Fadli mengelap keringat yang menghiasi dahinya. Tenaganya sudah harus dikeluarkan lumayan banyak. Mencangkul ladangnya untuk bisa menanam singkong yang baginya merupakan salah satu dari harapannya.
Setelah selesai dengan pekerjaan di ladang. Fadli pun kembali pulang ke rumah. Pandangan matanya segera mencari jam dinding yang tertempel tak jauh dari tempatnya berdiri. Fadli segera berlari ke kamar mandi. Dia harus segera bersiap untuk menuju ke sekolah.
Fadli berpapasan deng an Wafi yang juga akan menuju ke kamar mandi. Fadli menahan langkahnya sembari melempar senyum pada anaknya itu.
“Mandilah dulu.”
Fadli kemudian membelokkan arahnya. Dia menuju ke dapur. Dirinya kembali teringat bahwa Fadli masih belum membeli beras. Dia mendongakkan kepalanya. Serasa hatinya begitu miris memikirkan kondisi keuangannya yang sedang tidak baik-baik saja itu.
Fadli membuka kulkasnya. Apa yang dibuatnya semalam masih belum jadi sempurna. Minuman di plastik panjang dengan sebutan es lilin itu masih belum bisa dijualnya. Fadli kembali menghela napas panjang.
Dia merasa sangat berdosa. Hampir dua hari ini dia tak bisa memberi makan keluarganya. Bahkan hari ini Fadli sudah merencanakan untuk berpuasa. Fadli bertekad, setelah pulang sekolah nanti, Fadli harus bisa membeli beras.
Fadli menggenggam tangannya erat. Dia harus berhasil. Demi nyawa yang sekarang menjadi tanggung jawabnya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Fadli beranjak menuju ke ruang tamu dan seketika dia membuka pintu rumahnya.
“Pak, ini sedikit makanan dan jajanan dari kami yang baru saja pindah di sebelah rumah bapak.”
Suara seorang laki-laki yang akan menjadi tetangga baru Fadli. Beriring senyum, keduanya saling menatap penuh kesopanan.
“Terima kasih, pak. Saya Fadli.”
“Saya Andreas.”
“Semoga kerasan di rumah barunya ya, Pak Andreas.”
“Terima kasih pak Fadli, saya permisi.”
Tamunya sudah berlalu. Fadli membawa sekotak nasi dan juga sekotak jajanan. Yanti yang baru saja keluar kamar. Dia segera bergerak ke arah Fadli berdiri. Yanti mengambil dua kotak makanan yang menghiasi tangan Fadli.
“Yan, jangan dimakan semua, sisakan untuk Wafa dan Wafi.”
“Aku kan lagi hamil, Mas. Aku harus makan banyak.”
“Tapi Wafa dan Wafi juga butuh asupan makan. Dia harus sekolah, Yan.”
“Itu salahmu, Mas. Kamu tak bisa memberikan dia makan. Bapak macam apa kamu.”
Riyanti beralih dengan membawa dua kotak makanan di tangannya. Dari baik pintu kamar. Wafa ternyata mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Wafa menarik napas panjang. Dia seakan ingin cepat pergi ke sekolah.
Tak lama, kembali terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Fadli pun kembali membukanya. Dia melihat Andreas, tetangga barunya itu kembali datang ke rumahnya.
“Pak Andreas.”
“Maa Pak, saya datang lagi.”
“Apa ada yang perlu saya bantu, pak?”
“Tidak, hanya saja ini ada dua jajanan yang masih tersisa, saya lihat hanya rumah bapak saja yang pagarnya buka, sepertinya tetangga lain sudah pada berangkat bekerja. Jadi dua kotak ini untuk bapak ya, mohon diterima.”
“Terima kasih banyak pak Andreas.”
Senyum terancar seketika di bibir Fadli. Dia merasa sangat bahagia dengan apa yang kini berada di genggaman tangannya itu. Fadli kembali masuk dan melangkah ke kamar Wafa dan juga Wafi.
Fadli mengetuk kamar Wafi terlebih dahulu. Kamar Wafi lebih dekat dari ruang tamu, daripada ruangan Wafa.
“Kenapa Pak?”
“Pagi ini sarapan jajanan ini ya.”
Wafi tak menjawab. Dia hanya menerima kotak yang masih terbungkus rapat dari tangan bapaknya itu. Kemdudian dia kembali masuk ke dalam kamarnya.
Lalu Fadli beranjak ke sebelah kamar Wafi. Pintu kamar Wafa tertutup rapat. Fadli mengetuknya dengan pelan. Tak lama, Wafa pun segera menatap wajah sang bapak.
“Ada apa, Pak?”
“Pagi ini Wafa sarapan ini dulu, ya.”
“Buat bapak saja.”
“Bapak sedang puasa Fa.”
“Wafa juga. Wafa mau berangkat dulu ya, Pak. Wafa piket. Harus berangkat pagi.”
Mendengar jawaban Wafa. Fadli merasa bibirnya terkunci rapat. Dia merasa tersentuh hatinya. Betapa tidak, ucapan Wafa begitu sangat menentramkan hatinya. Fadli merasa dirinya semakin bersalah dengan apa yang kini dialaminya.
Fadli matanya berkaca-kaca. Dia tak bisa menahan perasaannya sendiri. Sesegera mungkin. Fadli segera menyeka air mata yang hampir saja jatuh menghiasi wajahnya. Dia bergegas mandi dan tak ingin terlambat ke sekolah.
Fadli yang sudah siap dengan seragam guru yang dipakainya. Dia menatap sepatunya yang sudah dibenahi oleh ayah Tama. Fadli tersenyum lebar. Kemudian dia segera melangkahkan kakinya untuk menyusuri jalan menuju ke sekolah.
Di jalan, Fadli banyak sekali bersisipan dengan murid-muridnya yang diantarkan orang tuanya menggunakan kendaraan. Meski begitu, Fadli sama sekali tak mengeluh. Dia tetap bertebar senyum tanpa merasa malu sedikit pun.
“Selamat pagi pak Fadli.”
“Selamat pagi, Pak. Saya ucapkan terima kasih banyak sudah membantu membetulkan sepatu saya.”
“Sama-sama pak Fadli.”
Ayah Tama yang terlihat membonceng Tama itu [un menebar senyum pada Fadli. Keduanya saling berbincang sembari terus menelusuri jalan.
“Pak. Silakan duluan saja mengantar Tamanya.”
“Tidak apa-apa Pak Fadli, saya ingi berjalan beriringan dengan bapak.”
“Nanti bapak berat bawa Tama dan juga sepedanya.”
Ayah Tama tetap tidak mau untuk disuruh berangkat menuju ke sekolah terlebih dulu daripada Fadli. Tama pun yang awalnya menempati boncengan sepeda. Lalu dia segera bergegas untuk turun dan menggandeng ayahnya.
“Pak Fadli, maaf jika saya lancang untuk menanyakan ini.”
“Apa pak, silakan bapak tanya apa pun pada saya.”
“Kenapa pak Fadli sekarang tidak pernah menggunakan sepeda motornya untuk pergi ke sekolah?”
Fadli tersenyum dengan pertanyaan yang didengarnya itu. Dia lalu mencoba untuk menjawab pertanyaan itu dengan segera.
“Saya menikmati dengan berjalan kaki, Pak. Sepeda motor saya sudah saya jual.”
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu, saya kira sepeda bapak sedang di bengkel.”
Pembicaraan mereka pun harus terhenti di depan gerbang sekolah. Tama kemudian mengecup punggung tangan ayahnya. Lalu dia berlari untuk masuk kelas terlebih dahulu. Sedangkan Tama dan Fadli masih saling memandang satu sama lain.
“Pak Fadli, saya titip Tama ya, Pak.”
“Itu sudah tugas kami, Pak.”
Fadli pun kemudian meninggalkan Ayah Tama yang masih memandangnya dari kejauhan. Hingga gerbang sekolah itu ditutup. Ayah Tama masih saja berada di samping sepedanya dengan pandangan matanya yang tertuju pada bangunan sekolah sang anak.
***
Jam pelajaran pertama telah dimulai. Fadli yang kali itu mendapat tugas untuk mengajar kelas empat. Dia pun akan bersiap-siap menuju ke kelas anak didiknya yang berada di bangunan paling ujung.
Kakinya melangkah dengan penuh harapan yang digantungkan sangat tinggi kepada para penerus bangsa itu. Fadli yang melewati toilet siswa. Tiba-tiba langkahnya terhenti seketika.
“Dasar anak tukang becak bodoh.”
“Masak satu kelas kamu senidiri yang dapat nilai nol.”
“Buat telur dadar ya nanti nilaimu itu.”
Tama terlihat terpojok di sudut ruangan yang berpetak tiga toilet khusus untuk laki-laki. Fadli mendengar tiga murid yang tengah mengejek Tama. Namun, Fadli yang hendak menegur itu , tiba-tiba saja ketiga anak itu keluar dengan berlari cukup cepa daripada langkah Fadli.
Tama terduduk kaku. Fadli tak tahu apa yang sebelumnya terjadi dengan mereka. Dia hanya tahu sekelibat percakapan yang hanya sebentar itu Tama menatap dengan pandangan kosongnya.
“Tama, kamu tidak apa-apa?”
Tama menggelengkan kepalanya. Kemudian Fadli membantunya untuk bediri. Tama masih mengunci mulutnya. Dengan cepat, dia berlari meninggalkan Fadli seorang diri. Fadli seolah mengerti apa yang kini sedang dialami anak didiknya itu.
Fadli pun akan mencoba berbicara empat mata dengan Tama. Sekarang dia akan fokus untuk memberikan pelajaran bagi anak didiknya di bangku kelas tiga itu.
***
Tama merasa badannya panas saat pembelajaran matematika berlangsung. Dia merasa tubuhnya teramat sangat lelah. Hingga Tama menyandarkan kepalanya di atas bangku di depannya.
“Tama, jangan tidur di kelas, dongakkan kepalamu.”
Suara itu terdengar samar di telinga Tama. Bahkan dia yang berusaha untuk membangunkan kepalanya pun terasa lumayan berat untuk dilakukan. Hingga sang guru yang merasa aneh dengan apa yang dilakukan Tama, dihampirilah muridnya yang duduk di bangku paling belakang itu.
“Kamu sakit?”
Pertanyaan itu tak cepat dijawab oleh Tama. Dia hanya diam dengan merasakan tubuhnya yang terasa sangat berat. Guru kelasnya pun memegang dahinya dan berasa panas. Lalu Tama segera dibawa ke ruang UKS.
Menerima perawatan sejenak di ruangan khusus itu. Tama tak banyak mengeluh. Dia hanya diam dengan tatapan mata kosong. Setelah dicek, suhu Tama di atas normal. Tama yang dijaga oleh petugas kesehatan sekolah itu pun meminta agar dirinya bisa diantar pulang.
Awalnya petugas kesehatan sekolah pun takmeminta Tama untuk istirahat sejenak. Tama pun diam seperti mengiyakan. Tapi Tama merasa sangat tak nyaman di ruangan itu.
“Bu, tolong. Saya ingin pulang saja.”
“Baiklah, saya akan telepon orang tuamu.”
“Ayah saya tidak punya ponsel, bu.”
“Lalu, bagaimana kamu akan pulang?”
“Saya cukup kuat untuk pulang sendiri, bu.”
“Tidak akan mungkin kami akan mengijinkanmu pulang sendiri.”
“Tapi, bu. Saya sangat ingin pulang. saya ingin istirahat di rumah bu.”
