“Selamat siang pak Fadli.”
“Siang bu lurah, mari silakan masuk.”
Fadli meminta dua anak didiknya itu untuk main sebentar di teras. Kemudian Fadli mempersilakan bu lurah untuk duduk, dan kedua mata Fadli dengan sangat serius menatap bu lurah yang kini berada di depannya.
“Maaf, Pak. Jika siang-siang saya menganggu waktu istirahat pak Fadli.”
“Tidak sama sekali, bu. Sebentar ya bu, saya buatkan minuman dulu.”
“Tidak usah, Pak. Saya hanya sebentar saja, setelah ini juga saya ada agenda lain.”
Fadli yang sudah terlanjur berdiri itu pun, kembali pada kursinya. Dia kemudian duduk dengan tatapan matanya terus tertancap pada bu lurah. Kemudian, pembicaraan pun kembali terdengar, Fadli memulainya terlebih dahulu.
“Maaf, bu. Jika saya lancang, apa kedatangan ibu ke sini untuk menanyakan tentang uang kas yang dipinjam istri saya?”
“Iya, Pak. Apa uangnya sudah ada?”
Fadli menghela napas panjang. Perasaannya kembali diaduk rasa yang tak bisa diungkapkan dengan mudah. Fadli berhias senyum penuh getir. Sembari menatap lantai yang kini sedang menjadi pijakannya.
Sesaat Fadli pun kembali menatap wajah bu lurah yang ternyata sedang menunggu jawaban dari Fadli.
“Bu, sebelumnya saya minta maaf, uangnya belum ada.”
“Baik pak Fadli, kalau memang uangnya belum ada nanti biar saya saja yang bayarkan terlebih dahulu dengan uang saya, karena kegiatan PKK tak mungkin diundur.”
“Maaf bu, sebenarnya berapa uang yang harus istri saya bayar?”
“Satu juta, pak.”
“Tolong berikan waktu seminggu ya, bu. Saya akan cari uangnya dulu.”
“Baik pak Fadli, kalau begitu saya permisi ya.”
Fadli tetap berhias senyum. Dia turut mengantarkan bu lurah sampai ke depan terasnya. Senyum Fadli terus saja mengembang, mengiringi pulangnya bu lurah dari rumahnya.
Kemudian Fadli meminta kembali kedua anak didiknya untuk masuk ke dalam rumah. Membuka buku sejenak untuk belajar pelajaran yang telah dilalui. Fadli yang merasa perutnya berdendang dengan sangat keras.
“Nak, sambil menunggu teman-teman yang lain datang, kalian bacari dulu pelajaran kemarin ya, bapak mau ke dalam sebentar, pak.”
“Baik, Pak.”
Fadli sudah tak tahan dengan cacing di dala perutnya yang memintanya untuk diperhatikan. Fadli melangkah menuju ke meja makan, di situ dia tak mendapati makanan apa pun. Hanya sebotol air putih yang tampak penuh.
Kemudian Fadli bergeser menuju ke dapur. Dia kembali harus menambah rasa sabarnya. Karena di dapur dia tak menemui apa pun untuk dimakan. Beras memang belum terbeli. Sudah pasti tak akan ada nasi. Kemudian Fadli menuju ke halaman belakang. Dia memberi makan para ayam-ayam peliharaannya.
Fadli melihat ayamnya telah bertelur. Dia kemudian tersenyum penuh riang. Fadli mengambil dua telur itu. Lalu dengan cepat dia kembali menuju ke dapur. Memanaskan penggorengan. Lalu memecahkan dua telur itu pada satu wadah.
Mengambil sedikit garam dan mengocok telur itu dengan cepat. Memasukkannya pada penggorengan yang sudah panas. Beberapa detik kemudian. Telur dadar itu harus dibalik agar tidak gosong.
Fadli cukup sabar menunggu matang. Hingga dirasa sudah cukup. Telur dadar itu pun segera ditiriskan. Fadli mengambil piring dan menaruh telur dadar itu pada piring kosong. Lalu dia memberikan sedikit kecap di atasnya.
Fadli mengambil sendok dan akan segera memakan hasil masakannya itu. Baru saja satu suap dan belum ditelan. Terdengar suara Wafa yang tampak mengagetkan.
“Pak, ibu gak masak? Aku dari pagi belum makan.”
Hati Fadli terasa teriris mendengar apa yang dikatakan anaknya. Dia merasa bersalah dengan apa yang tak bisa diusahakannya. Fadli yang semula duduk, segera berdiri mendekat ke arah Wafa.
“Bapak baru saja goreng telur dadar tiga. Yang satu sudah habis, ini masih dua tapi ujungnya ini bapak ambil sedikit tadi, kamu makan, ya.”
“Tapi bapak kan juga belum makan, pak.”
“Bapak sudah habis satu telur, sekarang kamu makan saja semuanya ya.”
“Baik, Pak.”
Wafa segera meraih piring dari bapaknya. Fadli seketika mengambil gelas yang dia isi penuh dengan air putih. Fadli meneguk semua air itu. Berharap perutnya bisa terasa kenyang, agar Fadli bisa memiliki tenaga untuk mengajar kembali murid-muridnya.
“Apa Wafi juga sudah makan?”
“Aku tidak tahu, Pak. Hari ini aku tak melihat Wafi sama sekali.”
“Apa dia tidak datang ke sekolah, nak?”
“Aku tidak tahu, pak. Aku tak melihatnya.”
“Ya, sudah. Kamu makan dulu, ya. Bapak mau belajar bersama anak-anak di depan.”
“Iya, Pak.”
Wafa kemudian mengalihkan pandangannya pada telur dadar yang seakan siap untuk dimakan. Dia melahap dua telur itu dengan sangat cepat. Hanya dalam hitungan detik, piring itu tampak bersih. Wafa pun mengakhirinya dengan minum segelas air putih. Lalu dia dengan cepat menuju kembali ke dalam kamarnya.
***
Hari ini yang datang ke rumah Fadli hanya dua anak saja. Padahal waktunya sudah agak sore. Biasanya rumahnya penuh akan anak-anak yang berdatangan untuk belajar bersama dengan dirinya.
“Teman-teman kalian ke mana?”
“Katanya pindah les, pak.”
“Oh, begitu. Ya sudah ayo kita mulai belajar.”
Dua anak didiknya yang selalu datang tepat waktu di rumahnya. Dia adalah Tama dan Ega. Fadli pun tak menyesali jika banyak sekali anak didiknya yang kini berhenti les di rumahnya. Fadli terus memberikan yang terbaik agar dua anak yang kini sedang dalam pantauannya itu mendapatkan nilai yang bagus.
Sembari memberikan pelajaran pada Tama dan Ega. Tiba-tiba saja, pikiran Fadli menelusuri wajah Wafi. Dia begitu terganggu dengan apa yang sedang dikhawatirkannya itu. Dia bahkan belum sempat berbicara dua mata pada Wafi setelah malam itu.
Fadli segera mengakhiri lesnya setelah dianggap sudah cukup. Kedua anak didiknya pun akan kembali pulang. Fadli berhias senyum ketika Tama dan Ega bersalaman kepadanya. Fadli turut mengantarkan anak didiknya itu hingga ke depan pagar.
Fadli dengan cepat melangkahkan kakinya menuju kamar Wafi. Dia ingin tahu keberadaan anaknya itu. Pintu kamar yang tertutup itu segera dibuka olehnya. Fadli mendapati Wafi yang masih tergeletak di atas tempat tidur.
Kemudian dia melangkah perlahan mendekati sang anak. Dia melihat Wafi sangat pulas dengan pejaman matanya. Fadli dengan cepat duduk mendekat dengan posisi Wafi yang sedang tertidur itu.
“Wafi, bangunlah. Sudah sore, nak.”
Suara Fadli mengalun syahdu saat membangunkan Wafi. Dia menggoyah-goyahkan tubuh anaknya yang lemah tak bertenaga itu. Perlahan, Wafi pun menggerakkan badannya sedikit. Namun, tidak dengan matanya. Kedua mata itu masih saja terpejam.
“Wafi, bangun. Ini sudah sore. Ayo bangun, Fi.”
“Ngantuk, Pak.”
Fadli mencoba menelisik ke kamar Wafi. Anaknya yang sangat sulit dibangunkan itu pun tetap bersatu dengan mimpinya di dunia maya.
Wafi beranjak untuk mendekat ke meja belajar Wafi. Dia melihat jadwal pelajaran hari ini. kemudian Fadli pun memeriksa isi tas dari Wafi. Dia tak menemui buku yang selaras dengan jadwal yang terpampang itu.
Justru Fadli mengetahui bahwa buku yang berada di dalam tasnya Fadli masih berisi buku pelajaran kemarin. Fadli tak tinggal diam. Senin adalah awal masuk sekolah setelah libur. Fadli pun tak mendapati seragam anaknya yang tergantung di balik pintu.
Biasanya kedua anaknya itu selalu menaruh seragam yang telah dipakai di gantungan pintu. Namun, pemandangan itu tak terlihat di mata Fadli. Kedua kakinya pun bergeser menuju ke lemari pakaian Wafi.
Dibukanya tanpa berpikir lama lemari kayu itu. Fadli mendapati seragam hari senin yang masih terlipat rapi di tempatnya. Fadli pun meyakini jika Wafi pagi tadi tidak pergi ke sekolah. Fadli tak berlama-lama lagi dengan kelembutannya.
Dia mendekat ke arah Wafi dan berusaha untuk membangunkan anaknya itu kembali. Tapi, Wafi tetap saja sulit untuk dibangunkan. Fadli tak mau diam melihat perlakuan anaknya. Fadli mengambil air yang ada di meja makan.
Kemudian tak lama, Fadli segera menyiramkan air itu ke wajah Wafi. Betapa terkejutnya Wafi merasakan wajahnya basah karena air.
“Bapak ini apa-apaan. Apa tidak bisa membangunkanku dengan baik?”
“Sudah bapak lakukan, tapi kamu tak bisa dibangunkan.”
“Sekarang aku sudah bangun, aku mau mandi dan ke sekolah. Bapak keluar dari kamarku.”
“Sekolah apa jam lima sore?”
Wafi terkejut mendengar ucapan bapaknya. Dia kemudian melirik ke meja kecil di sampingnya. Jam weker itu menunjukkan pukul yang sama seperti yang dikatakan bapaknya. Wafi mengucek matanya berulang kali, memastikan apa yang dilihatnya itu tidak salah.
“Mandilah, Fi. Bapak tunggu kamu di ruang tengah.”
***
Fadli menyalakan televisi. Menikmati siaran berita dengan pandanga tertancap kuat. Tak lama, dia melihat Yanti yang baru saja datang. Senyumnya tampak sumringah. Nampak di jarinya sebuah cincin emas yang mengkilap.
“Ibu dari mana?”
“Pak, aku nyidam ingin beli cincin, jadi aku tadi dari toko emas.”
“Apa sudah beli beras, bu?”
“Ya mana mungkin cukup uangnya untuk beli beras, ini saja untung bisa dapat dua gram emas.”
“Jadi ibu keluar dari tadi hanya untuk beli emas?”
“Iyalah, pak. Kan kamu sendiri yang bilang, akan menuruti apa pun kemauanku.”
“Yan, aku tahu itu. Tapi kita butuh beras untuk makan.”
“Ya itu urusan kamu, kamu kan kepala rumah tangga di sini. Yang penting aku sudah makan.”
Fadli terasa batinnya berkobar. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang menghadapi istrinya yang sedang mengandung itu. Dia tak mau bila sang istri kembali nekad untuk menggugurkan kandungannya.
Yanti beranjak menuju kamarnya untuk beristirahat. Sedangkan Fadli dalam kebingungan yang dalam. Dia sama sekali tak pegang uang, dia secara pasti tak akan pernah bisa membeli beras. Namun, kedua anaknya belum makan. Fadli pun harus bisa mebeli beras untuk segera dimasak.
Wafa yang mendengar percakapan orang tuanya itu pun terasa tergores hatinya. Dia sudah merasakan ketidaknyamanan dalam keluarganya. Semua seolah sudah terpecah menjadi beberapa bagian.
Wafa merasa pikirannya sedang kacau. Dia yang juga tak bisa berbuat apa pun selain hanya diam. Namun, kali itu dia merasa ingin berteriak keras, menumpahkan setiap beban yang tengah dirasakan. Wafa pun keluar rumah lewat pintu belakang. Wafa kemudian memandang sang raja kemuning yang akan beranjak menuju peraduannya.
Senja telah tiba. Ketenangan dalam pandangan itu pun didapatnya. Tak lama gelap pun menyapa. Wafa tak bisa membiaskan perasaannya sendiri. Dia terus saja mengumpat dalam hatinya. Sembari mengambil kerikil kecil yang dilemparkannya ke arah ladang.
***
Fadli menunggu Wafi yang tak kunjung keluar kamar. Kesabarannya terasa sangat diuji oleh anaknya itu. Fadli pun kembali masuk ke dalam kamar Wafi. Dia mendapati Wafi yang sedang duduk di atas kamar tidurnya.
“Kenapa tidak keluar kamar? Bapak sudah menunggumu dari tadi.”
“Wafi sedang malas, saja. Memangnya ada apa?”
“Fi, bapak tak pernah meminta apa pun padamu, bapak hanya ingin kamu menempuh pendidikan dengan baik, tidak dengan mudahnya bolos sekolah tanpa alasan.”
“Bapak bilang tanpa alasan? Semua ini ada alasannya, pak?”
“Karena bapak belum bisa bayar uang sekolah kamu?”
“Salah satunya itu, bapak tak bisa memberikan fasilitas yang bagus kepada aku dan Wafi, sedangkan bapak tahu, semua teman-teman kami di sekolah itu tak ada yang semiskin kami, pak.”
“Miskin berilmu lebih mulia daripada seseorang yang berharta tapi tak memiliki ilmu, nak.”
“Itu bagi bapak, bagi aku tidak. Orang yang berhartalah yang akan disegani lingkungannya.”
“Baiklah, lalu apa yang kamu inginkan?”
“Hidup tidak kekurangan uang, itu yang aku inginkan, pak.”
“Fi, bapak akan tetap berusaha agar sekolahmu bisa lulus, lalu kamu bisa mencari kerja di mana pun setelah kamu lulus nanti.”
“Terlalu lama, pak. Sudahlah biarkan saja aku yang akan menentukan kehidupanku, bapak tak peru mengaturku lagi.”
“Tapi kamu masih tanggung jawab bapak, nak.”
“Ya, tapi bapak tak bisa bertanggung jawab sepenuhnya, bukan? Bapak tak bisa memberikan apa pun yang kami butuhkan. Aku sudah lelah hidup pas-pasan sejak kecil sampai aku sebesar ini.”
Perkataan Wafi membuat Fadli seketika terbungkam mulutnya. Wafi tiba-tiba saja pergi meninggalkan rumah. Fadli mencoba mengejar, namun Wafi lebih cepat langkahnya.
“Kenapa sih mas, teriak-teriak saja.”
“Wafi pergi.”
“Ya sudah biarkan, nanti juga pulang.”
Yanti yang mendengar suara berisik itu mengganggu tidurnya. Seketika dia pun tak ingin istirahatnya terganggu. Dia kembali lagi masuk ke kamar dan mengunci pintu dengan erat. Sedangkan Fadli terduduk kaku di ruang tengah.
Wafa yang melihat semua kejadian di dalam rumahnya itu terasa sangat membosankan. Lag-lagi pertengkaran yang harus menjadi hidangannya setiap hari. Wafa kemudian berlalu masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit.
Wafa seolah berpikir untuk mengakhiri sebuah pertengkaran yang sama sekali tak diinginkannya itu. Wafa seketika bangun dari tempat tidurnya. Pandangannya fokus pada dinding kamarnya. Dia sudah tak bisa diam lagi. Wafa benar-benar ingin mengakhiri warna gelap yang menyelimuti rumahnya. Pikirannya memang terasa pecah. Semua sama sekali tak sesuai dengan keinginan hatinya.