Bab 18. Dukungan sang Ayah

1042 Kata
"Kamu kenapa, Mas? Daddy bilang apa?" tanya Kaila seketika mengerutkan kening karena Bima tiba-tiba saja membulatkan bola matanya bahkan terlihat sangat terkejut. Bima mengabaikan pertanyaan istrinya masih berbicara dengan sang ayah di dalam sambungan telpon. "Sekarang Daddy di mana? Saya 'kan udah bilang sama Daddy, gak usah memperpanjang masalah ini, astaga!" decaknya merasa kesal. "Udah jangan banyak omong, cepat datang ke sini sekarang juga, Daddy tunggu kamu di kantor polisi, oke?" sahut Adiwiguna suaranya terdengar samar-samar di dalam sambungan telpon. Bima segera menutup sambungan telpon tanpa menimpali ucapan terakhir sang ayah. Pria itu mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata yang terpejam. Sementara Kaila seketika menepuk pundak suaminya pelan merasa heran. "Mas," sapa Kaila membuat Bima sontak menoleh dan menatap wajah Kaila dengan tatapan mata sayu. "Mas berangkat sekarang ya," ucapnya singkat. "Tapi ada apa sebenarnya, Mas? Kenapa kamu marah-marah sama Daddy? Apa terjadi sesuatu?" tanya Kaila merasa penasaran tentu saja. Bima memaksakan diri untuk tersenyum. Ya, meskipun senyuman yang terukir di kedua sisi wajah pria itu penuh dengan kepalsuan. Bima tidak akan menceritakan masalah ini kepada Kaila karena tidak ingin membuat istrinya ini merasa khawatir. "Gak ada apa-apa ko, sayang. Mas pergi dulu ya," jawabnya lalu mengecup kening Kaila singkat dan segera berlari menuju mobil lalu masuk ke dalamnya kemudian. "Kamu hati-hati di jalan, Mas," sahut Kaila seraya melambaikan telapak tangannya. Bima hanya tersenyum ringan seraya melambaikan tangannya. Dia pun segera menyalakan mesin mobil lalu melesat meninggalkan kediamannya dengan perasaan kesal. "Sial, kenapa Daddy bisa menemukan si Johan sih? Apa yang harus saya lakukan sekarang, Tuhan?" gumam Bima seraya menatap lurus ke depan, di mana jalanan membentang di depan sana. *** Sesampainya di kantor polisi, Bima berjalan memasuki tempat itu dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Bagaimana jika ternyata Johan mengatakan alasan kenapa mereka berkelahi? Bagaimana jika Johan secara gamblang mengatakan kepada Adiwiguna bahwa bayi yang dikandung istrinya bukanlah darah dagingnya? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika mencuat memenuhi otak kecil seorang Abimanyu Wibowo. Bima berdiri tepat di tengah-tengah ruangan seraya mengedarkan pandangan matanya mencari keberadaan pria bernama Johan. Tidak perlu menunggu terlalu lama, dia pun akhirnya menemukan sosok yang tengah dia cari berada tepat di ujung ruangan bersama Adiwiguna dan juga Irfan asisten pribadinya. Bima menghampiri mereka dengan perasaan heran, mengapa Irfan berada di tempat itu dan tidak melaporkan hal ini kepadanya? "Akhirnya Om tua datang juga," decak Johan saat kedua matanya menangkap kedatangan Abimanyu Wibowo. "Coba Anda tanya sama putra Anda yang terhormat ini, apa yang saya katakan ini benar atau cuma kebohongan?" ucapnya tersenyum menyeringai seraya mengalihkan pandangan matanya kepada Adiwiguna. "Tutup mulutmu, b******k," decak Bima menatap tajam wajah Johan. Adiwiguna seketika berdiri tegak lalu berjalan menghampiri putranya dan berdiri tepat di depan Bima. Pria itu menatap tajam wajah sang putra dengan kepala yang digelengkan merasa tidak habis pikir. "Kita bicara di luar, ada yang ingin Daddy katakan sama kamu," ucapnya singkat lalu berjalan melintasi putranya. Bima hanya bisa menghela napas panjang seraya mengikuti sang ayah dari arah belakang. Mereka duduk di kursi kayu yang berada di luar. Wajah Bima nampak datar, dia sudah dapat menebak apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya ini. Sepertinya, Johan benar-benar sudah menceritakan permasalahan di antara mereka. "Apa benar yang dikatakan sama si b******k itu, kalau kamu--" "Benar, Dad. Apapun yang Daddy dengar dari si Johan itu benar. Kaila bukan mengandung anak saya melainkan anaknya si Johan," sela Bima bahkan sebelum sang ayah menyelesaikan apa ingin dia sampaikan. "Astaga!" decak Adiwiguna seraya mengusap wajahnya kasar. "Sebenarnya apa yang kamu pikirkan, Bima? Kalau Mommy kamu sampai tau masalah ini gimana?" "Saya nggak peduli, Dad. Saya cinta sama istri saya dan gak ada yang akan bisa memisahkan kami bahkan Mommy sekalipun," jawab Bima dengan penuh rasa percaya diri. "Ck! Ck! Ck! Istri kamu itu hamil anak pria lain, Bima? Apa kamu baik-baik aja ketika membayangkan Kaila sedang b******u dengan laki-laki lain? Apa kamu baik-baik aja ketika bayi itu lahir nantinya?" tanya Adiwiguna penuh penekanan. "Saya baik-baik aja, Dad. Saya udah bertekad akan menerima istri saya apa adanya dan saya akan menganggap bayi itu seperti anak saya sendiri," jawab Bima lagi-lagi dengan penuh rasa percaya diri. "Astaga, kamu benar-benar udah dibutakan sama cinta, Bima!" decak Adiwiguna merasa tidak habis pikir dengan kelakuan putranya. "Saya mohon jangan meminta saya buat menceraikan istri saya, Dad, karena saya gak akan pernah melakukan hal itu." Adiwiguna seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Sepertinya, sang putra sudah benar-benar dibutakan oleh yang namanya cinta. Jika sudah seperti ini, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka yang menjalani pernikahan ini. "Kenapa Daddy diam aja? Apa Daddy juga akan meminta saya buat ninggalin Kaila sama seperti Mommy?" tanya Bima tersenyum menyeringai lalu menundukkan kepalanya. "Kapan Daddy bilang kayak gitu? Apa untungnya buat Daddy misahin kamu sama istri kamu, Bima? Kamu ini sudah besar, sudah tau mana yang baik dan mana buruk buat kehidupan kamu," seru Adiwiguna seraya menoleh dan menatap wajah sang putra. "Lagian, kalian yang menjalani rumah tangga itu ko. Daddy gak ngerasa dirugiin apapun, mau kamu nikah sama siapapun asalkan kamu bahagia dan bisa menerima istri kamu apa adanya juga menerima bayi itu dan menganggapnya seperti anak kamu sendiri, Daddy tak masalah." Bima akhirnya menoleh dan menatap wajah sang ayah dengan tatapan mata berbinar. Andai saja mereka tidak sedang berada di tempat umum, mungkin dirinya sudah memeluk tubuh pria paruh baya itu. Bima hanya bisa meraih telapak tangan sang ayah lalu mengusap punggung tangannya lembut dan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Dad. Saya beruntung punya ayah sebaik dan sepengertian Daddy," lemahnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Kamu itu udah pernah di tinggalkan sama mendiang istri kamu, Bima. Daddy tau lebih dari siapapun betapa terpuruknya kamu saat itu. Jadi, Daddy gak akan pisahkan kamu dengan wanita yang kamu cintai. Berbahagialah dengan istri kamu, Bima," lemah Adiwiguna seraya menggenggam telapak tangan putra kesayangannya. "Sekali lagi saya ucapkan terima kasih sama Daddy, saya janji akan menganggap bayi di dalam kandungan Kaila seperti anak saya sendiri. Menyayangi anak itu seperti darah daging saya sendiri," lirih Bima tulus dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. "Tidak, Bima. Kamu harus menceraikan Kaila setelah dia melahirkan. Apa kamu gak malu kalau sampai keluarga kita tau bahwa kamu menikahi w************n itu, hah? Apa kata teman-teman Mommy kalau mereka sampai tahu masalah ini?" bentak Farida seraya berjalan menghampiri dari arah belakang. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN