu, hampir seminggu Zion tak mengindahkan kehadirannya. Menganggap jika dirinya hanyalah batu. Menghindari dirinya. Di hari terakhir ujian Ilka menjadi tak sabar dan bermaksud mengajak tuannya bicara. Diacuhkan malah membuatnya merasa menjadi mahluk astral baru dan jujur saja ia tak terbiasa.
Kadang ia bercerita pada Loli dengan meng-anonimkan dirinya dan si berondong, untuk mencari sebuah solusi perubahan mendadak sikap sang pemuda. Tapi semuanya tak jadi jalan keluar.
Dan disinilah ia sekarang pulang kerumah setelah nilai ujian terpampang. Semua kesepakatan seharusnya berakhir hari itu. Namun keabsenan laki-laki itu malah memperkuat alibi bila Zion membencinya. Benarkah ?
Ditengah kefrustasiannya, Ilka menatap pintu ruang tamu yang terbuka. Zion telah datang, ia nampak berkeringat dan lelah. Baju yang ia kenakan basah. Hening. segala argumen yang ia siapkan hancur lebur. Tenggorokannya kering. Butiran air mata malah membasahi pipinya. Ia menangis. Dan tentu saja reaksi tiba-tiba itu mengundang sang pemuda membelalakan mata .
"Senpai ?"
Zion yang bingung dengan perubahan gadis itu kian tak mengerti harus berlaku bagaimana. Ia bingung.
"Bodoh !"
Belum habis berpikir, gadis itu malah menyentaknya lagi. Zion menahan langkahnya untuk mendekat.
"Apanya yang kencan ? Apanya yang syarat ? Kenapa kau bisa mempermainkan aku ? Sebentar kau mengganggu lalu kemudian kau menghindari dan hilang. Apanya yang bagus dari itu ? Apa kau membenciku ?"
Perlahan pupil mata sang objek mengecil. Sebuah senyum kecil terlukis sempurna. Sebelah tangannya ia gunakan mengambil sesuatu dari ranselnya. Mendekat dan mengikis jarak.
"Senpai lihat ini."
Zion mendekat dan memperlihatkan selembaran kertas.
"ini..."
Ilka bergetar, mukanya yang penuh lelehan air mata malah berubah merah.
"Itu artinya aku akan menjadikan Senpai miliku besok. Kita jadi berkencan."
Zion menutup kegundahan sang gadis dengan senyum lebar. Kertas yang ternyata berisikan rekap nilai dan juga beberapa brosur tempat hiburan itu nyatanya malah membuat si gadis berubah kaku.
"Bodoh !"
Bukannya merangkul haru, atau bahkan memberi sebuah kecupan.kecil di pipi. Ilka sukses dipermalukan bocah yang umurnya dua tahun lebih muda darinya. Harga dirinya terkikis. Bahkan untuk berekspresipun ia lupa. Ia malu. Dan tak mengijinkan laki-laki itu melihatnya. Kertas yang dipegangnya ia lempar tepat kearah muka si pemuda yang jelas tak mengerti.
"Kenapa wanita begitu membingungkan ?"
Hanya pada udara kosong ia berucap. Zion menyerah untuk mencoba paham.
***
Hari minggu, Ilka menatap gusar pada cermin. Dia merasa malu. Bagaimana mungkin kemenangan Zion pada pertaruhan mereka malah membuatnya heboh sendiri. Memilih baju untuk 'pergi bersama' adalah tindakan absurd yang tak tahu mengapa secara alamiah melekat. Beberapa baju yang gagal tereliminasi teronggok dilantai. Dan rata-rata yang terbuang adalah pakaian manis yang membuatnya malu sendiri saat memakainya.
"Kenapa dengan kepalaku ?"
Ilka membaringkan dirinya. Berguling-guling sejenak. Kemudian kembali mengacak-acak.Kemudian dari sekian pakaian yang ia coba. Pada akhirnya ia hanya memilih T-shirt berwarna Merah maroon dengan jaket levis, bagian bawah tubuhnya terbungkus jeans ketat dengan sisi depan sobek-sobek dan kakinya ia balut dengan sneaker. Sedangkan untuk make up ia tak repot mengoleskan apapun kecuali bedak tipis. Sebab rasa ego yang mendominasi lebih kuat dari pada keinginan untuk membuat pasangan terkesima. Pasangan ? Lekas Ilka menggeleng. Dia berpikir terlalu jauh hingga menyalahkan pagi yang dirasanya buruk sekali.
"Wah, apa ini ? Serius kau ingin pakai baju itu ?"
Zion yang bersandar di depan dinding kamar Ilka mengomentari dengan pandangan bosan. Tidak menarik. Tidak ada sisi feminim yang ingin ia lihat. Gadis itu mencoba menutupinya, padahal ketika Ilka absen beberapa minggu diawal ia menjadi kelas tiga Zion ingat ia muncul dengan penampilan terbaik. Namun untuk sekarang ? Tidak begitu istimewa. Apakah ia belum bisa menaklukannya ?
"Ah, berisik. Aku tidak memintamu berkomentar. Cepat jalan."
Sama seperti biasa, Ilka berharap segala sandiwara dirinya yang biasa dapat sepenuhnya berjalan. Namun melihat laki-laki itu tak berkutik membuat Ilka tak mengerti. Apa ia salah makan ?
"Ikut aku."
"He-hey !!"
Seperti ketok magic, Ilka disulap dalam beberapa detik oleh seorang penata rias professional. Dan tentu saja semua itu dibayar lunas oleh sang tuan yang kaya raya.
"Kenapa kau membuang uangmu ? Aku tidak butuh semua ini. Kita kan hanya akan berjalan bersama"
Ilka lantas meringis kaku. Melihat berapa banyak lembaran uang yang laki-laki itu keluarkan membuatnya miris. Laki-laki itu membuang uang segitu mudah untuk menyulap penampilannya (yang bahkan dia tak pedulikan).
"Aku tidak menyesal membuang uangku jika itu bisa mengubahmu menjadi cantik. Dan yang harus kau tahu pertama kau butuh semua ini agar kau maksimal didisampingku dan yang kedua kita akan kencan. Diam saja, karena ini adalah hadiahku. Aku yang memimpinmu hari ini."
Ilka tak berkutik lagi, bahkan saat pemuda itu mengamit lengannya ia tak protes sedikitpun. Dia sangat bahagia hingga tak bisa bicara. Apakah ini berarti dia mulai membuka hati ? Ilka jelas tak tahu.
Menonton film di bioskop, menghabiskan waktu di taman hiburan, makan es cream dan foto bersama. Semua yang dilakukan pemuda itu hanyalah kencan biasa dan semua waktu yang terlewat itu berakhir dengan senyuman hangat keduanya.
"Aku menyukaimu."
Berjalan ditrotoar, mereka berpegangan tangan. Ilka menoleh sekilas pada pemuda itu. Tak ada pergerakan. Sedikit menatap aspal yang ia pijak Ilka tersenyum tulus.
"Kurasa aku juga-"
Ilka mengerem perkataannya. Lekas ia memalingkan wajah karena hampir terbawa suasana. Semburat merah terlukis lagi.
"Apa katamu ?"
Zion sebenarnya mendengar, namun sikap usilnya selalu ingin menjahili gadis itu.
"Tidak ada. Jangan senang dulu hanya karena kau bisa memegang tanganku. Dasar monster. Bocah tengik !"
Ilka mengerucutkan bibirnya. Mungkin sebal sebab moment romansa yang hampir terjadi dirusak oleh pemuda itu.
"Aku tahu. Aku membencimu."
Ilka memalingkan wajahnya. Kaku jelas terlihat. Dan dari semua ekspresi Zion sangat menyukai ekspresi kali ini. Menggoda Ilka memang menyenangkan.
"Aku membenci dirimu yang tak juga mau mengaku."
Zion mengakhiri dengan sebuah seringai usil.
"Zion bodoh !"
Ilka memukulnya dengan tas tangan yang ia bawa. Kemudian lekas ia melepas High heels lima centinya untuk ia bawa pergi sambil lari.
Ya, setidaknya kencan kali ini berakhir tak terlalu dramatis. Dengan sang gadis yang menjauh karena malu. Zion menyukainya.
"Tak salah aku jatuh cinta padamu Senpai."
To be Continued