6~ Ditinggal Pergi

1016 Kata
"Mau ikut?" tanya Wira saat sang istri keluar dari kamar mandi masih dengan wajah cemberut. Wanita itu hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Aku mau ke rumah sakit." "Ngapain?" "Mau jogging!" ketus Mita. "Aku serius, Mita ...." "Ya menurut kamu aku mau ngapain ke rumah sakit? Masa mau liburan?!" "Tapi 'kan kamu libur sampai beberapa hari ke depan, Mita," sahut Wira. "Kamu juga." "Beda dong.'' "Apa bedanya? Sama-sama gak ada di rumah setelah menikah. Orang aku cuma pengen kita secepatnya pindah dari sini." Wanita itu mengomel, sebenarnya bisa saja ia pergi sendiri tetapi tidak ingin membuat curiga ibu mertua. Wira membuang napas pasrah. "Ya udah. Terserah kamu aja deh. Nanti kabarin aku kamu jadi atau enggak ke rumah sakit. aku usahakan pulang secepatnya biar kita bisa ke rumah kamu. Aku jalan dulu," pamitnya seraya mengusap puncak kepala istrinya. "Hem." Hanya gumaman yang Mita berikan sebagai jawaban kemudian kembali naik ke atas tempat tidur. "Sarapan dulu, Ta. Jangan males-malesan sarapan. Ibu dan anak-anak udah nunggu." Meski dengan malas Mita akhirnya kembali bangkit karena merasa tidak enak jika ibu mertua dan anak-anak yang ada di panti itu terlambat sarapan karena dirinya. "Jangan cemberut. Nanti ibu curiga, masa baru juga nikah udah masam aja mukanya," ujar Wira seraya mencubit pucuk hidung sang istri. "Sakit tahu!" Mita menepis dengan wajah sangar. "Lagian kalau ibu tanya aku tinggal bilang aja kamu ngeselin." "Dasar tukang ngadu!" Sekali lagi pria itu mencubit pucuk hidung mancung sang istri. Hal yang selama ini tidak berani ia lakukan, kini setelah menikah ia bebas menyentuh dan menjahili wanita itu. "WIRA!" pekik Mita dengan kesal sambil menepuk tangan suaminya yang justru tertawa. "Udah, ah! Ayo sarapan dulu. Abis itu aku harus jalan. Takut terlambat." Wira menarik tangan sang istri. "Kamu duluan aja. Aku mau pakai dulu kerudung." Mita menepis tangan suaminya. "Oh, iya. Ya udah aku tungguin." Wira sengaja berdiri menunggu. "Kok malah diam aja? Cepat pakai kerudungnya!" Meski masih dengan sebal Mita akhirnya menurut dan membiarkan pria itu menuntunnya keluar dari kamar. Mata kesalnya melirik pada tangan suami yang menggenggamnya. 'Perasaan dia yang nolak nikahin aku waktu itu, tapi sekarang malah dia juga yang cari kesempatan,' batin Mita. Tetapi meski begitu ia tidak berusaha untuk melepaskan diri. "Pagi, Mbak Mita dan Mas Wira," sapa anak-anak saat pasangan pengantin baru itu menghampiri. Mereka sedang duduk melingkar, lesehan di atas lantai sebuah ruangan besar. Di hadapan mereka ada meja kecil berbentuk segi panjang yang cukup untuk dua orang. Meja yang biasa mereka gunakan untuk makan atau belajar. Di atasnya sudah ada piring berisi sarapan. Wira tersenyum. "Pagi, semuanya." Sambil menarik tangan istri untuk duduk di tempat yang disediakan untuk mereka. "Pagi, Bu," sapa Mita pada ibu mertua yang duduk si sampingnya. "Pagi, Sayang,'' balas Lilis, tersenyum sambil mengusap punggung menantu. "Mas Wira kok tambah ganteng aja sekarang." Salah seorang anak perempuan berusia sekitar dua belas tahun—berkomentar. "Itu bawaan, katanya kalo udah nikah orang jadi bercahaya wajahnya," celetuk anak perempuan lain. Sementara wajah Mita berubah menjadi merah merona mendengar komentar dari anak-anak, Wira justru tertawa. "Sudah, lebih baik kita sarapan. Giliran siapa yang pimpin doa sekarang?" "Hendi!" Kompak anak-anak itu menjawab sambil menunjuk salah satu teman mereka. "Ayo, Hendi! Kamu pimpin doa." "Baik, Mas." *** "Kamu memangnya gak bisa tunda Kerajaannya? Masa baru kemarin nikah udah kerja. Klien kamu yang sekarang mau kamu temui itu 'kan tahu kamu baru nikah cuma gak bisa datang 'kan?" Lilis bertanya saat putranya pamit. "Iya, Bu. Tapi Beliau siang ini mau ke luar negeri jadi cuma ada waktu sekarang," sahut Wira. "Kamu udah pamit sama istri kamu?" "Udah kok, Bu. Biarpun dia agaj jutek. Ibu tau sendiri lah dia seperti apa. Kalau ada maunya harus dilakukan sesegera mungkin," sahut Wira. Lilis mengernyit. " Memangnya istri kamu mau apa?" "Mau pulang." "Ya sudah. Kalau gitu kamu harus usahakan pulang secepatnya. Jangan suka bikin istri sedih, bagaimana cara kamu memperlakukan istri, itu berpengaruh pada kehidupan kamu dan juga rezeki kamu." "Iya, Bu. Ya sudah, aku jalan dulu. Takut telat," pamit Wira sambil mencium punggung tangan kemudian mengecup kening ibunya. Karena sudah pamit pada Mita, ia pun gegas berjalan menuju mobil. Melambaikan tangan pada istri yang ia lihat sedang berdiri dibalik jendela kamar. Wira terkekeh sambil membuka pintu mobil ketikan melihat istrinya membuang muka dan meninggalkan jendela. "Dasar anak papa." *** "Selama pagi, Pak Arga!" sapa seorang pria saat Wira tiba seraya mengulurkan tangan. "Selamat pagi, Pak Damar," balas Wira, menyambut uluran dan berjabat tangan. "Maaf, saya mengganggu waktunya Pak Arga dan istri. Saya sebenarnya gak enak hati harus mengganggu pengantin baru tapi bagaimana lagi, saya terdesak," kekeh pria bernama Damar tersebut. "Tidak apa-apa, Pak. Saya maklum," sahut Wira yang lebih dikenal dengan nama Arga di lingkungan selain keluarga dan orang terdekat. Hanya orang-orang tertentu yang memanggilnya dengan nama Wira. Damar hanya tersenyum. Wira kemudian membuka laptop dan mengutak-atik benda tersebut. "Ini desain sesuai deskripsi yang Bapak terangkan pada saya." Ia menggeser laptop ke hadapan sang klien. Damar menelitinya setiap detail rancangan rumah impian yang ia pesan itu kemudian tersenyum puas. "Semuanya sudah sesuai, Pak. Sayangnya rumah ini tidak jadi saya hadiahkan untuk calon istri saya." Ada kecewa dalam suaranya. "Kenapa?" Wira bertanya, pemasaran karena sejak awal kliennya itu mengatakan bahwa rumah yang akan dibangun tersebut adalah hadiah untuk wanita yang akan dinikahi. Damar terkekeh. "Dia menolak perjodohan kami dan memilih menikah dengan pria lain." "Oh, perjodohan," gumam Wira. "Iya. Meskipun kami dijodohkan tapi saya sudah suka sama dia sejak kami masih sama-sama duduk di bangku sekolah menengah atas. Tapi karena saya melanjutkan kuliah di luar negeri kami nggak pernah bertemu lagi. Beberapa bulan yang lalu saya kembali dan minta orang tua saya untuk menjodohkan saya sama dia tapi ternyata dia menolak dengan alasan sudah punya pasangan dan ternyata benar, dia menikah." Panjang lebar bercerita. "Mungkin jodoh Pak Damar memang bukan dia. Semoga Bapak segera menemukan jodoh terbaik sebagai penggantinya," harap tulus Wira. Damar tersenyum. "Terima kasih Pak Arga. Maaf saya jadi menceritakan masalah pribadi saya." "Tidak masalah, Pak Damar," sahut Wira, "kembali ke design, apakah ada yang mau direvisi?" Arga mengangguk. "Karena udah bukan buat dia lagi, jadi ada sedikit yang mau saya rubah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN