“Kamu nggak perlu datang meskipun diundang,” ucap Diajeng ketika masuk kedalam kamar Anindya. Kala itu, Anindya tengah bersiap-siap menghadiri jamuan minum teh dengan dibantu dua pelayan. Setelah menyandang istri kedua Sagara, Anindya diperlakukan sama seperti Jayanegara lainnya. Ia bisa menikmati pelayanan serta berbagai fasilitas.
“Aku nggak enak sama Yangti, Nona.”
Dan sejak Diajeng tak ingin dipanggil ‘mbak’ olehnya, Anindya pun cukup sadar diri untuk tidak memanggilnya seperti itu. Alhasil, meski di hadapan pelayan lain, Anindya tetap bersikap seolah dirinya juga pelayan.
“Kalian bisa tinggalkan kami berdua?” titah Diajeng pada dua pelayan yang ada disana.
“Baik, Nona.”
Pengaruh Anindya belum ada apa-apanya, karena pelayan di gedung timur itu sangat takut dengan Diajeng. Padahal dibanding dengan wanita itu, Sagara termasuk yang paling kejam dan dingin. Tapi entah mengapa, aura Diajeng sangat menakutkan bagi seluruh pelayan yang ada disana.
Setelah mendapati ruangan hanya tinggal mereka berdua. Diajeng memulai aksinya. Tak ubahnya istri pertama dalam drama, Diajeng ingin sedikit memberi shock terapi untuk sang madu.
“Jangan mentang-mentang kamu dipilih sama Yangti, jadi berlagak sombong, ya!”
Diajeng tak tahan untuk tidak menjambak rambut panjang Anindya yang dijepit setengah. Saat itu pula Anindya meringis kesakitan.
“Akh! Sakit, Nona.”
“Hah! Ini belum seberapa, Maid! Saya pastikan hidup kamu disini akan seperti di neraka! Lihat saja, kalau kamu berani hamil anak Mas Sagara!”
“Sa-saya …”
“Saya nggak mau dengar apa-apa, kamu nggak boleh keluar dari sini sampai jamuan selesai, paham?”
Saat itu pula Diajeng membanting pintu lalu mengunci kamar Anidya dari luar.
“Jangan ada yang berani buka pintunya, paham?!”
Anindya memejamkan mata ketika mendengar perintah Diajeng yang begitu kejam. Akhirnya drama dimulai. Anindya perlu menyiapkan diri selama satu tahun ke depan untuk menghadapi wanita itu.
***
“Istri kamu yang lain dimana, Saga?”
Sagara mendongak, memandang sang kakek yang tengah menaruh perhatian terhadapnya. Seketika itu pula otaknya berputar, mengingat situasi beberapa saat yang lalu.
“Perempuan itu dimana?” tanya Sagara dengan tenang, setelah menanti para istrinya di kursi penumpang.
“Siapa?”
Diajeng membalikkan pertanyaan itu.
“Anindya.”
“Oh, dia. Sepertinya dia nggak mau ikut, Mas. Tadi aku lihat dia masih leha-leha di kamar.”
Sagara tak menanggapi lagi.
“Hei, kenapa melamun? Dimana istrimu yang lain?” tanya Eyang Kakung sekali lagi.
Tak lama, suara derap kaki terdengar cepat.
“Ma-maaf A-Anin terlambat,” ucap Anin berdiri cukup jauh tepat di belakang Diajeng. Suaranya terengah-engah karena berusaha mengejar ketertinggalan waktu.
‘Sial! Kenapa dia bisa kabur? Pelayan bodoh!”
Diajeng menelan ludah susah payah kala mendapati sosok yang membuatnya marah ada disana. Seharusnya Anindya tak bisa keluar. Lihat saja nanti pelayan yang berani membukakan pintu untuknya.
“Kamu darimana saja, Nduk?”
Mendengar Gayatri berbicara dengan tutur kata yang tak pernah didengarnya, membuat Diajeng semakin kalut. Terlihat jelas sekali kesenjangan yang Gayatri ciptakan, hal itu semakin menyulut emosi Diajeng untuk berbuat lebih kejam lagi terhadap wanita itu.
“Maaf, Yangkung, Yangti. Ta-tadi Anin sakit perut jadi perlu waktu lama untuk menyelesaikan urusan tersebut.”
Tentu saja Anindya berbohong. Karena untuk keluar dari kamar, Anindya harus mencari cara. Sempat berpikir untuk lompat melalui beranda kamarnya. Tapi beruntungnya, ia tak sampai harus melakukan itu. Sebab, ia mendapati para pengawal tengah berkeliling di sekitar gedung timur. Dan tanpa pikir panjang, Anindya meminta bantuan untuk menyiapkan tangga untuknya
“Nduk, ayo duduk. Kenapa melamun?”
Gayatri menyadarkan lamunan Anindya. Ia gegas duduk ketika pelayan telah menarik kursi di sebelah Diajeng.
Entah mengapa jantungnya terus berdegup kencang, takut Diajeng kembali memerankan drama yang luar biasa.
Ketika sepenuhnya duduk, fokus Anindya malah terarah pada sosok wanita sebayanya. Melihat tatapan itu, Anindya pun menjadi salah tingkah.
“Anindya? Kamu ….”
Sagara mendelik, mendengar Ghendis memanggil Anindya seakan sudah saling mengenal lama padahal sepupunya itu sudah lama tidak pulang ke Indonesia. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?
Anindya yang sudah sepenuhnya duduk, memilih diam karena tak tahu harus menceritakannya darimana.
“Ceritanya nanti saja, ya. Kita habiskan teh dan makan malam ini dulu,” pinta Eyang Kakung.
Kebersamaan itu akhirnya berlanjut. Namun, karena keluarga besar Jayanegara selalu menjunjung tinggi tata krama. Ketika berada di meja makan, mereka tak boleh menimbulkan suara. Alhasil, keheningan menyelimuti saat masing-masing fokus menyantap makanan. Hal itu bertujuan untuk menikmati dan menghargai makanan dari sang pencipta.
Usai acara jamuan, Ghendis langsung menarik Anindya ke sudut ruang keluarga.
“Ada apa sebenarnya? Setahuku kamu datang kesini untuk menjadi penggiat seni. Itu kenapa aku meminta staf keluarga untuk meloloskan seleksi kamu. Tapi kenapa ….”
“Ghendis, sebelumnya aku mau minta maaf sekaligus berterima kasih sama kamu. Awalnya aku memang diterima jadi bagian Jayanegara. Bahkan, ditarik sebagai pelayan pribadi Yangti. Tapi aku nggak tahu, kenapa tiba-tiba Yangti meminta aku jadi istri kedua Mas Sagara.”
“Untuk?”
“Eung, melahirkan seorang pewaris.”
Ghendis benar-benar tidak mengerti. Situasi saat ini sungguh sulit dipahami.
“Nggak habis pikir aku,” cicit Ghendis. Tak ada raut marah atau kecewa. Karena Anindya tahu, Ghendis memiliki sifat seperti Eyang Putri.
“Selama dua tahun aku disini, kenapa aku nggak pernah lihat kamu?” tanya Anindya mengalihkan topik pembicaraan setelah jeda.
“Ah, aku lanjut S2 di luar dan memang sama sekali nggak pernah pulang. Jadi, acara sore ini aku tahu diadakan memang untuk menyambut kedatangan aku. Tapi, kenapa justru aku yang jadi orang paling terkejut.”
“Maaf,” ucap Anindya.
Disela-sela obrolan, titik pandang Anindya bertemu dengan Sagara yang tengah berbincang serius dengan sang kakek, ayah, serta pamannya. Tatapan mereka terkunci cukup lama, sebelum akhirnya Anindya menundukkan kepala. Bibirnya gemetar bersama jantung yang berdetak kencang. Sungguhan, tatapan Sagara itu sangat mematikan. Anindya tak mengerti arti dibalik tatapan itu.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa, Ghendis.”
Anindya masih merasakan jantungnya yang berdebar kencang.
***
Sagara melangkah lebih dulu ketika pelayan membukakan pintu mobil. Malam itu, mereka kembali ke kediaman dengan kendaraan yang sama. Tentu saja atmosfer yang tercipta tidak semenyenangkan itu bagi Sagara. Terlebih Diajeng selalu meracau sepanjang jalan. Belum lagi tatapan Diajeng yang membuat tidak nyaman.
Setelah langkah kakinya turun dari mobil, kemudian melewati para pelayan yang menunduk di sepanjang pintu masuk. Sagara mendengar suara Diajeng memekik.
“Siapa! Siapa yang berani buka kunci kamar perempuan ini?!” tanya Diajeng dengan nada berapi-api sembari menunjuk Anindya di belakangnya.
Para pelayan disana sama sekali tak berani menjawab. Sementara Sagara, berhenti tanpa membalikkan badannya.
“Nona …,” lirih Anindya berusaha meredam emosi Diajeng. Namun, bukan redam—emosi Diajeng semakin tersulut.
“Diam! Kamu nggak saya izinkan bicara!”
Mendengar keributan yang sangat memusingkan, akhirnya Sagara membalikkan badan.
“Ajeng,” panggil Sagara dengan intonasi rendah.
“Tunggu, Mas. Urusan aku belum selesai dengan mereka!”
Diajeng tak mengindahkan peringatan suaminya. Sedangkan Anindya tengah terkejut mendengar suara Sagara yang terdengar berbeda. Tidak ada nada penuh intimidasi.
“Kamu ikut saya,” ucap Sagara.
Hal itu justru menimbulkan perasaan tak biasa di hati Anindya. Lihatlah, bagaimana Sagara berbalik lalu menggamit tangan istri pertamanya.
***