Perjanjian

1280 Kata
Titik pandang Anindya bertemu dengan manik tajam Sagara kala dirinya baru saja keluar dari kamar. Niat hati ingin menyiapkan sarapan untuk sang suami, ia justru apes karena harus menemukan Sagara yang baru saja selesai jogging. Pria itu berdiri di ujung lorong, tepat di depan pintu masuk lift lantai tersebut. Memandang dengan tatapan paling datar yang pernah Anindya lihat. Sebagai seorang Jayanegara, setiap aktifitas Sagara sudah tersusun rapi dalam sebuah agenda. Dan Anindya bukan tidak tahu jadwal pria itu. Sebab, selama mengabdi dua tahun, ia tahu semua kegiatan yang ada di keluarga tersebut. Hanya saja, ia tak menyangka bahwa aktivitasnya akan bertabrakan dengan Sagara secepat itu. Mereka hanya diam dan saling memandang cukup lama. “Saya perlu bicara dengan kamu setelah mandi. Tunggu di depan ruang kerja saya.” Jelas sekali itu perintah, bukan penawaran. Karena setelahnya, Sagara langsung berlalu tanpa sepatah kata. “Baik,” jawab Anindya yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Sebagai tambahan informasi bahwa selama lima tahun menikah, ternyata Sagara tidak pernah benar-benar tidur di kamar yang sama dengan Diajeng. Begitupula, Anindya yang memiliki kamar sendiri tepat di seberang kamar istri pertama. Selanjutnya arah pandang Anindya mengekori Sagara ketika memasuki kamarnya pria itu sendiri, tepat berada di tengah-tengah kamar mereka. Setengah jam kemudian, Anindya terkesiap melihat Sagara sudah rapi dengan setelan jas dan turtleneck berwarna gelap. “Kenapa masih berdiri disana?” tanya Sagara, memandang Anindya yang bergeming di depan pintu kamarnya. “Hmmmm, itu … maaf, Mas. Aku nggak tahu ….” “Ikuti saya.” Sagara langsung melangkah menuju lift dan membuat Anindya susah payah mengejar, karena langkah kaki pria itu yang terlalu lebar. “Bisa lebih cepat?” Sagara sudah di dalam lift bersama seorang pelayan yang menahan pintu tersebut. “I-iya, Mas.” Setelah keduanya masuk, sang pelayan menekan angka tiga dan membawa mereka langsung ke atas. Keheningan membersamai mereka dalam waktu singkat. Baik Sagara maupun Anindya tak ada yang memulai perbincangan. Dan ketika pintu lift terbuka pun, Sagara langsung melengos tanpa berbicara sepatah kata. Anindya buru-buru mengekori. Sepertinya ia harus mulai belajar mengimbangi langkah kaki Sagara. Mengingat saat melayani Eyang Putri, gerakannya tak secepat itu. “Duduk!” titah Sagara sambil membuka satu kancing jas lalu duduk di kursi ruang kerjanya. Tanpa membantah, Anindya duduk di seberang meja itu. “Ada apa—” “Jangan bicara sebelum diminta, paham?” Anindya langsung membungkam mulutnya. Saat itu pula, ia mengangguk sebagai jawaban. Daripada harus berbicara dan dihentikan lagi? “Saya tidak tahu apa tujuan kamu bersedia jadi istri kedua saya. Apalagi pernikahan ini hanya dibawah tangan. Sebagai seorang perempuan, apa kamu tidak punya pernikahan impian? Dibanding menjadi istri kedua, bukankah lebih baik kamu cari pria lain? Apa kamu segitu putus asa?” Anindya menggeleng, mencoba menyelami pemikiran Sagara yang tak ia pahami. “Berapa banyak uang yang kamu dapatkan dari Yangti untuk jadi istri kedua saya, hmmm?” Tenggorokan Anindya tercekat. Ah, jadi itu yang Sagara pikirkan tentangnya? Anindya memilih menggeleng ketimbang menjawab, karena ia tak ingin suaranya memancing emosi pria di hadapannya. “Kamu bisa jawab pertanyaan saya.” “A-aku sudah boleh ngomong?” “Kamu dengar itu sebagai pertanyaan, ‘kan?” Anindya hanya bisa menghela nafas sambil memutar bola matanya jengah. Sagara yang ia kagumi sejak remaja ternyata tak selembut yang terlihat di media. “Kenapa tatap saya seperti itu? Kamu tidak suka?” “Maaf, Mas. Bukan begitu.” “Jadi apa alasan kamu menerima pernikahan ini?” “Aku … aku sudah jatuh cinta sejak lama sama kamu, Mas. Itu mengapa aku mau jadi istri kamu walaupun yang kedua.” “Kenapa tidak dilanjut?” “Aku cuma mau membantu Yangti.” Sagara memalingkan wajah lalu tertawa mengejek. “Kamu itu cuma rakyat biasa yang kebetulan beruntung jadi bagian dari Jayanegara. Seharusnya kamu sadar bahwa posisi kamu beresiko disini, apalagi dengan mengajukan diri untuk jadi istri kedua saya.” “Nggak masalah, Mas. Aku ikhlas.” Karena bagi Anindya, berada didekat Sagara adalah impiannya sejak dulu. Ia mati-matian belajar dengan tekun agar bisa kuliah di perguruan tinggi terbaik di kota tersebut, mendapatkan beasiswa untuk bisa menjadi bagian dari keluarga Jayanegara, meski hanya seorang maid. Cita-cita yang tidak masuk akal bagi sebagian orang, tapi tidak demikian bagi Anindya yang hanya seorang yatim piatu. Bahkan, ia tidak punya sanak saudara untuk bisa dijadikan sandaran. Itu sebabnya, ia berharap jadi bagian Jayanegara bisa membuatnya merasakan punya keluarga besar. Karena yang ia tahu, Jayanegara selalu memanusiakan para pekerja di mansion tersebut. “Saya tidak peduli apa alasan kamu. Tapi saya punya rules yang harus kamu ikuti.” “Ba-baik, Mas.” Manik mata Sagara menilik wajah Anindya dengan tajam, mencermati setiap gerak gerik wanita itu. Sagara cukup jeli menilai seseorang dari mimik wajah. Dan saat ini, ia masih belum menemukan kebohongan di wajah wanita tersebut. Tangan Sagara bergerak perlahan, menarik sebuah laci lalu menyerahkan berkas pada Anindya. “Silakan baca ini.” Anindya meraih map yang disodorkan oleh Sagara. Surat Kontrak Pernikahan. Sorot mata Anindya tertuju pada kalimat tersebut. Hatinya cukup teriris. Entah mengapa, rasanya campur aduk hanya dengan membaca kalimat itu. Ia baru sadar, ternyata tak mudah untuk menikahi seorang cucu sulung keluarga Jayanegara. Pernikahan ini pasti akan membuat hatinya terhimpit. Namun, ketulusannya pada Gayatri, membuat Anindya tak tega menolak permintaan wanita tua itu. Sekalipun Eyang Putri menginginkan pewaris dari rahimnya, sepertinya akan sulit meyakinkan pria di hadapannya saat ini. Pihak Pertama: Raden Sagara Putra Jayanegara Pihak Kedua: Anindya Nasywa Wulandari Pasal 1: Pihak pertama hanya akan menikahi pihak kedua selama satu tahun. Pasal 2: Pihak kedua wajib memenuhi keinginan Eyang Putri dalam memberikan pewaris dalam kurun waktu satu tahun. Pasal 3: Pihak pertama hanya akan memberikan nafkah batin ketika pihak kedua dalam keadaan masa subur atau waktu yang tidak terduga. Pasal 4: Pihak pertama hanya akan menjamin hidup pihak kedua selama masih terikat kontrak perjanjian. Pasal 5: Jika dalam satu tahun pihak kedua belum bisa memenuhi harapan para tetua, maka pihak pertama berhak mengajukan cerai. Pasal 6: Setelah sang pewaris lahir dalam kurun waktu satu tahun, maka pihak kedua tidak memiliki hak atas anak tersebut. Pasal 7: Pihak pertama dan pihak kedua tidak berhak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Pasal 8: Perjanjian lain-lain akan diatur kemudian. Anindya mendongak setelah berhasil membaca delapan pasal kertas itu. “Perihal pasal enam—” “Kamu belum diizinkan untuk bicara,” potong Sagara dengan intonasi penuh penekanan. Terdengar hela nafas, belum mulai saja Anindya merasa sangat tertekan karena pria di hadapannya. Sagara seperti tembok tinggi yang sulit dijangkau. Ternyata, sedekat apapun jarak mereka, tak akan mampu menembus dinding hati Sagara yang terlampau dingin. “Ingat bahwa kamu hanya istri kedua yang ditugaskan untuk melahirkan sang pewaris Jayanegara. Dan saya tidak akan menaruh perasaan apapun terhadap kamu. Jadi, jangan pernah berharap lebih atas pernikahan ini, mengerti?” “Baik, Mas.” “Ada pertanyaan lagi?” “Perihal pasal enam, apa tidak bisa dipertimbangkan? Bagaimana pun, aku ini calon ibu dari anak yang akan dilahirkan.” Anindya merasa tak adil. Karena bagaimana pun jika pewaris itu lahir dari rahimnya, Anindya tetap seorang ibu yang telah berjuang hidup dan mati melahirkannya ke dunia. Jika dirinya tidak berhak atas anak itu, lalu untuk apa ia melahirkan pewaris tersebut? “Keputusan saya sudah bulat.” Bahu Anindya luruh seketika itu pula. Perjuangan akan segera dimulai. Mampukah ia bertahan dalam belenggu rumah tangga yang menyesakkan? “Silakan tanda tangani.” Tanpa pikir panjang, Anindya menuruti ucapan sang suami. Sejak Gayatri menawarkan pernikahan ini, Anindya lah yang sudah memilih. Ia hanya butuh waktu untuk meyakinkan dan menumbuhkan perasaan Sagara agar bisa menerimanya sebagai istri, meskipun hanya yang kedua. “Mas, apa-apaan ini?!” Sosok wanita lain menerobos tanpa permisi membuat suasana tegang semakin mendominasi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN