Bab 10. Ketahuan

1247 Kata
Alan keluar kamar tepat di jam tujuh pagi. Seperti biasanya, ia selalu membawa tab-nya ke meja makan. Setelah sampai di meja makan, Alan duduk di kursinya. Saat itu, bi Siti menyiapkan sarapan di meja makan. "Pagi, Tuan," sapa bi Siti sambil tersenyum ke arah Alan. "Bi? Apa Elena sudah dipanggil?" tanya Alan yang mengabaikan sapaan bi Siti kali ini. "Belum, Tuan. Ini saya baru mau ke sana." "Ya sudah. Tolong kali ini paksa dia supaya mau sarapan bersama." "Baik, Tuan." Bi Siti lalu berjalan ke arah kamar Elena. Ia mengetuk pintu Elena. Alan diam-diam memperhatikan dari tempat duduknya. Alan pun juga menunggu Elena keluar kamar. Tidak lama, Elena membuka pintu kamarnya. Alan segera buru-buru menatap layar tab-nya kembali. Berpura-pura tidak peduli pada Elena. "Ada apa, Bi?" tanya Elena pada bi Siti. "Tuan mengajak Nona untuk sarapan." Elena melihat ke arah Alan yang duduk di meja makan. Seperti pemandangan di pagi sebelumnya ketika sarapan bersama. Alan hanya menyuruhnya sarapan untuk menurutinya. Sudah pasti sangat membosankan! "Terima kasih, Bi. Tapi, saya tidak bisa sarapan. Bibi tahu sendiri kan, kalau saya langsung mual begitu mencium nasi?" "Tenang saja, Nona. Kali ini, tidak ada nasi sama sekali di meja makan." "Hah? Tidak ada nasi?" ulang Elena sembari menautkan kedua alisnya. "Pagi ini, tuan menyiapkan sarapan khusus untuk Nona. Supaya Non Elena bisa sarapan." Elena menautkan kedua alisnya heran. Ia lalu melihat Alan yang sedang sarapan. Tepat saat itu, Alan yang juga memperhatikannya, segera mengalihkan pandangan melihat tab-nya kembali. Elena bingung dengan Alan. Elena pun menengok kembali ke arah Bi Siti. "Kalau begitu, aku akan ke meja makan setelah dari kamar mandi ya, Bi." "Baik, Non." Elena menutup pintu kamarnya. Bi Siti kembali ke arah meja makan. Alan menunggu bi Siti mendekat ke arahnya. Setelah itu, bi Siti menyiapkan kembali sarapan. Alan berdehem dua kali. "Bi, apa Elena jadi ikut sarapan?" tanya Alan dengan ragu-ragu. "Iya, Tuan. Katanya masih ke kamar mandi dulu." Alan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Tidak lama setelah itu, Elena membuka pintu kamarnya. Alan yang baru saja melihatnya, segera kembali berpura-pura untuk menatap tab-nya. Seolah-olah, ia tidak tahu Elena keluar dari kamar. Elena berjalan mendekat ke arah meja makan dengan ragu-ragu. Setelah sampai, Elena memperhatikan isi meja makan itu. Benar kata bi Siti. Di atas meja makan tidak ada nasi atau lauk pauk. Hanya ada roti bakar dan buah-buahan yang sangat segar. Membuat Elena terkesan melihatnya. "Kamu tidak akan kenyang dengan memandanginya saja!" ujar Alan tiba-tiba. Elena terhenyak mendengar Alan tersebut. Elena menoleh ke arah Alan yang baru saja berbicara dengan tetap menatap tab-nya. Elena pun akhirnya duduk di kursi yang berada di depan Alan. "Ini, Non. Roti bakar spesial. Bibi jamin, Non Elena pasti suka." Bi Siti mengambilkan roti bakar untuk Elena. "Terima kasih, Bi," jawab Elena. Elena lalu mencicip roti bakar itu. Setelah mencicipi satu suap, ternyata rasanya sangat enak. Elena sama sekali tidak mual dan ingin lagi. Terlihat jelas ekspresi wajah Elena yang menyukainya. Alan diam-diam masih memperhatikannya. Alan juga jadi lega. "Syukurlah kalau Non Elena suka," kata bi Siti. "Wah! Ini enak sekali, Bi!" kata Elena lagi. Mendengarnya, Alan yang memperhatikan tab-nya itu menyunggingkan satu senyum tipis sekali, dengan Elena yang nampak lahap itu. "Oh iya, Bi! Tadi malam aku lihat, buahnya tinggal sedikit, lho! Kok ini jadi banyak lagi? Strawberry-nya juga kelihatan segar-segar. Kapan bibi belanjanya? Padahal ini masih jam tujuh pagi," tanya Elena. "Ooh ... itu bukan Bibi yang belanja. Tapi pesanan tuan Alan, Non," jawab bi Siti. Alan pun terhenyak mendengar pernyataan polos dan jujur dari Bi Siti tersebut. Elena juga kaget. Ia menolehkan kepala ke arah Alan yang masih konsentrasi memperhatikan tab-nya. Alan seolah-olah terlihat tenang konsentrasi dengan tab-nya. Padahal sebenarnya ia amat was-was dengan tatapan Elena padanya. "Semalam, Tuan Alan memesan buah dengan paket ekspres khusus, Non. Tuan Alan juga sengaja memesan strawberry kualitas tinggi karena tahu