Part 7 - Menjadi Teladan

1842 Kata
Riyanti yang terlihat masih memeluk gulingnya begitu erat. Sembari selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Kecuali kepalanya. Dia sangat lelap dengan tidurnya. Fadli sama sekali tak mengganggu istirahat sang istri. Waktu yang dimiliki Fadli tinggal lima menit lagi untuk bisa sampai ke sekolah. Tak berpikir panjang. Fadli yang sudah tak memiliki kendaraan untuk mengantarkannya lebih cepat ke sekolah. Fadli harus menerima kenyataan. Motornya itu telah menjadi korban hutang sang istri. Debu jalanan tak dihiraukan. Fadli terus saja berlari dengan kecepatan yang dimilikinya. Satu kilometer adalah jarak yang harus ditempuhnya. Tak merasa berat. Fadli dengan semangat baja terus saja menggerakkan kakinya sangat cepat. Fadli menahan napasnya. Dia bahkan tak mempedulikan orang yang terdengar memanggilnya. Fadli kembali menambah kecepatan larinya. Di sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Fadli menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu tersisa hanya satu menit. Fadli tak ingin terlambat. Selama sepuluh tahun menjadi guru, tak sekalipun Fadli terlambat untuk datang ke sekolah. Dia selalu disiplin. Baginya menjadi guru adalah panutan bagi murid-muridnya. Napas Fadli terasa ingin terhenti. Dia memejamkan mata sejenak dan mengatakan pada dirinya, bahwa dia akan sampai di sekolah tepat pada waktunya. Dia tak akan terlambat. Sugesti itu terus saja dikatakan Fadli pada dirinya. Kecepatan pergerakan kakinya pun semakin ditambah. Fadli tak ingin mimpinya di pagi itu habcur karena sebuah kesalahan kecil yang dilakukan. Fadli pun penuh dalam pengharapan pada gerak kakinya. Tepat jam tujuh. Fadli pun berada di depan gerbang sekolah. Penjaga sekolah hampir saja menutup pintu pagar. Namun, Fadli lebih dulu masuk daripada langkah si penjaga. Betapa senyum menghiasinya. Fadli memang dulu pernah menjuari beberapa turnamen lari. Bahkan dirinya pernah mewakili propinsinya di ajang pekan olahraga nasional. Tak heran, jika fisiknya pun masih sangat baik untuk diajak bekerja sama. Keringat bercucuran menghiasi pakaian Fadli. Seragam yang baru saja dikeluarkannya dari lemari pagi tadi, harus kembali basah karena keringat yang dikeluarkan lebih banyak dari biasanya. Dia sibuk mengusap dahinya yang terus saja menghadirkan keringat. Fadli kembali melangkah untuk menuju kantor guru. Sebelum upacara hari senin mulai dilaksanakan. Fadli yang merasakan langkahnya terasa berat. Dan ternyata dia harus mendapati sepatu kanannya rusak. Fadli kemudian melihat kondisi sepatunya. Jahitannya telah putus. Sepatu yang sudah usang itu masih harus menjadi tambatan hatinya. Dia tak punya sepatu lain, selain yang dikenakannya itu. Fadli pun tak ada pilihan lain. Dia berjalan sedikit menyeret. Setelah menaruh tas di kantor. Fadli kembali menuju halaman sekolah dengan cepat. Namun, langkahnya tak secepat sebelumnya. Fadli sangat susah mengenakan sepatunya itu. Beberapa murid pun tampak melihatnya. Fadli tetap merasa tenang hingga dia kini berada di barisan paling depan. Upacara pun akan segera dimulai. Semua guru dan juga murid sudah siap untuk menjalankan rutinitas di hari senin itu. “Kenapa datang siang, pak?” tanya Rois, rekan seperguruan. “Iya, hari ini tak seperti biasanya,” jawab Fadli. Kehadiran Fadli yang memang tak seperti kebiasaan yang sudah berlalu. Banyak rekan guru yang juga berbisik membicarakan kedatangan Fadli yang hampir saja terlambat. Tak seperti biasanya yang selalu datang lebih awal dan sering menyapa guru-guru yang lain terlebih dahulu. Fadli mencoba mengembalikan detak jantungnya yang masih saja maraton. Menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Matanya tampak menatap lurus ke depan. Fadli akan segera mengambil barisan. Fadli yang berdiri dengan sangat rapi. Dia merasakan perutnya melilit. Fadli belum sarapan pagi. Dia harus menahan rasa yang kini mencabiknya lebih lama. Dia tak mengeluh, menikmatinya. Meski apa yang kini sedang dialaminya begitu sulit dipandang mata. Sambutan kepala sekolah sedang berlangsung. Semua penghuni sekolah itu pun tampak mendengarkan dengan sangat khidmad. Tak terkecuali Fadli. Pandangan matanya tertancam pada sosok laki-laki yang sangat berwibawa itu. “Di akhir semester satu, sebelum liburan menjelang. Dan bertepatan dengan akhir tahun. Ada penguman penting yang ingin saya sampaikan.” Suara bapak kepala sekolah menggema melalui mikrofon. Semua mata tertuju tepat kepadanya. Suaranya yang nampak sangat jelas dan bersahaja. Kemudian kembali terdengar lagi lanjutan dari perkataan yang sempat terjeda beberapa detik. “Untuk mengapreasi sebuah perjuangan yang tak ternilai, saya akan mengumumkan bahwa tahun ini ada satu penghargaan yang akan sekolah berikan kepasa guru yang memiliki prestasi yang luar biasa, atau lebih mudahnya adalah seorang guru teladan.” Ucapan bapak kepala sekolah, membuat semua orang dalam barisan seolah menunggu dengan apa yang akan diumumkan itu. Jeda ucapan bapak kepala sekolah lebih lama dari sebelumnya. Hingga akhirnya, sambutannya pun kembali berlanjut. “Untuk itu, saya umumkan guru teladan tahun ini diberikan kepada pak Fadli.” Sorak sorai suara penghuni sekolah. Menyambut sebuah pengumuman yang sangat membanggakan itu. bahkan Fadli sendiri tak mengira, bila predikat guru teladan disandangnya. Berhias senyum dengan ucapan syukur yang terlantunkan. Fadli segera maju ke depan dan menerima sebuah penghargaan. Euforia seolah berdendang begitu mesranya. Fadli berhias senyum penuh dengan kebanggaan. Dia merasa sebenarnya masih tak pantas menerima penghargaan itu. Fadli yang terus merasa dirinya kecil. Dia seperti tak memiliki keistimewaan apa pun. Namun, Fadli yang selalu mengajarkan sebuah kebaikan kepada anak didiknya tanpa pamrih. Menjadi sebuah lentera adalah cita-cita paling tinggi baginya. Matanya terlihat memerah. Fadli yang usah menerima penghargaan itu pun segera menyeka kedua matanya. Dia tak ingin terlihat lemah di depan rekan-rekannya. Meskipun sebenarnya dirinya hanya terharu dengan apa yang kini diterimanya. Selesai upacara. Fadli mendapatkan ucapan selamat dari berbagai orang dan tak lupa pula beberapa muridnya pun turut memberikan senyum penuh dengan ucapan yang begitu menyejukkan hati. Fadli tak henti memperlihatkan senyumnya. Berjalan ke arah kantor. Rois adalah guru yang selalu mengajak Fadli untuk bertukar pikiran mengenai dunia pendidikan. Bahkan tidak hanya saling bertukar pendapat. Rois lebih sering memperdebatkan sesuatu yang menjurus pada dunia pendidikan. Kali itu dia mendekat dan berjalan beriringan dengan Fadli. “Predikat guru teladan itu berat, pak. Apalagi jika banyak yang tahu soal kejadian anak bapak beberapa hari yang lalu. Mencuri, bukanlah sebuah didikan yang baik untuk siapa pun.” Setelah berkata demikian, Rois pun melangkah lebih cepat dari Fadli. Dia meninggalkan laki-laki yang usianya hampir sama dengannya. Fadli pun sempat tercengang dengan apa yang didengarnya itu. Pikirannya kembali tertuju pada Wafi. Anaknya yang semalam membuatnya merasa mengurai air mata. Fadli memang masih belum menyusuri terlalu dalam apa yang sedang dilakukan sang anak. Namun, meskipun begitu Fadli harus bisa menutupi rasa khawatirnya. Fadli berhias senyum dan menuju ke kantor dengan cepat. Sepulang sekolah. Fadli sudah tak bisa menggunakan sepatunya lagi. Kondisi sepatu kanannya sudah sangat memprihatinkan. Fadli kemudian melepas sepatunya. Dia berjalan pelan menyusuri jalanan. Di tengah terik matahari siang, Fadli terus saja berjalan untuk pulang ke rumahnya. “Pak Fadli.” Tiba-tiba saja Fadli mendengar suara yang memanggilnya. Dengan cepat Fadli menoleh ke arah sumber suara. Dia melihat seorang laki-laki yang usianya sangat jauh di atasnya, dia adalah ayah Tama, muridnya. “Iya pak Ridwan.” “Pak Fadli kenapa jalan?” “Tidak apa-apa, pak. Itung-itung olahraga.” Pak Ridwan yang juga mengalami kondisi ekonomi yang hampir mirip dengan Fadli. Dia hanya hidup berdua dengan tama. Setiap hari kerjanya menjadi tukang becak yang selalu mangkal di pasar. Pak Ridwan sangat menghormati Fadli, karena laki-laki itu telah mendidik anaknya hingga selalu bisa meraih ranking di sekolah. Apalagi setiap pulang sekolah, Tama selalu mendapatkan tambahan les gratis tanpa biaya. “Pak Fadli, sepatunya rusak?” “Hanya jahitannya saja yang lepas, Pak.” “Kalau begitu biar saya betulkan, Pak.” “Tidak usah, Pak. Nanti saya bawa ke tukang sol sepatu saja.” “Pak, saya kenal sama tukang sol sepatu di pasar. Setidaknya biar nanti sepatu bapak cepat dikerjakan dan bisa dibuat ngajar lagi besok.” Fadli memutar otaknya. Dia sebenarnya tak ingin merepotkan siapa pun. Selagi dia bisa menggerakkan tubuhnya. Fadli akan tetap mengerjakan apa pun dengan tangannya. “Pak Fadli, sudahlah biar saja saja.” Pak Ridwan yang sudah merasa tidak sabar. Dia yang kemudian meraih paksa sepatu yang ada di tangan Fadli tanpa permisi. Fadli pun tak bisa menolak lagi. Dia terpaksa menerima bantuan dari ayah tama. “Maafkan saya pak Ridwan. Saya sudah merepotkan.” “Sama sekali tidak repot, pak. Saya ke tukang sol sepatu dulu ya. Nanti jika sudah selesai biar tama yang mengantarkan ke rumah bapak.” Fadli mengangguk sembari berhias senyum. Dia merasa sangat malu dengan apa yang dilakukan pak Ridwan kepadanya. Namun, untuk bersikeras pada prinsip kadang bisa membuat hati seseorang terluka. Fadli pun mencoba menerima apa yang dilakukan pak Ridwan kepadanya. Fadli sebenarnya sudah ingin menggantungkan sepatu itu. Usia sepatu itu sudah hampir sembilan tahun, sejak dirinya pertama kali menjadi seorang guru. Sayangnya, Fadli masih belum punya uang untuk bisa menggantinya dengan yang baru. Fadli yang baru saja mendapatkan penghargaan sebagai guru teladan. Dia pun mendapatkan rupiah yang tersimpan di dalam amlop yang masih tersegel dan belum dibukanya. Fadli pun kembali melangkahkan kakinya untuk cepat pulang ke rumah. *** “Mas, kamu ini bagaimana sih, kan kemarin aku bilang kalau beras sudah habis, kenapa kamu tidak kasih aku uang untuk beli beras, kamu mau buat aku dan anak-anak mati kelaparan.” Fadli yang baru saja menginjakkan kakinya masuk ke rumah. Sambutan yang kurang mengenakkan harus diterima dengan hati lapang. Fadli sendiri yang sedari pagi belum mengisi perutnya dengan makanan apa pun. Kini sang istri melayangkan protes kepadanya. Fadli menghela napas panjang. Dia yang ingin sekali mengguyur selurh tubuhnya dengan air. Namun, terpaksa harus ditunda sejenak. Dia harus mengurusi dulu sang istri yang sedang naik darah itu. Belum juga Fadli membuka mulut. Pandangan matanya tertuju pada piring dan sendok yang terlihat seperti baru saja dipakai. Fadli menamatkan pandangannya. Hingga Yanti kembali berceloteh dengan apa yang dilihatnya. “Kamu lihat piring bekas aku makan?” Suara Yanti membuyarkan pandangan Fadli. Membuatnya pun sedikit terkejut. Fadli kemudian berhias senyum tanpa harus menjawab apa yang dikatakan istrinya itu. “Aku hutang gado-gado itu di warung sebelah, aku bilang kamu yang akan membayarnya jika pulang sekolah. Sekarang aku minta uang.” Fadli kemudian merogoh amplop dari dalam tasnya. Dia akan segera membuka amplop itu. sayangnya Yanti yang sudah tak sabar melihat amplop yang terlihat lumayan tebal, membuat tangan kanannya merebut paksa amplop itu dengan cepat. Kini amplop telah berpindah ke tangan Yanti. Fadli hanya diam menyaksikan dengan diamnya. Yanti tak berpikir lama lagi. Dia segera membuka amplop yang masih tersegel. Fadli yang juga sempat melihat isi dari amplop itu. Beberapa lembar uang kertas berwarna merah menghiasi pandangan Fadli. Sepertinya jumlahnya cukup banyak. Fadli pun berbicara pada pikirannya, jumlah isi amplop itu kurang lebih ada sekitar dua juta. Fadli yang baru saja akan membuka mulutnya. Dia ingin mengingatkan Yanti untuk menyisihkan sedikit untuk bayar uang sekolah Wafa dan Wafi. Sayangnya Yanti segera berlalu dengan cepat dari hadapan Fadli. Pergi keluar rumah dengan tawa kecil yang mengiringi. Fadli pun beranjak dari tempat duduknya. Lalu dia memanggil berkali-kali ke Yanti dengan sangat keras. Tapi, Yanti seolah menutup telinganya. Dia tak memperdulikan Fadli dan hanya fokus dengan uang yang sedang dipegangnya itu. Beberapa menit kemudian. Fadli yang sudah berganti pakaian. Dia siap memberikan les kepada beberapa muridnya yang datang ke rumah. Namun, Fadli kembali dikagetkan dengan datangnya bu lurah ke rumahnya. Hal itu sudah kedua kalinya. Fadli berusaha menghadirkan senyum terbaik. Namun, tak dapat dipungkiri jika perasaannya pun bercampur aduk. Dia seakan sudah mendapatkan alarm, bahwa sesuatu yang kurang berkenan di hatinya akan kembali didengarnya.                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN