5~ Menikah

1147 Kata
Setelah Wira meninggalkannya, Mita keluar dari kamar dan berpapasan dengan Lilis . "Sayang, kamu lihat Wira gak? Ibu udah cari ke depan tapi gak ada. Di ruang kerja juga masih kosong," tanya wanita paruh baya itu. "Kayaknya dia ke belakang deh, Bu. Mungkin lagi ambil air minum," sahut Mita, "Bu! Aku mau bicara sama Ibu sebentar, boleh?" Ia merangkul lengan ibunda Wira yang sudah seperti ibunya sendiri. "Mau bicara apa?" tanya Lilis "Kita bicara di kamar Ibu aja, yuk!" Mita menarik tangan wanita paruh baya itu menuju kamar yang posisinya tepat di samping kamar Wira. "Mau bicara apa sih? Kok kayaknya serius banget," tanya Lilis lagi saat mereka sudah duduk saling berhadapan. Mita tiba-tiba menjatuhkan kepala di pangkuan wanita itu. "Aku sedih, Bu,'' ujarnya, suara dibuat sesedih mungkin. Dengan sayang Lilis mengusap kepala wanita yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. "Sedih kenapa, Sayang?" "Wira, Bu."' Wanita paruh baya itu mengernyit. "Wira? Ada apa dengan dia?" "Apa Ibu tau kalau aku dan Wita saling sayang?" "Iya, ibu tahu. Kalian sudah berteman sejak kecil. Ibu tahu kalian saling menyayangi," angguk Lilis. "Bukan sayang yang itu, Bu, tapi sayang perempuan dan laki-laki," sahut Mita. "Apa?" Dari suaranya Lilis terdengar terkejut. "Iya, Bu. Tapi Wira sekarang mau ninggalin aku waktu aku bilang mama dan papa mau jodohin aku. Wira bilang aku lebih baik terima perjodohan itu. Tapi aku gak mau, Bu. Aku maunya nikah sama Wira. Kalau enggak, aku mending gak usah nikah aja," balas Mita dengan sendu. Lilis terdiam. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Wira tidak pernah bercerita tentang hubungannya dengan Mita. "Tapi Ibu tau gak? Wira selalu bilang kalau aku dan dia itu hanya temanan. Kalau ada yang tanya, dia pasti bilang semua yang aku bilang ini gak benar, dia bilang aku cuma halu. Aku sedih, Bu. Padahal aku cuma minta dia datang ketemu mama dan papa buat ngelamar aku biar aku gak dijodohkan sama mereka tapi Wira gak mau, malah nyuruh aku nerima perjodohan itu." Mita bicara panjang lebar saat ibunda Wira itu hanya diam saja, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia menjauhkan kepala dari pangkuan Lilis, duduk dengan kepala menunduk sedih. Wanita penyayang itu kemudian meraih tangan Mita dan menggenggamnya erat. "Nanti ibu bantu kamu bicara pada Wira," ujarnya dengan lemah lembut, begitu saja percaya pada gadis dewasa yang duduk bersamanya dan memasang raut wajah mengiba. "Benar, Bu?" tanya Mita, masih meragu. "Benar, Sayang." Lilis mengangguk dengan pasti. Mita tersenyum penuh haru lalu memeluk ibu kedua baginya itu. Perasaannya kini campur aduk antara senang dan merasa bersalah tetapi semua harus ia lakukan. "Makasih, Bu. Aku sayang sama Ibu. Malah lebih sayang Ibu daripada mama aku yang cerewet," ujar Mita sembari mengurai pelukan. "Hus! Kamu ini bicara apa? Ibu kamu yang mengandung dan melahirkan kamu. Kamu harus sayang sama dia melebihi apa pun," tegur Lilis. "Iya, Ibu," angguk Mita kemudian mendekatkan wajahnya pada wanita itu, menempelkan kedua pipi mereka, memeluk dengan sayang. "Aku sayang Ibu." Lilis tersenyum. "Ibu juga sayang kamu, Nak," balasnya. "Kalian lagi pada ngomongin apa?" Wira tiba-tiba muncul di sana karena pintu kamar ibunya memang tidak tertutup rapat, menatap curiga pada sang teman. Untuk sepersekian detik Mita nampak terkejut tetapi kemudian bersikap seperti biasa. "Kalau gitu aku pulang dulu ya, Bu," pamitnya pada Lilis. "Ya sudah kamu hati-hati ya, Sayang." Mita mengangguk kemudian berlalu melewati Wira yang masih berdiri di ambang pintu dan masih menatap curiga ke arahnya tetapi ia abaikan Mita tidak tahu setelah itu apa yang Lilis katakan pada Wira karena beberapa kemudian Wira menghubungi dan mengatakan bersedia menikah dengannya. Yang ia tahu Lilis adalah kelemahan Wira yang berhasil ia manfaatkan. Tiga hari kemudian Wira dan Lilis datang menemui orangtua Mita untuk melamar dan tentu saja niat itu disambut hangat karena orang tua Mita dan Wira memang bersahabat sejak muda. Dan akhirnya di sinilah mereka berada sebagai pasangan pengantin. Sebuah acara pernikahan yang sederhana tetapi meriah dengan kehadiran anak-anak penghuni panti asuhan sebab pernikahan itu diadakan di sana. Tidak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga, sahabat dan kerabat dekat saja. "Saya terima nikah dan kawinnya Paramitha Ayudia Bakhtiar binti Rama Wahid Baktiar dengan mas kawin tersebut—tunai!" Dalam ruangan yang dipenuhi banyak orang, menggema ucapan lantang seorang pria yang baru saja berubah status menjadi seorang suami. "Bagaimana para saksi? Sah?" tanya pria paruh baya yang berprofesi sebagai penghulu, menatap dua orang saksi pernikahan. "Sah!" jawab saksi pertama. "Sah!" Saksi kedua pun mengangguk pasti. "Alhamdulillah," ucap syukur semua orang yang ada di sana, hampir bersamaan. Mempelai wanita baru keluar dari kamar setelah statusnya resmi menjadi seorang istri. Pasangan pengantin itu menyelesaikan segala proses pernikahan. Menandatangani surat menyurat untuk melegalkan pernikahan mereka. Sang suami mengecup kening istri setelah sebelumnya wanita itu terlebih dahulu mencium punggung tangannya. "Gak usah cengar-cengir! Puas kamu sekarang?" ujar sang pria. "Puas!" jawab Mita dengan senyum lebar, menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya itu. "'Kan aku udah bilang, Ra, aku lebih baik nikah sama kamu daripada nikah sama dia." Wira yang akhirnya harus menikahi sahabatnya sendiri, hanya memutar bola mata. "Dasar Tukang Maksa!" Mita tertawa, ternyata muslihat yang ia lakukan berhasil membuat pria itu akhirnya bersedia untuk menikahi dirinya. "Aku masih nggak percaya kalau akhirnya kalian menikah," komentar seorang wanita yang sedang hamil besar, menghampiri Mita dan Wira bersama seorang pria. Mita tertawa. "Jangankan kamu, Icha. aku sendiri aja masih setengah nggak percaya kalau akhirnya kami menikah," balasnya pada Annisa yang tidak lain adalah sahabatnya. "Tapi aku ikut bahagia dengan pernikahan kalian. Namanya jodoh memang gak bisa ditebak," sahut Annisa. "Kamu bener!" balas Mita. "Tapi aku masih penasaran, sejak kapan kalian punya hubungan? Kenapa aku tiba-tiba mendengar kabar kalian akan menikah?" tanya Annisa lagi. Ia memang sempat terkejut ketika Mita mendatanginya dan mengatakan akan menikah dengan Wira. Selama ini yang ia tahu kedua sahabatnya itu memang bersahabat sejak kecil. ''Kamu pernah denger pepatah engga yang bilang, sembunyikanlah hubungan dan lamaranmu lalu umumkanlah pernikahanmu. Nah itu yang kami lakukan," jawab Mita. Anisa menatap tidak percaya wanita yang usianya tiga tahun lebih tua darinya tersebut. "Iya kah?" Ia lalu menoleh pada Wira yang tidak mengatakan sepatah kata pun. "Iya dong." Mita kemudian menyentuh perut besar sahabatnya. "Kamu lahiran di tempat aku lagi 'kan?" bertanya untuk mengalihkan topik pembicaraan. Annisa mengangguk. "Insya Allah." "Aku sih mau lahiran di mana juga, boleh. Yang penting jangan sampai anak aku disembunyiin lagi sama dokter yang membantu istriku melahirkan," sindir Barra yang merupakan suami dari Annisa. Mita tertawa. "Kalau dulu, lain cerita, Pak Barra," kilahnya yang memang merasa pernah menyembunyikan salah satu anak kembar yang dilahirkan Annisa tujuh tahun yang lalu, dari Barra. Tok! Tok! Tok! "Ta, kamu ngapain di dalam kamar mandi lama banget? Kenapa gak ada suara air dari tadi? Kamu gak apa-apa? Kamu dengar aku 'kan, Ta?" Suara ketukan di pintu disertai dengan pertanyaan bertubi dari sang suami yang sarat dengan rasa khawatir membuat Mita terperanjat. Ia pun tersadar dari lamunan panjangnya. "Aku nggak apa-apa, Ra. Ini udah mau mandi kok." Gegas ia menjawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN