Bab 9. Olokan dari Elena

1302 Kata
Elena terbangun karena mendengar suara dari ponselnya. Elena yang setengah sadar itu, meraba ranjangnya untuk mencari ponselnya. Setelah ketemu, ada sebuah notifikasi pesan. Elena melihat pesan dari grupnya. Pesan tersebut dari obrolan grup teman-temannya, semasa sekolah. Sudah terdapat banyak sekali pesan. Elena pun membacanya mulai dari awal. Pesan tersebut ingin mengajak para alumni untuk melakukan reuni setiap tahunnya. Elena pun jadi menautkan kedua alisnya. Mana mungkin ia akan pergi?! Kalau ia pergi, pasti mereka semua akan saling membicarakan tentang pekerjaan atau urusan percintaan masing-masing. Dulu, Elena termasuk salah satu alumni yang dibilang populer. Dia bekerja di Nataland Corp, sebuah perusahaan dengan nama brand besar. Bahkan Elena menjadi sekertaris pribadi CEO di Nataland. Hubungannya dengan Farel, yang masih menjadi pacarnya dulu juga sangat harmonis. Namun, lihatlah dirinya sekarang. Ia sudah tidak bekerja, putus dengan Farel dan saat ini ia menjadi istri kontrak bos yang menghamilinya. Membuat Elena terpuruk jika memikirkannya. Elena melempar ponselnya kembali ke ranjang. Ia lalu melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. "Masih sangat pagi, tapi mereka sudah berisik membahas soal reuni," gumam Elena berbicara sendiri. Elena merasa kesal dengan keadaan yang menimpanya. Elena menatap langit-langit kamarnya. Ketika bangun tidur pagi seperti ini, seharusnya tubuhnya merasa segar dan bersemangat. Namun, kali ini ia merasa tubuhnya lemas. Kepalanya pusing. Bawaannya malas sekali. Meski sudah tidur, lelahnya tidak hilang juga. Elena merasa tidak enak badan yang tidak bisa dijelaskan. Ia juga tidak bisa nyaman tidur dengan posisi apapun. Ia juga merasa mual-mual yang tidak bisa diobati. "Apa memang seperti ini rasanya hamil?" gumam Elena berbicara sendirian. Elena pun mulai duduk dan menyandarkan badannya pada kepala ranjang. Ia mengambil ponselnya dan mengusap layarnya. Elena membuka sosial medianya. Ia melihat teman-temannya dengan pencapaian mereka masing-masing. Karir dan juga memiliki pasangan yang cocok dan nampak bahagia. Elena jadi menautkan kedua alisnya melihat hal itu. Di saat semua temannya sudah berhasil, dirinya justru duduk termenung tanpa pekerjaan dan sedang hamil, tidak dapat berbuat apa-apa. Saat Elena masih duduk di bangku SMA, ia ingat jika ia pernah memiliki impian untuk menjadi istri orang kaya. Sehingga ia tidak perlu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Ia tidak menyangka jika keinginan sesaatnya itu jadi kenyataan. Alan memang memberinya fasilitas lengkap di dalam rumah yang megah. Elena juga tidak perlu bekerja lagi. Semua kebutuhannya juga sudah dicukupi oleh Alan. Namun, ternyata pada dasarnya bukan seperti ini yang diharapkannya. "Lihat! Pak Alan datang! Aku sudah lama menunggunya dari tadi!" "Wah, tampan sekali dia! Tampilannya elegan dan kelihatan seperti bangsawan!" "Dia juga sangat kaya. Yang jadi istri Pak Alan pasti sangat beruntung!" Elena teringat ketika para teman perempuan kantornya dulu, mengagumi Alan. Bahkan, Elena sendiri sempat mengagumi ketampanan dan kepintaran Alan sebagai pimpinan perusahaan. Ia juga berpikir hal yang sama, yaitu amat beruntungnya perempuan yang menjadi istri Alan. Elena hanya tidak menyangka jika saat ini, yang menjadi istri Alan adalah dirinya sendiri. Sedangkan, kalimat beruntung itu benar-benar berkebalikan dengan faktanya. Yang Elena kenal dari Alan, ia hanya seorang egois dan mementingkan dirinya sendiri. Tidak peduli dengan perasaan orang lain. Bahkan, saat ini Elena masih marah dan sangat kesal dengan sikap Alan kemarin siang padanya. Hingga saat ini, Elena pun tidak mau melihat wajah Alan. Ia juga tidak akan mau kalau diajak sarapan bersama. *** Elena keluar dari kamar mandi di dalam kamarnya. Ia baru saja muntah-muntah. Entah kenapa dari tadi, rasanya ia terus merasa mual dan tidak enak badan. Elena merasa lelah meski seharian tidak melakukan apa-apa. Bawaannya ingin tidur, tapi jika terlalu lama juga pusing. Membuatnya serba salah. Elena berjalan ke arah ranjangnya dan duduk. Kemudian, ia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Seharian sejak pagi, Elena tadi hanya makan buah dari Bi Siti. Saat ini, setelah muntah, ia merasa mulutnya pahit dan ingin makan sesuatu yang segar. Bi Siti pasti sudah tidur. Elena pun berdiri dan berjalan ke arah luar kamarnya. Ia ingin makan sesuatu untuk mengurangi rasa mulanya. Begitu Elena membuka pintu kamarnya, bertepatan saat itu Elena melihat Alan yang baru masuk ke dalam rumah. Elena segera buru-buru menutup pintu kamarnya kembali. Semoga saja Alan tidak melihatnya. Alan yang baru masuk ke dalam rumah itu, berjalan menuju ruang tamu. Saat itu, ia melihat ke arah kamar Elena. Kamar Elena tertutup dari dalam. Alan berdiri memperhatikan kamar Elena. Alan ingin menemui Elena untuk berbicara soal kesalahpahaman yang terjadi kemarin siang. Sejak pagi, Alan tidak bertemu dengan Elena sampai jam sembilan malam ini, ia baru pulang kerja. Ketika Alan berjalan mendekat, ia terhenti setelah beberapa langkah. "Tapi, ini sudah sangat malam. Dia pasti sudah tidur," gumam Alan berbicara sendiri. "Ya sudah. Besok saja," lanjut Alan lagi. Alan pun jadi mengurungkan niatnya. Ia tidak jadi untuk berbicara dengan Elena. Alan kembali berjalan ke arah kamarnya. Di dalam kamar Elena, Elena sedang menempelkan telinga di pintu kamarnya. Ia mendengarkan suara kaki langkah Alan terdengar menjauh dari kamarnya. Saat itu, Elena memperkirakan jika mungkin Alan sudah masuk ke kamarnya sendiri. Elena pun membuka pintunya sedikit. Ia mengintip ke luar kamar. Di sana, ia melihat punggung Alan yang baru masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar dari dalam. Benar dugaannya. Setelah itu, barulah Elena membuka pintu kamarnya. Elena sekali lagi melihat pintu kamar Alan yang tertutup. Ia merasa lega, tidak jadi bertemu dengan Alan. Elena berjalan menuju dapur. Ia berjalan mendekati lemari es dan membukanya. Elena mencari sesuatu di dalam lemari es. Di sana, ia menemukan beberapa macam buah. Elena mengambil dan membawanya ke meja makan. Setelah di meja makan, Elena duduk dan menyiapkan buah-buahannya. Ia mulai memakan buah kesukaannya, yaitu strawberry. Tepat ketika itu, Alan yang sudah mengenakan piyama, kembali membuka pintu kamarnya. Ketika pintu kamar Alan setengah terbuka, Alan langsung bisa melihat Elena duduk di meja makan. Di dalam kamar, Alan menautkan kedua alisnya heran. Ternyata Elena belum tidur. Alan mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Elena. Ia kembali membuka pintu kamarnya lebar dan berniat akan berbicara dengan Elena. "Dasar Alan sialan! Tidak punya hati!" Begitu pintu Alan baru terbuka sedikit, Alan kaget mendengar Elena berbunyi sendiri sedang mengumpat untuknya. Tentu saja, Alan tidak jadi membukanya. Ia hanya membuka pintu setengah sambil mengintip Elena. "Gara-gara dia, aku tidak bisa ikut reuni sekolah!" kata Elena lagi. Alan menautkan kedua alisnya mendengarkan Elena. "Dulu, aku adalah bintang kelas! Coba kalau malam itu tidak terjadi! Pasti aku datang bersama Farel dan membuat semuanya iri!" "Farel?" gumam Alan pelan sambil mengkerutkan dahi. Alan kembali mendengar Elena. "Dia pikir hamil itu mudah?! Coba kalau yang hamil dia saja! Pasti dia tidak akan tahan satu hari!" sambung Elena. Alan masih diam mendengar sambil melihatnya diam-diam. Kemudian, Elena tertawa sendiri. Membuat Alan heran. "Tapi, kalau pak Alan hamil, pasti lucu sekali! Membayangkan perutnya buncit. Pasti ketampanannya akan hilang. Kalau dia yang memiliki perut buncit, aku pastikan aku akan memotretnya dan menyebarkan fotonya di seluruh karyawannya. Supaya kepopulerannya hilang sudah!" tambah Elena lagi. Alan pun kesal mendengar Elena itu. Ia tetap memperhatikan Elena yang makan sendirian. Apa saja yang akan dikatakan Elena tentangnya kali ini? "Dia selalu merasa hebat! Dia pikir, dia sangat bersinar dan tidak ada yang mengoloknya? Aku yakin semua orang sedang berbicara di belakangnya sama sepertiku!" kata Elena lagi. Alan semakin mengernyitkan wajahnya. "Aku menyesal dulu pernah mengaguminya! Ya! Dia memang tampan, kaya dan memilki kharisma saat memimpin. Tapi semua itu percuma kalau dia punya hati yang dingin! Ah! Bukan-bukan! Dia bahkan tidak memiliki hati!" Elena sambil memasukkan satu buah strawberry ke dalam mulutnya dengan emosi. Setelah itu, Alan melihat Elena berdiri. Alan segera buru-buru menutup pintunya kembali dan menyisakan membukanya sedikit. Alan jadi mengintip Elena. Elena kembali memasukkan sisa buah ke dalam lemari es. Lalu ia mencuci tangan di wastafel dan kembali ke kamarnya. Setelah Elena masuk ke dalam kamar, barulah Alan membuka pintunya lebar. Di sana, Alan memperhatikan kamar Elena kembali. Mengingat semua umpatan yang dikatakan Elena itu, Alan jadi tahu apa yang dipikirkan Elena tentangnya. Namun, bukannya marah, Alan justru tersenyum lucu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN