Alan menutup dokumen-dokumen yang tadinya dibuka di atas meja. Kemudian, ia menumpuknya di sudut meja kerjanya. Akhirnya, selesai juga laporan yang harus diperiksanya hari ini.
Alan melihat jam tangannya. Sudah pukul enam sore. Pekerjaannya juga sudah selesai. Jadi, ia akan pulang sekarang. Alan memeriksa ponselnya terlebih dulu sebelum pulang.
"Coba kalau dia yang hamil?! Pasti dia tidak akan tahan walau cuma satu hari!"
Tiba-tiba, Alan terlintas kalimat olokan dari Elena untuknya. Entah setiap kali Alan mengingatnya, Alan justru jadi tersenyum dibuatnya. Ia tidak tahu kenapa ia tidak marah?
"Ya! Aku akui dia memang tampan, kaya dan berkharisma saat memimpin. Tapi semua jadi percuma kalau dia tidak punya hati!"
Kalimat Elena yang lain. Baru kali ini, Alan mendengar dirinya diolok secara langsung seperti itu. Karena selama ini, Alan selalu mendengar orang berkata baik padanya. Rasanya, ada yang sedang mengkritiknya secara jujur padanya.
"Aku yakin, yang sedang berbicara di belakangnya bukan hanya aku. Tapi banyak orang, termasuk karyawan-karyawan dekatnya!"
Alan jadi berpikir akan kalimat Elena tersebut. Jika seperti itu, bukankah artinya banyak yang membenci dirinya? Alan jadi penasaran akan kebenaran dari kalimat Elena tersebut.
Alan kemudian mengambil gagang telepon di atas meja kerjanya. Lalu, menempelkannya di telinga. Sekian detik, ada suara yang menjawab panggilan dari Alan.
"Iya, Pak?" Terdengar suara laki-laki dari dalam telepon kantor.
"Sat. Ke sini dan ambil semua dokumen yang sudah aku periksa," pinta Alan.
"Baik, Pak."
Setelah itu, Alan mengembalikan gagang telpon di tempatnya. Alan menyiapkan dokumen-dokumen yang baru saja ia periksa. Tidak lama, Satria masuk ke dalam ruangan Alan.
"Pak?" panggil Satria saat sudah masuk.
"Bawalah dan bilang kalau aku sudah mengkonfirmasinya," kata Alan sembari memberikan dokumen-dokumen tersebut pada Satria.
"Baik, Pak," jawab Satria sembari menerimanya.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak," kata Satria sembari berbalik.
"Tunggu!" cegah Alan menghentikan langkah Satria. Satria pun berbalik lagi menghadap Alan.
"Ada yang Anda perlukan lagi, Pak?"
"Sat? Apa ... kau juga sering mengolokku saat di belakangku?" tanya Alan. Satria pun bingung dengan pertanyaan dari Alan tersebut.
"Maaf, Pak?" Satria justru bertanya balik karena merasa tidak jelas.
Namun, Alan tidak segera menjawabnya. Ia justru kelihatan diam dan berpikir. Sedangkan Satria berdiri menunggu Alan.
"Tentu saja, kau tidak akan mengakuinya," lirih Alan pelan, seolah sedang berbicara sendiri. Tentu saja, Satria justru semakin bingung mendengarnya.
"Hah?! Maaf, Pak. Saya tidak mengerti maksud Pak Alan."
"Sudah! Tidak apa-apa. Sekarang pergilah," ujar Alan yang kembali melihat ponselnya.
Satria pun jadi mengernyitkan wajahnya dalam. Ia sama sekali tidak paham maksud Alan. Dengan penuh keraguan, Satria pun berbalik dan berjalan keluar kantor.
Setelah berada di luar, Satria masih memikirkan keras kalimat pertanyaan dari Alan tadi. Membuatnya setengah ketakutan.
"Apa maksudnya, ya?" gumam Satria bertanya pada dirinya sendiri. Setengah detik kemudian, Satria melebarkan kedua matanya terhenyak.
"Jangan-jangan, Pak Alan pernah mendengar kalau aku mengoloknya di belakangnya?!" tebak Satria berbicara sendiri.
"Gawat ... mati aku ...," kata Satria dengan panik.
Sedangkan Alan yang sedang berada di dalam kantor, selesai berberes dan bersiap akan pulang ke rumah. Ia mematikan komputernya dan mengambil kontak serta ponselnya. Ketika Alan ingin berdiri, ia kembali terhenti.
Alan tiba-tiba terlintas saat melihat Elena mual-mual dan muntah di sarapan pertama mereka. Waktu itu, Alan ingin melihat keadaannya, namun sayangnya karena ada telepon mendesak yang menginginkannya untuk segera datang ke kantor, akhirnya ia tidak bisa bertanya pada Elena.
Jika teringat waktu itu, rasanya Alan menjadi kasihan juga. Alan tidak bisa mengabaikannya. Alan kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia nampak menghubungi seseorang. Setelah mengusap layar ponsel, ia menempelkan di telinganya.
"Halo? Tumben kau menelpon? Ada apa, Lan?" Suara seorang laki-laki terdengar dari dalam ponsel Alan.
"Neo? Apa kau ada waktu malam ini?"
"Malam ini? Kau tahu malam ini aku sedang libur. Ada apa memangnya?"
"Bagus! Datanglah ke rumahku."
"Ada apa memangnya? Apa kau sakit?"
"Tidak ada yang sakit. Tapi ada seorang perempuan yang perlu kau periksa."
"Haaah?!"
***
Alan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Saat itu, ia melihat Elena sedang duduk di sofa ruang tamu. Elena yang tengah membaca buku itu, tidak menyadari Alan datang.
Alan melihat rambut Elena yang basah setelah keramas. Entah kenapa, Alan baru melihat Elena pertama kali seperti itu. Elena, nampak lebih cantik dari biasanya. Membuat Alan terpesona sesaat. Tepat saat itu, Elena menoleh ke arah Alan yang baru datang.
Elena pun terhenyak melihat Alan. Alan segera menghilangkan imajinasi sesaatnya tentang Elena. Ia berdehem beberapa kali pelan, dan segera mengembalikan fokus. Elena meletakkan bukunya, berdiri dan segera berjalan ke arah Alan.
"Pak Alan kapan datang? Kenapa aku tidak dengar suara mobilnya?" tanya Elena.
"Baru saja," jawab Alan datar tanpa ekspresi.
Elena mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Elena kemudian melihat Alan dengan wajah ragu-ragu. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun ia tidak begitu yakin.
"Eehmm ... Pak? Saya ingin mengatakan sesuatu," kata Elena nampak sangat ragu.
"Tentang apa? Katakan saja."
"Soal tadi malam ... saya benar-benar minta maaf. Saya sudah mengolok Pak Alan di belakang."
"Apa kamu sering melakukannya?"
"Ya ... lumayan sih, Pak," jawab Elena jujur. Alan ingin tersenyum, tapi ia menahannya. Alan benar-benar baru menemukan perempuan sejujur Elena tentang dirinya.
"Bagian mana yang Pak Alan dengar?"
"Tidak begitu jelas. Yang sangat jelas adalah yang bagian terakhir."
"Oooh ...." Elena kembali mengangguk-anggukkan kepalanya nampak lega.
Karena yang sangat berbahaya ketika didengar Alan menurut Elena adalah di bagian awal. Apa lagi saat Elena mengumpat kata 'Sialan' untuk Alan. Dan juga, ketika Elena membayangkan saat Alan saja yang lebih baik hamil.
"Kenapa memangnya? Apa kamu berkata jelek di belakangku?"
"Hhm ... tidak juga, Pak. Saya hanya asal bicara saja," jawab Elena kikuk.
"Benar juga. Mana mungkin kamu mau mengaku?" gumam Alan dalam hati.
Tiba-tiba, dari arah halaman ada sebuah mobil yang masuk. Membuat Alan dan Elena melihat ke arah luar. Mobil yang masuk ke halaman rumah Alan itu berhenti. Dari dalam mobil itu, keluar seorang laki-laki.
Elena tentu saja terkejut melihatnya. Elena segera ingin masuk ke dalam kamar untuk menyembunyikan dirinya. Namun, tiba-tiba saja Alan memegangi pergelangan tangan Elena, mencegahnya masuk. Elena tentu semakin bingung dan panik.
"Pak, ada tamu! Saya harus segera masuk!" kata Elena.
"Tidak apa-apa," jawab Alan.
Sementara itu, laki-laki yang baru masuk ke dalam rumah itu nampak terburu-buru. Ia yang sudah masuk, melihat Alan memegangi tangan Elena. Membuat laki-laki itu tercengang melihat keduanya.
"Selamat datang, Dokter Neo!" sapa Alan begitu laki-laki tersebut masuk.
"Lan! Siapa perempuan ini!" tanya Neo.
"Kenalkan! Dia istriku!" jawab Alan.
Neo yang mendengarnya, tentu saja mengangakan mulutnya lebih lebar lagi. Tidak percaya dengan apa yang baru saja Alan katakan. Sedangkan Elena yang ada di sampingnya, menoleh ke arah Alan dengan kebingungan. Apa dia sedang bermimpi? Pikir Elena.