Fadli merasa hatinya sangat terluka. Ada kekecewaan yang hadir di lubuk sanubarinya. Betapa tidak, Wafi semakin dewasa tak semakin bisa membuat sebuah keputusan baik dalam hidupnya sendiri. kini sesuatu yang sama sekali tak diinginkan, sampai hati harus dirasakan oleh Fadli.
Tiba-tiba saja pendengaran Fadli seperti tengah menelisik ke arah kamar Wafa. Seperti ada benda jatuh dengan bunyi lantangnya. Fadli pun segera berlari menuju ke kamar Wafa. Dia sempat terkejut saat melihat kaki Wafa yang bersimbah darah.
“Fa, kamu kenapa?”
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit ngilu saja.”
“Ini bukan ngilu lagi, tapi darah yang keluar sangatlah banyak. Sebentar bapak cari obat dulu.”
Fadli segera berlari dengan sangat cepat. Sedangkan Wafa hanya diam dengan pikiran melayang. Dia sama sekali tak bisa berpikir jernih. Baginya, semua terasa buntu untuk sebuah jalan yang akan dilewatinya.
Wafa sangat benci pertengkaran. Dan bahkan kini dirinya pun semakin malas dengan kondisi ekonomi keluarganya yang semakin sulit. Padahal sebelum-sebelumnya, Wafa tak merasakan hal sesulit yang kini tengah dialaminya.
Wafa seperti tak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Dia hanya butuh ketenangan, bukan mendengar adu mulut setiap hari di rumahnya. Belum lagi, Wafa yang masih terngiang dalam ingatannya tentang sebuah pertanyaan yang belum didapatkan sebuah jawaban pasti.
Dia yang tak sengaja mendengar pembicaran ibu dan bapaknya. Seolah ada sesuatu yang tak diketahuinya. Ada rahasia yang terkubur rapat, tak ada yang bisa membuktikan pernyataan yang masih sangat mengganjal di hatinya.
Fadli datang dengan membawa sekotak obat. Dia berusaha memberikan pertolongan pertama untuk anaknya. Fadli pun merasa sangat khawatir dengan apa yang terjadi pada Wafa.
“Pak, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Tentu saja boleh, apa yang ingin engkau tanyakan?“
Wafa menghela napas panjang. Dia seolah ingin memantapkan hatinya sendiri terkait sebuah pertanyaan misteri yang masih digenggam erat dalam jemarinya.
Baru saja Wafa akan membuka mulutnya. Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu dari arah ruang tamu dengan sangat kerasnya.
“Sepertinya ada tamu, ini sudah hampir selesai diperban. Kamu istirahat, bapak akan buka pintu dulu.”
Tak ada yang bisa dilakukan Wafa selain hanya menerima tanpa ptotes. Dia tak menghiraukan emosinya, ditpisnya kekhawatiran yang masih saja memuncak dalam benaknya itu. Namun, dia harus mencoba untuk menahan, pertanyaan itu pun kembali disimpannya dengan tanda tanya besar yang membutuhkan sebuah jawaban.
Fadli melangkah dengan sangat cepat untuk membukakan pintu. Dia melihat tama yang bajunya basah kuyup karena guyuran air hujan. Dia menggigil seperti sedang kedinginan.
“Tama, kenapa hujan-hujan kemari?”
“Saya mengantarkan sepatu bapak.
”Kamu sama siapa, nak?”
”Sama ayah, Pak.”
“Di mana ayahmu?”
“Menungu di depan [agar rumah, bapak.”
Fadli kemudian memfokuskan pandangan matanya ke arah pagar rumahnya. Dia memang melihat ayah Tama yang sedang mengendarai sepeda ontelnya. Fadli merasa terketuk hatinya, dia merasa sangat tak enak hati. Apalagi hujan deras mengguyur bumi.
“Pak, kalau begitu Tama pulang dulu, ya.”
“Bapak antarkan kamu ke ayahmu, ya.”
“Tidak usah, pak. Diluar hujan nanti bapak basah kuyup.”
Fadli merasa teriris hatinya mendengar apa yang dikatakan Tama kepadanya. Fadli akan tetap melangkah keluar pagar.
Namun, Tama lebih cepat menuju ke ayahnya. Fadli pun mengikutinya dengan menambah kecepatan kakinya. Menatap wajah ayah Tama dengan penuh rasa hormat, begitu menyentuh sanubarinya.
“Pak, terima kasih sudah membantu saya memperbaiki sepatu ini dan sudah diantarkan juga.”
“Tidak apa-apa pak Fadli. Bapak masuk saja ke rumah, hujannya semakin deras.”
“Pak, berapa yang harus saya bayar?”
“Tidak usah, pak. Pak Fadli mohon ijin saya pulang dulu, kasihan Tama sudah kedinginan.”
Fadli pun tak mencegah lagi apa yang dikatakan ayah Tama. Mengingat hujan yang semakin deras menghiasi malam panjang. Seketika keduanya pun berlalu.
***
“Yanti, apa kamu sudah tidur?”
“Kenapa, Mas?”
“Bisa kita bicara sebentar.”
Riyanti yang sudah terbaring dengan berhias selimut itu pun segera menatap suaminya. Lalu dia membangunkan tubuhnya yang sedari tadi sudah menghiasi tempat tidurnya.
“Ada apa, Mas?”
“Yan, tadi bu lurah kemari.”
“Terus?”
“Dia meminta kita untuk mengembalikan uang kas PKK yang kamu hutang beberapa waktu lalu.”
“Ya sudah, Mas. Kan tinggal dibayar saja.”
“Yan, kamu tahu aku juga belum gajian.”
“Mas, membayar hutang itu tugasmu, aku tak mau memikirkan itu.”
“Yan, bagaimana kalau kamu jual dulu cincin itu.”
“Enak saja, ini cincin kan baru saja aku beli, masak mau dijual lagi.”
“Untuk sementara, Yan. Jika nanti aku ada uang pasti aku akan menggantinya.”
“Tidak, aku tidak mau. Lagian kamu kan sudah berjanji akan menuruti apa yang aku inginkan. Ingat itu mas, semua demi calon anak yang aku kandung.”
Riyanti kembali membaringkan tubuhnya, kini dia membungkus semua tubuhnya dengan selimut. Bahkan kepalanya pun hampir tak terlihat.
Fadli hanya diam, sembari memikirkan apa yang kini harus dilakukan untuk membayar hutang. Dia yang meminta waktu seminggu pada bu lurah untuk melunasi hutang itu. Kini Fadli pun seperti tercekik dengan apa yang dihadapinya.
“Yan, bagimana kalau aku meminjam cincinmu dan minggu depan akan ku kembaikan padamu.”
Yanti yang mendengar suara Fadli itu merasa sangat geram. dia tak bisa menahan emosinya lagi. yanti kembali mengibaskan selimutnya dan menatap suaminya itu dengan tatapan garang menantang.
“Mas, kalau aku sudah bilang tidak berarti ya tidak.”
Fadli tak melanjutkan permohonannya. Dia hanya bisa diam dengan perlakuan Riyanti. Istrinya itu sudah tak peduli lagi dengan apa yang terjadi. Fadli pun tak langsung tidur. Dia keluar kamarnya dan menuju ke dapur.
Fadli baru ingat bila seharian ini dirinya dan Wafa belum makan nasi. Fadli memukul jidatnya tanpa pikir panjang. Seribu penyesalan kini bergumam dalam hatinya. Dia merasa sangat tak berguna. Fadli gagal memberikan hak atas anak-anaknya.
Fadli memutar otak. Dia tak bisa lagi diam dengan hanya mengandalkan gaji bulanan dari sekolah. Dan juga dia tak bisa menunggu ayam-ayamnya bertelur untuk memenuhi isi perutnya. Fadli harus cepat bergerak, demi sebuah harapan yang diinginkannya.
Kemudian mata Fadli tertuju pada sebuah plastik panjang yang tergeletak di atas meja dapurnya. Fadli memandanganya penuh keseriusan. Dia kemudian seperti mendapat sebuah bisikan untuk melakukan sebuah pekerjaan yang akan menghasilkan uang.
Fadli pun melihat bahan-bahan yang sekiranya bisa dibuatnya. Namun, usahanya belum mendapatkan petunjuk. Fadli pun terduduk kaku. Dia tak bisa berbuat apa-apa dengan plastik yang kini sedang digenggamnya itu.
Kemudian entah mengapa, Fadli ingin membuka kulkas yang terletak tak jauh darinya. Lalu Fadli pun segera melangkah untuk membuka pintu kulkas yang tertutup itu. tak lama Fadli melihat sirup rasa jeruk yang isinya masih sangat banyak.
Fadli memutar otanya. Dia seakan mendapat ide yang akan dilakoninya. Tepat pukul sebelas malam. Fadli sibuk di dapur, dia membuat sesuatu untuk bisa dijual dan menghasilkan rupiah.