Tama tak sadar meneteskan air matanya. pikirannya terasa sangat rancu. Apabila dia mengingat bulian dari teman-temannya di kelas, tentang kebodohannya. Padahal Tama sudah bersikeras untuk belajar lebih rajin. Namun, nilai ulangan harian itu tak bisa memuaskan dirinya sendiri.
Sebagai seorang petugas kesehatan yang memiliki jiwa penolong yang sangat besar. Perempuan dengan jas putih itu pun merasa iba dengan tetesan air mata yang Tama keluarkan perlahan itu.
“Baiklah, Tama. Biarkan ibu yang akan mengantarkan kamu pulang, ya.”
Tama mengangguk setuju. Di hatinya seolah bersorak sangat senang dengan apa yang dikatakan perempuan yang menemaninya itu.
Dengan menggunakan mobil sekolah. Tama pun akan diantarkan pulang ke rumah. Dia menyandar ke kursi mobil dengan menahan rasa lemasnya. Di tengah perjalanan, Tama tak sengaja menatap seorang pemuda yang begitu dikenalnya.
Tama seolah menambah kefokusan kedua matanya untuk menatap pemuda yang sedang berada di samping mobilnya. Tama ingin membuka kaca mobil yang sedikit menghalangi pandangannya. Namun, Tama tak berhasil dengan apa yang dikehendakinya.
Namun Tama cukup yakin, bila yang dilihatnya itu adalah Wafi. Anak dari Fadli, gurunya. Pikirannya sedikit terganggu dengan apa yang dilihatnya itu. Jam sekolah, dia melihat Wafi yang sedang meramaikan jalanan bersama temannya berbonceng motor.
Setelah itu, Tama merasa dia tak berdaya lagi. Badannya terasa panas dan Tama tak ingin melihat jalanan, dia merebahkan seluruh tubuhnya di atas kurdi mobil dengan mencari kenyamanan untuknya.
***
Fadli mencari Tama saat jam istirahat. Namun, dia tak mendapatkan wujud dari anak didiknya itu. Informasi yang didapatnya, Tama telah pulang karena kondisi badannya sedang sakit. Fadli pun kembali ke kantor.
“Pak Rois, apa saya boleh bicara sebentar?”
“Kenapa pak Fadli.”
“Pak, apa saya boleh pinjam uang pribadi bapak, nanti saat gajian akan saya kembalikan.”
Rois tediam dengan tatapan mata ketusnya. Dia seolah berpikir tiga atau empat kali untuk bisa menjawab sebuah permintaan dari Fadli.
“Berapa yang pak Fadli butuhkan.”
“Seratus ribu saja, pak.”
“Apa tidak kurang jika hanya seratus ribur, pak?”
“Itu saja cukup pak.”
“Bagaimana kalau saya meminjami bapak dua juta?”
Fadli bergeming dalam diamnya. Tiba-tiba saja wajah bu lurah berkelibat di kedua bola matanya. Dia seakan ingin mengambil kesempatan yang diberikan Rois kepadanya. Setidaknya dia akan bisa membawayar hutang ke bu lurah yang berbatas waktu itu.
“Kalau dua juta, saya tidak bisa bayar semuanya pada waktu gajian, pak.”
“Tenang saja, bapak bisa mengangsurnya hingga enam bulan.”
“Pak Rois serius?”
“Iya saya serius, Pak.”
“Baiklah kalau begitu, saya pinjam ya, pak.”
“Nanti pulang sekolah saya siapkan uangnya.”
Rois berlalu dengan senyum getirnya. Sedangkan Fadli berhias senyum. Dia seperti mendapati sebuah cahaya di jalanan gelap yang tengah dilaluinya itu. Dia bisa membagi uang pinjaman itu. untuk membeli beras, membayar tunggakan uang sekolah anak-anaknya, dan juga yang paling utama membayar hutang PKK ke bu lurah yang sudah ditagih beberapa hari yang lalu.