Nona menyukai strawberry," jelas bi Siti. Alan terhenyak mendengar penjelasan bi Siti. Elena kembali melihat ke arah Alan dengan tatapan bingungnya. Elena menatap Alan sembari mengerjap-kerjapkan matanya. Alan hanya berdehem beberapa kali untuk menutupi salah tingkahnya. "Saya dengar sendiri, Tuan Alan meminta saat pesan agar buahnya datang pagi ini juga!" "Bi!" panggil Alan tiba-tiba, bermaksud menghentikan bi Siti yang terus saja berbicara tersebut. "Iya, Tuan?" Bi Siti menoleh ke arah Alan. "Tolong buatkan aku jus jeruk," pinta Alan. "Baik, Tuan!" Bi Siti pergi ke arah dapur. Meninggalkan Alan dan Elena berdua saja di meja makan. Mendadak, suasana amat canggung antara keduanya. Alan masih fokus menatap tab-nya. Elena pun kembali memakan rotinya dengan kaku. Elena kemudian melirik ke arah Alan. "Terima kasih, Pak," ujar Elena lagi. Alan tidak menanggapinya sama sekali. Masih melihat ke arah tab-nya. "Pak Alan, sudah membelikan buah pagi-pagi untuk saya," lanjutnya. "Jadi, kamu percaya dengan semua kalimat bi Siti?" tanya Alan dengan masih menatap tab-nya. Elena jadi menautkan kedua alisnya bingung. "Hah?! Apa maksud Pak Alan, bi Siti berbohong?" "Jangan salah paham! Aku membeli buah bukan untukmu! Tapi karena memang aku tidak mau persediaan buah di lemari es habis. Aku lihat di lemari es, buahnya tinggal sedikit! Kalau ada tamu, biar bi Siti tidak kesusahan untuk menyuguhkan buah-buahan," jelas Alan. "Oooh ...." Elena mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Elena pun kembali memakan roti bakarnya. Meskipun begitu, Elena masih merasa harus berterima kasih pada Alan karena sudah menyediakan buah di rumah ini. Elena tersenyum tipis, dan disembunyikan dari Alan. Saat Elena akan memakan kembali rotinya, ia terhenti karena teringat sesuatu. "Lho! Pak Alan kapan ke dapur dan membuka lemari es?" tanya Elena. "Sekitar pukul sembilan malam," jawab Alan. Wajah Elena segera berubah pias. Perasaan, kemarin ia memakan buah juga pukul sembilan malam. Apa jangan-jangan, Alan tahu jika Elena memakan buah sambil mengoloknya tadi malam?! "Apa jangan-jangan ... Pak Alan melihat saya memakan buah di sini tadi malam?!" tanya Elena dengan panik. "Tidak," jawab Alan dingin. Elena pun menghela nafas lega. "Kenapa memangnya?" Alan balik bertanya. "Oo ... oh! Tidak apa-apa," jawab Elena sembari tertawa kikuk. "Meskipun begitu, saya tetap harus berterima kasih. Karena hari ini saya jadi bisa makan roti tanpa nasi," kata Elena lagi. "Itu juga jangan salah paham. Aku memang ingin roti untuk sarapan pagi ini. Besok dan seterusnya aku ingin sarapan nasi lagi," kata Alan dingin. Elena yang tadi memasang wajah cerah pun, jadi memudar. Ia ganti memasang ekspresi sebal. Elena lalu kembali memakan roti bakarnya dengan ekspresi kesal. Alan melihatnya dengan meletakkan garpunya di piring. "Bukankah aku memang berhati dingin? Ah, maksudku aku memang tidak punya hati," kata Alan kemudian. Elena langsung tersedak begitu mendengar ungkapan Alan baru saja. Ia membelalakkan kedua matanya melihat panik ke arah Alan. Sedangkan Alan, hanya menatap Elena dengan ekspresi santai sembari menaikkan salah satu alisnya. "Jadi, dia mendengar semua olokanku untuknya tadi malam?!" gumam Elena panik berbicara dalam hati. "Jusnya sudah siap, Tuan." Bi Siti mendadak datang membawakan satu gelas jus jeruk. "Terima kasih, Bi. Aku sudah terlambat. Berikan jusnya pada Elena saja, agar dia tidak tersedak," kata Alan yang berdiri dan menjauh dari meja makan. Bi Siti pun mengkerutkan keningnya heran. Namun, pada akhirnya ia paham kalau Alan memang sengaja ingin membuatkan jus untuk Elena. Bi Siti gantian menengok ke arah Elena. "Kalau begitu ini, Non. Silahkan diminum jusnya," ujar bi Siti. Elena masih belum menjawabnya. Ia melihat punggung Alan yang berjalan keluar rumahnya. Setelah Alan keluar, Elena menjedotkan kening di meja makan dengan merengek. Membuat bi Siti bingung melihatnya. "Kenapa, Non?" "Tamatlah riwayatku Bi ...," rengek Elena. Sedangkan Alan yang berjalan menjauhi Elena itu, kembali menyunggingkan satu senyum tipisnya dan nampak senang dan puas. Ia merasa sudah berhasil membalas Elena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN