4~ Ditolak Mentah-mentah

1030 Kata
"Mita! Kamu dengar aku tanya 'kan?" Wira sekali lagi bertanya karena wanita itu mengabaikannya dan malah asik bermain ponsel sambil duduk bersandar pada kepala ranjang. "Kamu lihatnya aku lagi apa?" Dengan santai Mita balik bertanya. "Kalau ibu atau anak-anak lihat, gimana? mereka bisa salah paham," kesal Wira, menoleh keluar kamar, memastikan bahwa tak ada siapa-siapa, khawatir ada yang melihat mereka. "Biarin!" "Ayo keluar! Kalau mau santai kamu bisa pakai ruang tamu." "Gak mau!" "Mita, Ayo dong ... jangan kayak gini." Wajah pria itu memelas. "Nanti kalau ibu lihat, gimana?" "Biarin. Biarin aja ibu lihat kita di sini!" "Lagian kamu ini ngapain, sih, di kamar aku?" "Biar dilihat ibu dan kita dinikahkan," sahut Mita. Wira memijat kepala yang terasa berdenyut melihat tingkah sahabatnya tersebut. Ternyata semua masih tentang keinginan wanita itu untuk menikah dengannya demi menghindari perjodohan. "Mita ... dengerin aku—" "Aku akan tetap di sini. Biar ibu salah paham sekalian," potong Mita sebelum Wira sempat bicara lebih banyak. Wira menatap nanar wanita pemaksa itu. "Terserah kamu lah. Kalau kamu mau di sini, silakan." Ia akhirnya pasrah, tahu pasti bahwa berdebat bukan jalan keluar. Melangkah masuk dan membuka laci nakas yang ada di samping tempat tidur. Mengambil pulpen dari sana karena benda itu lah yang menjadi tujuannya pergi ke kamar. Tetapi siapa sangka, ketika ia hendak keluar, tiba-tiba saja Mita berlari dan menutup pintu bahkan menguncinya. Wira jelas terkejut karena kini mereka ada di dalam kamar yang tertutup. "Astagfirullah ... Mita ... kamu ini ngapain, sih? Buka pintunya! Aku mau keluar!" Mita yang masih berada berada di belakang pintu, menggelengkan kepala. "Aku gak mau buka sampai kamu mau nikah sama aku." "Mita ... berapa kali sih aku harus bilang, aku gak bisa nikah sama kamu dengan tujuan yang gak bener," geram pria itu. "Gak bener apa? Tujuan bener kok, buat menyelamatkan hidup aku," sahut Mita. Wira meraih bantal tidur dan membawanya mendekati Mita yang masih menyandarkan punggung pada pintu kamar. "Minggir! Aku mau keluar," titahnya sambil memukulkan bantal pada sang teman. Mita menggeleng cepat. "Mita ...." "Gak akan aku buka sampai kamu mau bantuin aku." Mita bersikukuh. "Aku gak bisa, Mita. Kamu cari orang lain aja. Kalau perlu nanti aku bantu kamu cari orang yang bisa bantuin kamu bohongin orangtua kamu. Sekarang tolong minggir. Aku ada deadline," sahut Wira, berusaha meraih pegangan pintu. Tetapi dengan cepat Mita bergeser hingga pegangan itu tertutup oleh tubuhnya. "Mita ... ayo, dong. Kamu jangan kayak anak kecil gini." "Kamu yang kayak anak kecil. Orang aku minta bantuan kamu tapi kamu gak mau padahal aku juga minta tolong baik-baik sama kamu," balas Mita. "Kalau kamu minta bantuan yang lain, aku bisa bantu. Tapi permintaan kamu itu gak masuk akal, Ta!" "Masukin akal aja." "Mita ...," geram Wira, kedua tangannya meremas bantal dengan kuat, gigi bergemeletuk, menahan kesal tetapi tidak bisa bersikap kasar. "Lebih baik kamu pulang. Saran aku mending kamu terima aja perjodohan itu." "Aku gak mau, Ra,'' rengek Mita dengan wajah memelas. "Ta ... kalau kamu gak mau dijodohin, ya kamu cari pasangan yang sesuai buat kamu." "Ini juga. Aku lagi menawarkan diri untuk kamu nikahi. Jarang-jarang lho ada cewek cantik, baik dan pintar kayak aku mau susah-susah minta dinikahi," sahut Mita dengan narsis. Wira memutar bola mata, malas. "Ya bukan aku juga, Ta." "Tapi cuma kamu orang yang paling tepat. Aku yakin kamu gak akan macam-macam. Kalau cowok lain aku gak yakin." Wira menggelangkan kepala. "Aku gak bisa, Ta. Sekarang tolong kasih aku jalan. Keburu klien minta design rumahnya." Dengan lemah lembut ia meminta. "Aku gak akan kasih kamu jalan kalau kamu gak mau bantu aku." "Mita—" "Aku akan teriak biar ibu tau kita berduaan di sini!" tegas wanita itu, menggertak. Sang pria menghela napas panjang. "Aku gak ada waktu meneladani kamu yang makin hari makin sableng. Minggir!" "Ibu! Aku sama Wir—" Wira yang terkejut sekaligus panik, segera menutup mulut Mita dengan bantal yang masih ada di tangan sebelum wanita itu membuat masalah. Mita meronta tetapi tentu saja tenaganya tidak lebih besar dari sang pria. "Aku akan lepas tapi kamu harus diam!" Gegas Mita mengangguk dan Wira pun segera menjauhkan bantal yang sempat menutup mulut wanita itu. "Kamu mau aku mati, ya?" semprot Mita dengan kesal. "Salah kamu sendiri. Bikin ulah duluan," balas Wira sambil meraih pegangan pintu. "Ra, kamu di dalam?'' Tiba-tiba saja terdengar suara Lilis—ibunda Wira, bicara di depan pintu kamar tempat mereka berada sambil mengetuknya. Wira dan Mita saling bertukar pandang, tentu saja mereka terkejut tetapi Mita segera memanfaatkan kesempatan itu. Ia sudah hendak berteriak tetapi Wira dengan gesit menutup kembali mulut Mita dengan bantal dan mendorong tubuh wanita itu hingga punggungnya menempel di pintu. "Diam!" "Ra? Kamu lagi sama siapa di dalam?" Lilis sekali lagi bertanya karena mendengar suara tak biasa. "Ak—" "Aku, Bu!" Mita lebih dulu bicara sebelum Wira bicara. Pria itu pun membulatkan bola mata saat Mita dengan berani bersuara. "Mita? Kamu lagi apa di kamar Wira? Kalian berduaan?" Dari suaranya wanita paruh baya itu tampak terkejut. Begitu juga dengan Wira, ia panik. "Aku ...." Mita berpikir sejenak. Jika ia mengaku, Wira pasti marah dan itu akan membuatnya semakin sulit meyakinkan pria itu untuk membantunya. "Aku sendiri, Bu. Mau ikut ke kamar mandi. Tadi yang di depan ada orang. Aku udah gak kuat." "Oh. Ya sudah. Ibu mau cari Wira dulu. Tadi di ruang kerjanya gak ada siapa-siapa. Ibu mau cari ke depan," ujar Lilis, percaya begitu saja. Wira membuang napas lega. "Aku mau keluar!" "Eits, tunggu dulu! Enak aja mau keluar. Kamu punya hutang budi sama aku," cegah Mita. "Hutang budi apa?" "Itu barusan. Aku selamatkan kamu dari ibu." Wira berdecih. "Aku gak punya hutang apa-apa sama kamu. Orang semua juga gara-gara kamu." "Oh. jadi gitu? Baiklah aku laporin ibu kalau kita berduaan di sini." "Bodo amat!" sahut Wira yang akhirnya berhasil membuka pintu. "Kalau kamu ngomong macam-macam sama ibu, aku juga bisa membela diri. Jangan harap kamu bisa paksa aku buat nikah sama kamu! Nikah aja sana, sama calon yang disiapkan sama orangtua kamu!" Ia lalu meninggalkan Mita seorang diri di kamarnya. wanita itu berdecak sebal. Sembari memberengut ia keluar dari kamar, menatap punggung temannya yang semakin menjauh. "Awas aja kamu! Aku kerjain, baru tau rasa!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN