Sagara pikir ketenangannya sudah berakhir setelah Anindya menandatangani surat perjanjian itu dan hendak pergi. Bahkan, ia sendiri pun sudah bersiap untuk meninggalkan tempat tersebut, mengingat dirinya ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Namun, belum genap tubuhnya bergerak, sosok wanita lain muncul dari balik pintu dengan emosi berapi-api.
“Mas, apa-apaan ini?!”
Wanita berambut sebahu dengan dress bodycon sebatas betis, kini mengikis jarak. Jangan tanya setajam apa tatapannya, meski terlahir dari keluarga bangsawan, Diajeng tidak pernah bersikap lemah lembut bahkan tak mengenal tata krama. Itu mengapa, Eyang Putri selalu bertentangan dengan cucu menantu pertamanya.
“Baru aku tinggal keluar kota, kamu sudah bawa perempuan lain untuk dijadikan istri?”
Sagara menghela nafas.
‘Jadi, Eyang tidak mengatakan apapun pada perempuan ini? Sungguh merepotkan sekali!’
Sagara benar-benar beranjak dari duduk. Mereka membentuk posisi segitiga. Dimana Sagara tetap di antara meja dengan Diajeng yang sudah berada tak jauh dari sosok Anindya. Jemarinya bergemeletuk di atas meja, menelisik keadaan dan mencari waktu yang tepat untuk berbicara.
“Kalau kamu butuh penjelasan, silakan temui Eyang Putri. Saya tidak ada waktu untuk menjelaskan apapun.”
“Mas?!” pekik Diajeng seraya menghentakkan kaki ke lantai.
Wanita berusia tiga puluh tahun itu memang terkenal sangat berisik. Dan hal itu menjadi sesuatu yang paling tidak Sagara sukai. Pikirannya sudah sangat berisik, jadi ia tak ingin mendengar apapun yang lebih berisik.
Ketika bibir Sagara hendak berucap. Surya—asisten pribadinya sudah berada di ambang pintu, mengingatkan jadwal meeting pagi yang harus segera dihadiri.
“Maaf Tuan, sudah waktunya berangkat.”
Sagara melirik arloji sebelum memandang dua wanita yang saling bertatap. Tepatnya—Diajeng yang menatap tajam ke arah Anindya. Sungguh merepotkan sekali dua wanita ini, namun Sagara seakan tak peduli.
“Saya harus berangkat, silakan berkenalan baik-baik dan selesaikan kesalahpahaman ini secara dewasa.”
“Mas!”
Diajeng kembali memekik namun tak berani menahan pria itu. Sedangkan, tangan Anindya sudah terulur ke udara seolah ingin menggapai pria tersebut. Akan tetapi, bibirnya langsung kelu tak mampu mengucapkan apa-apa.
Sagara benar-benar berlalu tanpa basa-basi. Itu sebabnya Diajeng sangat murka dan tak tahan hidup bersama. Suaminya betul-betul tak peka dan sulit ditebak.
Ruangan berubah hening ketika Sagara sudah menghilang dibalik pintu. Saat itu pula, Anindya merasa kesulitan bernafas. Rasanya seperti oksigen ditarik habis oleh aura panas wanita dihadapannya. Apalagi melihat tatapan Diajeng yang sangat mengintimidasi.
“Kamu … bukannya pelayan Yangti? Bisa-bisanya kamu masuk ke dalam pernikahan saya dengan Mas Sagara. Apa maksud kamu, hah?!”
“Maaf, Mbak—”
“Siapa bilang kamu boleh panggil saya, Mbak? Saya ini putri tunggal Nararya, perempuan terhormat! Darah biru mengalir di tubuh saya! Seharusnya, pelayan seperti kamu sadar diri!”
Anindya mengepalkan tangan diatas rok sebetis yang ia kenakan. Sungguhan, kalimat itu sangat menyakitkan. Matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. Tapi, ia tak ingin menunjukkan bahwa dirinya lemah.
“Ma-af, Nona. Saya cuma ….”
Belum genap Anindya menjelaskan. Titik pandangan Diajeng tertuju pada dokumen yang ada di tangan wanita itu. Diajeng langsung merebutnya tanpa permisi lalu membaca dengan seksama.
“Tsk! Baguslah. Setidaknya kamu bukan saingan yang sepadan buat saya. Mas Sagara mana sudi kepincut sama pelayan seperti kamu!”
Lagi-lagi, kalimat itu menggores hatinya. Jika saja Anindya tak sesabar itu, ia pasti sudah menampar pipi Diajeng tanpa rasa bersalah.
Diajeng melempar dokumen itu hingga mengenai wajah kemudian berlalu. Namun, belum genap langkah kaki itu menjauh, Diajeng berhenti tepat di ambang pintu.
“Don't expect your life to be safe here, Maid.”
***
“Ada apa?” tanya Gayatri ketika melihat Anindya melamun dengan alat sulam di tangan.
“...”
Tak ada jawaban hingga membuat Gayatri kebingungan.
“Nduk?”
Anindya mendongak lalu menampakkan senyum palsunya.
“Eh, nggak ada, Yangti.”
“Bagaimana semalam? Apa Sagara berhasil menanamkan benih di rahim kamu?”
Pertanyaan itu kontan membuat pipi Anindya merona. Ah! Jangankan tidur bersama, bahkan pria itu menolak berada di kamar yang sama dan mengatakan dengan jelas bahwa tak ingin disentuh oleh sembarangan orang. Anindya jadi tidak yakin bisa memberikan keturunan untuk keluarga Jayanegara dalam dekat ini kalau melihat sikap Sagara yang terlampau dingin.
“Yangti …,” lirih Anindya seakan tak ingin membahas itu.
“Oke, oke … kamu pasti malu, ya?”
Gayatri tersenyum dengan hati berbunga-bunga. Di saat usianya hampir bau tanah, Gayatri akhirnya memiliki teman sefrekuensi yang tak bosan menemani. Walaupun banyak pelayan di gedung utama Jayanegara, Gayatri hanya membutuhkan satu orang yang benar-benar bisa menyelami perasaannya. Dan Anindya lah orangnya.
Awalnya, wanita muda itu memilih posisi sebagai penggiat seni Jayanegara. Akan tetapi, melihat parasnya yang ayu dan tutur katanya yang lemah lembut—Gayatri menarik Anindya untuk menjadi pelayan pribadinya. Selain nyambung bertukar pikiran tentang kesenian, Anindya kadangkala bisa menghiburnya dari segi apapun. Gayatri bahkan bisa merasakan ketulusan dari wanita itu yang tak pernah ia buat-buat.
Dua tahun dilayani dan didampingi Anindya, membuat Gayatri merasa sudah cocok dengan kepribadiannya. Gayatri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan tutur kata halus, wajah teduh, serta wawasan yang luas wanita tersebut. Oleh sebab itu, tak peduli bibit bebet bobot seorang Anindya—Gayatri tetap ingin mempersuntingnya sebagai cucu menantu Jayanegara.
Sempat terjadi pertentangan dengan menantu sulungnya, Kahiyani—ibunya Sagara. Namun karena Eyang Kakung berada di pihaknya, Kahiyani tak bisa berbuat apapun, begitupula Bhanu yang tak bisa membantah keinginan kedua orang tua.
“Tapi dia memperlakukanmu dengan baik, ‘kan?”
“Tentu, Yangti. Jangan khawatir.”
“Kamu harus sabar menghadapi sikapnya, ya, Nduk. Sagara memang terbiasa dididik keras sejak kecil. Yangkung dan ayahnya sengaja melakukan itu untuk membentuk Sagara jadi pemimpin masa depan yang tak terkalahkan.”
Anindya bisa memahami itu. Sebagai generasi penerus, memang sudah seharusnya Sagara bersikap demikian.
“Nggak apa-apa, Yangti. Anin mengerti, kok.”
Anindya sama sekali tak ingin membuat wanita tua itu resah. Ia berusaha mengalihkan fokusnya pada kegiatan menyulam mereka.
Meski sudah menyandang gelar sebagai cucu menantu. Anindya tetap menemani Gayatri sehari-sehari di gedung utama Jayanegara.
Asal tahu saja, kediaman Jayanegara itu memiliki luas tanah berhektar-hektar dikelilingi tembok yang menjulang tinggi. Tempat itu malah lebih cocok disebut mansion dengan kearifan lokal. Bangunannya berbentuk U yang terbagi menjadi tiga bagian; gedung utama, timur, dan barat.
Gedung utama merupakan tempat tinggal Eyang Kakung, Eyang Putri, putra sulung, istri dan anak-anaknya. Gedung timur ditempati Sagara beserta istrinya. Sebab, sejak menikahi Diajeng, Sagara meminta syarat agar boleh hidup terpisah walau masih di mansion Jaya negara. Dan bagian terakhir, gedung barat ditempati oleh putra kedua Jayanegara beserta keluarganya.
Aturan yang ada di wilayah Jayanegara, sebenarnya cukup kompleks. Namun mengingat zaman semakin modern, Eyang Kakung tidak lagi memberlakukan aturan kuno dan lebih membebaskan apapun asal sesuai norma dan tata krama budaya timur.
“Sore ini ada jamuan minum teh di gedung utama. Menyambut cucu perempuan satu-satunya Yangkung. Jadi, kamu harus hadir sebagai cucu menantu kedua kami, ya.”
“Tapi, Yangti?”
“Tenang saja, ini hanya untuk keluarga inti saja.”
Anindya cukup khawatir, mengingat pernikahannya hanya di bawah tangan. Artinya, tak ada siapapun yang tahu kecuali orang dalam Jayanegara.
“Oh, ya, usia kamu berapa, Nduk?”
“Dua puluh lima, Yangti.”
“Nah, pas kalau begitu!”
Kening Anindya mengernyit, tak mengerti apa yang dikatakan oleh Eyang Putrinya itu.
“Nanti ada Gendhis. Kalau Yangti tidak salah ingat dia seusiamu.”
“Gendhis?” ulang Anindya.
“Iya.”
“Gendhis Kalyani Jayanegara, Yangti?”
“Iya, betul. Adiknya Cakra, cucu Yangti dari anak kedua. Kamu kenal?”
“Dia teman satu kelas Anin saat di perguruan tinggi dulu, Yangti.”
“Nah, itu bagus! Jadi nanti kamu punya teman disini.”
Namun entah mengapa Anindya justru cemas tentang apa yang dipikirkan Ghendis jika mengetahui sahabatnya menjadi istri kedua dari sepupunya.
***
“Istri kamu yang lain dimana, Saga?” tanya Eyang Kakung setelah duduk di tempatnya. Sementara Eyang Putri dibantu pelayan untuk duduk di ujung meja lainnya.
“Istri yang lain?” sambar Gendhis, putri bungsu dari Bhakti Putra Jayanegara. Anak kedua dari keluarga Jayanegara.
Sebenarnya tidak sopan menyela pembicaraan orang tua. Tapi karena Ghendis cucu perempuan satu-satunya, Argana tidak pernah memarahi anak itu.
“Ghendis,” ujar Danastri, ibunya.
“Maaf, Yangkung. Ghendis cuma kaget. Sejak kapan Mas Sagara menikah lagi? Kok Ghendis nggak tahu,” imbuh Ghendis. “Mas kok nikah lagi nggak bilang-bilang?” tanya Ghendis kali ini pada sepupunya.
“Hmmmm,” dehem Sagara. Sejujurnya malas membahas pernikahan keduanya itu di hadapan keluarga besar. Apalagi, istrinya bukan sosok yang bisa dibanggakan, mengingat terlahir dari rakyat biasa.
“Karena keluarga Jayanegara membutuhkan sang pewaris, Ghendis.”
Kali ini Eyang Putri buka suara dengan nada yang sangat lembut. Namun, cukup menusuk hati Diajeng.
“Siapa? Kenapa nggak ada berita yang tersiar atau semacam perayaan?”
“Nanti juga kamu tahu. Tentang berita atau perayaan memang belum saatnya orang luar tahu. Jadi, kamu harus tutup mulut, ya?”
Gayatri mengingatkan cucu perempuannya itu untuk berhati-hati. Setelah lama hening, suara langkah kaki mulai mendekat. Saat itu pula, Anindya tiba dengan nafas terengah-engah.
“Maaf Anin terlambat.”
***